Suara.com - Seperti apa ketika dua orang tunanetra jatuh cinta? Dan bagaimana mereka menjalani kehidupan rumah tangga, mulai dari menafkahi keluarga sampai mempersiapkan anak-anak hidup mandiri?
KISAH kasih Bakat dan Sri Suyani dimulai dari asrama pusat pendidikan difabel di bawah Departemen Sosial (Kementerian Sosial), Pajang, Laweyan, Solo.
Bakat berusia 17 tahun ketika dikirim orangtuanya tahun 1980 dari Klaten ke Pajang. Setahun kemudian, Yani juga dikirim keluarganya ke sana untuk belajar.
Bakat mengenal nama perempuan Boyolali itu ketika pemimpin asrama Pajang menyampaikan pengumuman mengenai kedatangan murid-murid baru.
Baca Juga: Kisah Tunanetra: Hilang Penglihatan, Putus Asa sampai Temukan Titik Balik
Bakat seorang ketua asrama ketika itu dan dia juga dikenal sebagai salah seorang murid difabel berprestasi.
“Dia dulu primadona asrama. Banyak yang naksir,” kata Yani memulai cerita ketika saya temui di rumah kontrakan Desa Bojong Kulur, Gunung Putri, Kabupaten Bogor, awal Ramadhan 2021.
Proses wawancara hari itu membuat Yani dan Bakat flashback ke masa-masa awal hubungan mereka. Yani hampir selalu tertawa ketika menceritakan kembali kenangannya bersama Bakat, lelaki yang sekarang menjadi suaminya.
Banyak penghuni asrama putri yang menaruh hati kepada Bakat. Tapi biasanya, mereka malu mengungkapkan perasaan secara langsung. Mereka memilih menggunakan cara lain, seperti memakai media surat, lalu menitipkannya lewat teman untuk kemudian diserahkan kepada Bakat.
“Dia banyak yang menyukai. Banyak yang nyantol. Terus banyak yang menyurati (surat cinta),” kata Yani.
Baca Juga: Kisah Penguasa Parkir Liar: yang Bisa Kuasai Lahan, Itu yang Bisa Berdiri
Surat-surat cinta ditulis dengan huruf braille. Bakat masih ingat, setiap kali surat datang, dengan polos dia membalas satu per satu dengan ungkapan penolakan.
“Saya selalu jawab, maaf saya mau sekolah dulu, kalau belum dapat ijazah SD atau SMP saya masih mau sekolah dulu. Saya balas surat braille,” kata Bakat.
Seingat Bakat, Yani merupakan salah satu penghuni asrama putri yang pernah mengirimkan surat kepadanya.
Tapi Yani membantah pernah surat-suratan dengan Bakat.
“Nggak pernah pakai surat untuk nyatakan cinta,” kata Yani.
“Ada ding mas,” kata Bakat.
“Nggak ada. Dia aja yang ini (GR),” ujar Yani. Mereka kemudian tertawa terbahak-bahak.
Yani mengakui memang suatu hari pernah menerima kiriman puisi dari Bakat. Menurut Yani, surat itu bukan surat cinta sebagaimana diceritakan Bakat.
“Tapi nggak pernah saya respons, nggak pernah saya balas. Waktu itu saya belum ada rasa apa-apa, wong tujuan saya waktu itu ke asrama mau sekolah,” kata Yani.
Kesan Yani pada waktu itu, Bakat seorang yang pandai mengarang puisi. Dia mendapat kesan demikian karena Bakat mampu mengungkapkan berbagai hal melalui kata-kata puitis.
Modus masuk asrama putri
Di pusat pendidikan tersebut, murid-murid ditempa dengan berbagai ilmu pengetahuan.
Bakat dan Yani semakin rutin ketemu dalam berbagai kegiatan pendidikan. Bakat waktu itu sering pula mengajari anak-anak yang baru masuk asrama untuk menulis huruf braille, Yani tak pernah ketinggalan.
Di saat itu pula, Bakat makin kesengsem dengan anak Boyolali itu.
Di dalam asrama berlaku peraturan bagi seluruh penghuni, anak lelaki dilarang memasuki asrama perempuan, begitu juga sebaliknya.
Tapi pada suatu hari terjadi peristiwa yang menurut Yani memang sengaja dilakukan oleh Bakat untuk mencuri perhatiannya.
