AS Tarik Pasukan dari Afghanistan, Taliban Nyatakan Menang Perang

SiswantoBBC Suara.Com
Kamis, 15 April 2021 | 17:32 WIB
AS Tarik Pasukan dari Afghanistan, Taliban Nyatakan Menang Perang
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Perjalanan ke wilayah Afghanistan yang dikuasai Taliban tidak lama. Setelah sekitar 30 menit dari kota Mazari Sharif di utara, melintasi kawah-kawah besar bekas bom di pinggir jalan, kami bertemu dengan tuan rumah: Haji Hikmat, wali kota bayangan Taliban di distrik Balkh.

Mengenakan wewangian dan turban hitam, dia adalah anggota veteran kelompok militan tersebut, bergabung pada tahun 1990-an ketika mereka menguasai mayoritas Afghanistan.

Taliban telah menyiapkan unjuk kekuatan untuk kami. Pria-pria bersenjata berat berbaris di kedua sisi jalan, salah satu dari mereka membawa pelontar granat berpeluncur roket, lainnya membawa senapan serbu M4 yang dirampas dari tentara AS. Balkh pernah menjadi salah satu daerah paling stabil di Afghanistan; sekarang, ia termasuk yang paling bergejolak.

Baryalai, seorang komandan militer lokal dengan reputasi bengis, menunjukkan jalan, "pasukan pemerintah ada di dekat pasar utama, tetapi mereka tidak bisa meninggalkan pangkalan mereka. Wilayah ini milik mujahidin".

Baca Juga: Indonesia Jadi Tempat Uji Coba Vaksin Nusantara yang Dikembangkan Amerika

Gambaran serupa ditemukan di sebagian besar Afghanistan: pemerintah mengontrol kota-kota, namun Taliban mengelilingi mereka, dengan kehadiran di sebagian besar pedesaan.

Kelompok militan itu menegaskan otoritas mereka melalui pos pengecekan yang terletak sporadis di jalan-jalan utama. Ketika anggota Taliban menghentikan dan menanyai mobil-mobil yang lewat, Aamir Sahib Ajmal, kepala dinas intelijen setempat, berkata kepada kami bahwa mereka sedang mencari orang-orang yang punya hubungan dengan pemerintah.

"Kami akan menangkap mereka, dan menawan mereka," ujarnya.

"Kemudian kami menyerahkan mereka ke pengadilan kami dan mereka memutuskan apa yang terjadi selanjutnya."

Taliban percaya kemenangan adalah milik mereka. Duduk ditemani secangkir teh hijau, Haji Hekmat menyatakan, "kami telah menang perang dan Amerika telah kalah".

Baca Juga: Pemerintah: Vaksin Nusantara Bukan Produk Indonesia, Tapi Amerika Serikat

Keputusan Presiden AS Joe Biden untuk menunda penarikan sisa tentara AS sampai September, yang berarti mereka akan tetap berada di negara itu setelah tenggat 1 Mei yang disepakati tahun lalu, telah memantik reaksi keras dari kepemimpinan politik Taliban. Meskipun demikian, momentum tampaknya ada di tangan para militan.

"Kami siap untuk apapun," kata Haji Hekmat. "Kami sepenuhnya siap untuk damai, dan kami sepenuhnya siap untuk jihad."

Seorang komandan militer yang duduk di sampingnya menambahkan: "Jihad adalah ibadah. Ibadah adalah sesuatu yang, seberapa banyakpun Anda melakukannya, Anda tidak merasa lelah."

Dalam setahun ke belakang, tampaknya ada kontradiksi dalam "jihad" Taliban. Mereka berhenti menyerang pasukan internasional menyusul penandatanganan kesepakatan dengan AS, namun terus bertempur dengan pemerintah Afghanistan.

Akan tetapi, Haji Hikmat bersikeras bahwa tidak ada kontradiksi. "Kami menginginkan pemerintahan Islam yang diatur dengan Syariah. Kami akan melanjutkan jihad kami sampai mereka menerima tuntutan kami."