“Eh, dianya acting pergi ke rumah teman, (karena keluar asrama) terus kan dihukum disuruh ngisi air kamar mandi asrama putri sampai penuh. Eh terus gitu pas dia lagi jalan sayanya ditabrak dan diguyur pakai air. Kan sama-sama nggak bisa ngelihat, mungkin nggak sengaja juga,” kata Yani. Mengingat-ingat peristiwa itu, Yani tertawa.
Di pusat pendidikan cabang Pajang, Yani tumbuh menjadi murid perempuan berprestasi dan namanya semakin banyak diperbincangkan.
Suatu kali dia pernah diikutkan ke dalam lomba prakarya dengan peserta se-karesidenan Surakarta. Hasil akhirnya, Yani berhasil menggondol juara lomba kategori merangkai bunga.
Sementara Bakat juga semakin terkenal. Selain dikenal jago merangkai kata-kata puitis -- setidaknya di kalangan tunanetra perempuan -- dia pernah mewakili tunanetra mengikuti lomba cerdas cermat P4 di stasiun TVRI Yogyakarta.
“Jadinya kayak dianakemaskan gitu. Kalau di asramakan itu kalau punya prestasi terus dideket-deketin (dijodoh-jodohkan) gitu. Dia pintar bikin puisi, saya bisa prakarya rangkaian bunga,” kata Yani.
Main ke rumah pujaan
Bakat mulai berani bertandang ke rumah Yani di Boyolali setelah berkenalan dengan orangtua Yani pada waktu menjenguk ke asrama.
Lampu hijau yang didapat dari keluarga Yani membuat Bakat semakin percaya diri dalam usaha mendapatkan hati Yani. Apalagi, beberapakali keluarga Yani mengundangnya untuk main ke rumah di Boyolali.
“Ayo tole Bakat dolan nyanggone nduk Yani piye,” kata Bakat menirukan undangan dari orangtua Yani.
Merasakan jalur yang ditempuh semakin lapang, pada suatu hari, Bakat memberanikan diri berkunjung ke Boyolali.
“Dua kali main ke rumah. Kalau orang lain mau main, saya nggak bolehin. Tapi dia datang sendiri,” kata Yani.
“Dulu jalan ke rumah saya jelek sekali mas, tapi dia nekat. Jalan ke sana tanah liat, kalau hujan tanah nempel ke kita. Dia nekat. Oh berarti emang sudah niat.”
Saya tanya ke Yani, bagaimana akhirnya bisa jatuh hati kepada Bakat, padahal sebelumnya sama sekali tidak punya rasa.
Yani tidak tahu persis kenapa kemudian bisa timbul perasaan suka kepada seorang Bakat. Padahal, sejak awal masuk asrama pendidikan Pajang, cita-citanya cuma satu: sekolah dan lulus untuk modal masa depan.
Yani -- yang dasarnya suka berkelakar -- kemudian teringat suatu pengalaman menerima makanan yang diberikan Bakat.
“Nggak tahu itu saya dikasih apa. Dikasih lemper yang dikasih jampi-jampi, mungkin. Kan waktu itu saya nggak mikir bisa terjadi begitu (menyukai Bakat).”
Tapi Bakat buru-buru menepis telah menggunakan jampi-jampi untuk memikat Yani.
Dia mengatakan, “Kan kalau ada saudara nengok ke asrama, kan bawa oleh-oleh gitu kan mas. Namanya ada temen-temen kan, pada dibagi-bagi.”
Mereka tertawa-tawa bersama setelah menceritakan kejadian itu kembali.
Saya juga tanya kepada Bakat, apa sebenarnya yang membuatnya menyayangi Yani? Bakat beberapa kali mengatakan, “mungkin sudah jodoh, sudah takdir, mas.”
“Waktu itu kan namanya masih sekolah, saya main ke rumah dia itu, tanggapan ortunya baik, ramah, kayaknya memang setuju dapat saya gitu. Makanya begitu saya ketemu ortu, mungkin udah jodoh ya,” kata Bakat.
Saking sudah gandrung dengan Yani, setiap kali ujian, pada lembar jawaban sampai ditulis nama Bakat SY (Sri Suyani).
Langsung bawa ortu ke rumah
Bagaimana Bakat pertamakali “menembak,” Yani mengatakan, “Dia langsung bawa ortu ke rumah.” Disusul tawa Yani.
Peristiwanya tahun 1984. Bakat membawa keluarganya datang ke rumah Yani. Mereka mengajukan lamaran. Sudah dapat diduga, orangtua Yani menerima lamaran, tetapi dengan satu syarat Yani mesti menyelesaikan pendidikan di Pajang terlebih dahulu sebelum pernikahan.
Semenjak orangtua menerima lamaran Bakat, Yani percaya barangkali memang dia sudah ditakdirkan untuk menjadi jodohnya.
“Emang itu sudah takdirnya gitu. Terus bapak asrama juga bilang, ya udah jalanin aja. Tapi ada juga temen asrama yang ngomporin, ngapain masih muda cepet nikah. Mending sekolah dulu,” ujar Yani.
Bakat menambahkan, “Tapi gini, guru di asrama juga kan ada yang berumahtangga sama-sama tidak bisa ngelihat (tunanetra). Bisa punya anak. Jadi yang buat pedoman kami ya itu juga. Ada contonya guru-guru yang sama-sama senasib, tunanetra.”
Singkat cerita, hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Januari 1985, mereka melangsungkan pernikahan.
Ketika itu, Yani sudah mendapatkan pekerjaan sebagai pemijat di Semarang, sementara Bakat masih mengikuti pemantapan keterampilan pijat di Solo, setelah dia terlebih dahulu melanjutkan pendidikan di SLB A daerah Pemalang.
Perasaan awal menikah
“Awal-awal nikah itu saya belum ada rasa apa-apa, belum menjiwai sebagai seorang istri. Mungkin karena masih anak-anak,” kata Yani.
Beberapa lama setelah resmi menjadi istri Bakat, hari-hari Yani sebenarnya dipenuhi rasa khawatir akan perjalanan masa depan rumah tangganya, apalagi dia dan Bakat sama-sama memiliki keterbatasan fisik, ditambah lagi Bakat belum memiliki pekerjaan karena masih mengikuti pendidikan.
“Nggih mikir gitu juga sakjane. Nanti kalau sama-sama nggak ngelihat, dua-duanya gimana ya. Tar kalau punya anak gimana, jadinya gimana.”
“Saya juga mikir, gimana entar kalau dia nggak punya gaji, saya gimana?”
Yang membuat hati Yani sedikit adem ayem adalah ketika itu dia sudah bekerja di Semarang. Dia meyakini dengan bekal ketrampilan memijat, bisa menjadi modal untuk mencari nafkah.
Yani langsung hamil setelah perkawinan dan ini menjadi pengalaman baru lagi bagi dia.
“Dulu pas mau hamil, rasanya pusing, muntah-muntah terus tiap kali makan. Terus dibilangin kakak saya, kalau itu sudah biasa tiap mau hamil,” katanya.
“Kayaknya saya waktu itu sampai kapok nggak mau ngelairin lagi, eh nyatanya ngelairin lagi sampai empat anak (beberapa tahun kemudian).”
Pada bulan September 1985, anak pertama pasangan Bakat dan Yani lahir ke dunia melalui bantuan dukun bayi.
Dia bersyukur, sejak merasakan tanda-tanda kehamilan, hamil, sampai persalinan mendapat dukungan penuh dari keluarga.
Setelah anaknya berusia satu tahun, Yani diajak ke Jakarta oleh teman sesama tunanetra yang sudah lebih dulu mendapatkan pekerjaan di Ibu Kota.
Meskipun berat hati meninggalkan buah hati yang baru berusia setahun, juga suami yang masih ikut pendidikan, Yani tetap melangkahkan kaki merantau ke Ibu Kota Jakarta pada akhir tahun 1986.
Tak lama setelah Bakat menyelesaikan pendidikan pijat di Solo, Bakat menyusul Yani ke Jakarta.
Awal mula memutuskan merantau
Alasan Yani memutuskan untuk merantau ke Jakarta, karena “dia (Bakat) masih sekolah. Sementara saya kalau ngandalin tiyang sepuh terus kan ora enak, mas.”
“Anak saya titipkan ke orangtua di Boyolali. Sebenarnya tega nggak tega waktu itu ninggal anak.”
Sementara alasan Bakat kemudian mengikuti jejak istrinya merantau, karena malu membuka praktik pijat di daerah sendiri.
Dia teringat pada suatu hari ketika tetangganya datang ke rumahnya untuk dipijat. Bakat merasa “malu” atau “tidak enak hati” menerima uang jasa pijat dari tetangga, sampai akhirnya uang tersebut diserahkan ke anaknya.
Itu sebabnya, dia berpikir buka praktik pijat di perantauan akan lebih baik ketimbang di daerah sendiri. Lagi pula, bagi dia, Jakarta yang merupakan pusat perekonomian, dianggap lebih menjanjikan untuk penghidupan.
Di Jakarta, Bakat dan Yani pertamakali bekerja di tempat pijat yang berada di belakang Gadjah Mada Plaza, Jakarta Pusat. Mereka bekerja pada pengusaha keturunan Cina.
Setelah itu, mereka pindah-pindah tempat kerja sampai akhirnya pertamakali membuka panti pijat sendiri tahun 1992 di sebuah rumah kontrakan daerah Palbatu, Tebet, Jakarta Selatan.
Pengalaman awal berumahtangga
Tahun-tahun pertama menjalani kehidupan rumah tangga, banyak pengalaman baru yang mereka rasakan bersama.
“Namanya orang berumahtangga, ada aja benturan dan itu wajar. Apalagi masih muda, pikiran istilahnya masih belum stabil. Belum mantap,” kata Bakat.
Tapi mereka berprinsip, rumah tangga harus dijalani dengan apa adanya, sebagaimana orangtua di kampung menyontohkan.
“Jalani apa adanya dulu mas. Nggak terlalu ngoyo kita dari dulu,” kata Yani.
Setelah anak pertama lahir September 1985, anak kedua mereka lahir November 1987, anak ketiga tahun 1997, dan anak keempat tahun 2001.
Ketiga anak pasangan tunanetra ini berhasil menyelesaikan pendidikan SMA, sedangkan anak nomor dua hanya lulus SMP.
“Anak nomor dua sebenarnya pintar. Waktu itu mau saya daftarin ke SMA 5 di Pondok Gede, tapi terlambat. Waktu itu kepala sekolah bilang NEM-nya bagus sebenarnya. Ya itu akhirnya saya kursusin jahit dan sekarang kerja di konveksi,” kata Bakat.
Dalam membimbing anak-anak, terutama yang tinggal bersama nenek di Boyolali, dibantu oleh keponakan-keponakan.
“Saya nyuruh keponakan-keponakan di kampung untuk ngajarin. Kami walaupun merantau, tetapi memantau dengan menyuruh orang untuk ngajari,” kata Yani.
Untuk memotivasi semangat anak-anak agar tekun belajar, kepada mereka selalu ditanamkan kesadaran bahwa mereka lahir dari orangtua yang punya keterbatasan fisik sehingga harus jauh lebih maju.
“Anak-anak nggak ada yang difabel, alhamdulillah sehat semua,” kata Yani seraya mengatakan dia menjadi tunanetra sejak umur sembilan tahun, sedangkan Bakat sejak umur tujuh tahun.
Pengalaman pahit
Dari pengalaman menghadapi berbagai masalah rumah tangga, Yani menarik kesimpulan: dibutuhkan kesabaran. Menurut dia, akan sangat sulit menyelesaikan pertikaian suami istri jika salah satunya tidak ada yang mau mengalah.
“Salah satu mesti ngalah, diem saja. Kalau diturutin ya udah. Kalau saling keras kepala mungkin sudah putus dari dulu.”
Pengalaman paling pahit sebagai ibu rumah tangga dirasakan Yani setelah dia melahirkan anak yang ketiga.
Waktu itu, keadaan rumah tangga mereka hampir berada di ujung jurang yang sangat dalam.
“Yang paling berat bagi saya itu ujiannya pas anak yang ketiga mas. Itu paling berat. Dia (Bakat) pernah punya simpenan mas,” kata Yani. Yani tertawa setelah mengatakan itu.
“Nggak mas,” Bakat menepis ucapan istrinya.
“Dia nggak ngaku tuh (tertawa). Waktu itu kalau diturutin bisa selesai (rumah tangga),” kata Yani.
Menurut cerita Bakat, tahun 1998, panti pijatnya yang berada di Palbatu, Tebet, memiliki banyak sekali pelanggan. Masa itu oleh Bakat disebut sebagai zaman keemasan jasa pijat kesehatan.
Banyak ibu rumah tangga yang datang ke panti pijat yang dikelola Bakat dan meminta terapisnya perempuan. Sampai akhirnya, menurut cerita versi Bakat, suatu hari datang seorang terapis tunanetra perempuan untuk mencari pekerjaan.
“Waktu itu karena nggak ada tenaga perempuan, sementara banyak pelanggan perempuan datang, ya istilahnya ya ada orang datang butuh kerjaan ya diterima,” kata Bakat.
Tapi pada tahun itu, Yani tidak percaya dengan penjelasan Bakat. Bahkan sampai ketika saya dengar cerita itu kembali, sepertinya Yani masih belum percaya 100 persen kalau perempuan itu bukan selingkuhan.
“Nggak mas, itu bukan simpenan (selingkuhan). Saya kan nggak nyari. Dia (perempuan) datang sendiri nyari kerja. Waktu itu dia datang dianterin cowok dan perempuan itu lagi hamil,” kata Bakat.
Setiap kali menyinggung kembali konflik mereka pada masa lalu, Bakat dan Yani selalu menyelingi dengan gelak tawa.
Tahun itu benar-benar masa-masa paling capek dalam kehidupan Yani.
“Waktu itu saya mondar mandir itu, anak saya saya tinggal. Saya kejar ke sini (Palbatu), saya usir (perempuan itu).”
“Saya waktu itu ambil jalan tengah. Saya suruh dia (Bakat) ikut ke sana (bersama perempuan itu), dia nggak mau.”
Bakat dan Yani kemudian tertawa bersama-sama lagi sambil mengingat-ingat pengalaman tahun 1998.
“Itu pengalaman pahit. Bener-benar ujian,” kata Yani.
“Tapi kalau sekarang ya sudah nggak gitu lagi (Bakat), kalau sekarang sudah nggak laku dia. Udah bau tembakau,” kata Yani. Dia tertawa terbahak-bahak.
Hikmah
Siang hari itu, pasangan suami istri asal Jawa ini menceritakan banyak pengalaman suka maupun duka selama hidup di perantauan.
Selain urusan rumah tangga, juga pengalaman pindah-pindah tempat kerja, perubahan ekonomi yang kurang memihak pada kebanyakan pemijat tunanetra sehingga sebagian banting setir jadi penjual krupuk keliling, menjadi korban kejahatan, sampai digonggongi anjing pada waktu berjalan kaki mencari pelanggan.
“Manis pahit, setengah pahit, enak, setengah enak sampai nggak enak itu sudah kita rasakan semua mas,” kata Yani.
Usia pernikahan Bakat dan Yani sekarang sudah 37 tahun. Perjalanan hidup pernikahan yang tak bisa dikatakan baru.
Bagaimana mereka sekarang menatap kehidupan? Yani mengatakan, “Sekarang saya tinggal berdoa mudah-mudahan lancar semua usaha anak-anak saya. Udah nggak muluk-muluk mas.”
“Doain anak yang paling kecil ini mudah-mudahan kerjaannya lancar, kalau mau kuliah semoga bisa kuliah lagi.”
Sedangkan Bakat berkata, “Sekarang tinggal ngambil hikmahnya, namanya rumah tangga pasti ada benturan-benturan. Apalagi kayak saya yang profesinya kayak begini, yang saya jalani dari tahun demi tahun yang namanya kehidupan itu pasti ada suka dukanya.”
Dari empat orang anak, saat ini tinggal satu anak Bakat dan Yani yang masih lajang.
“Alhamdulilalh saya bersyukur banget. Dikabulkan sama Allah, udah bisa nikahin anak-anak (tiga anak). Walaupun banyak rintangan ternyata bisa sampai sekarang ya alhamdulillah.”
“Nggak modalin harta benda saya mas, tapi doain anak-anak mas supaya lancar usahanya,” kata Bakat.
Bakat teringat ramalan orangtuanya sebelum menikahi Yani dan dia percaya sekarang menjadi pengalaman nyata.
“Waktu mau rumah tangga dulu sudah diramal sama orangtua. Percaya nggak percaya. Rumah tangga itu cobaannya besar, kalau kuat bisa nahan ya bisa lanjut, sampai anak cucu.”
Bakat dan Yani sekarang sangat menghargai perjuangan cinta mereka yang dimulai dari asrama pendidikan di Pajang.