Soal apakah Taliban akan bersedia membagi kekuasaan dengan faksi politik lain di Afghanistan, Haji Hikmat menyerahkannya pada kepemimpinan politik kelompok itu di Qatar.

"Apapun yang mereka putuskan, kami akan terima," katanya berkali-kali.

Taliban tidak menganggap diri mereka sebagai kelompok pemberontak biasa, tetapi calon pemerintah. Mereka menyebut diri mereka "Emirat Islam Afghanistan", nama yang mereka gunakan saat berkuasa dari tahun 1996 sampai digulingkan, menyusul serangan teror 11 September 2001 di Amerika Serikat.

Sekarang, mereka memiliki struktur "bayangan" yang rumit, dengan beberapa pajabat bertanggung jawab mengawasi layanan sehari-hari di wilayah yang mereka kuasai. Haji Hikmat, sang walikota Taliban, mengajak kami berkeliling.

Kami dibawa ke sebuah sekolah dasar, penuh dengan anak laki-laki dan perempuan menulis di buku teks yang disumbangkan oleh PBB. Saat berkuasa pada 1990-an, Taliban melarang perempuan mendapat pendidikan, meskipun mereka sering membantahnya. Bahkan sekarang, ada laporan bahwa di wilayah lain perempuan yang berusia lebih tua tidak diizinkan masuk kelas. Akan tetapi di sini setidaknya Taliban berkata mereka aktif mendorongnya.

"Selama mereka mengenakan hijab, penting bagi mereka untuk belajar," kata Mawlawi Salahuddin, yang bertanggung jawab atas komisi pendidikan setempat Taliban. Di sekolah menengah, katanya, hanya guru perempuan yang diizinkan, dan mereka wajib mengenakan kerudung. "Jika mereka mengikuti Syariah, tidak masalah."

Sumber BBC mengatakan Taliban menghapus mata pelajaran seni dan kewarganegaraan dari kurikulum, mengganti mereka dengan mata pelajaran Islam, namun sisanya mengikuti silabus nasional.

Jadi apakah Taliban menyekolahkan putri-putri mereka sendiri? "Putri saya masih sangat muda, tapi setelah dia besar, saya akan mengirimnya ke sekolah dan madrasah, selama mereka mewajibkan hijab dan Syariah," kata Salahuddin.

Pemerintah membayar gaji pegawai sekolah, namun Taliban yang berkuasa. Ini sistem hibrida yang diterapkan di seluruh negeri.

Di klinik kesehatan setempat, yang dijalankan oleh organisasi bantuan, ceritanya sama. Taliban mengizinkan pegawai perempuan untuk bekerja, tapi mereka harus didampingi pria saat malam hari, dan pasien laki-laki dan perempuan dipisah. Kontrasepsi dan informasi tentang keluarga berencana selalu siap sedia.

Taliban jelas-jelas ingin kami melihat mereka dengan lebih positif. Ketika kendaraan kami melintasi kerumunan murid perempuan yang berjalan pulang dari sekolah, Haji Hikmat melambai dengan semangat, bangga karena telah menyangkal ekspektasi kami. Namun keprihatinan tentang pandangan Taliban terhadap hak-hak perempuan tetap ada. Kelompok itu tidak punya anggota perempuan sama sekali, dan pada 1990-an mereka melarang perempuan bekerja di luar rumah.

Ketika kendaraan kami melewati desa-desa di distrik Balkh, kami melihat banyak perempuan, tidak semuanya mengenakan burqa yang menutupi sekujur badan, berjalan-jalan dengan bebas. Namun di bazar setempat, tidak ada perempuan sama sekali. Haji Hikmat bersikeras bahwa mereka tidak dilarang, meski dalam masyarakat yang konservatif, dia bilang, mereka biasanya memang tidak pergi ke sana.

Kami ditemani Taliban setiap waktu, dan beberapa warga lokal yang kami ajak bicara mengungkapkan dukungan mereka kepada kelompok tersebut, dan bersyukur kepada mereka karena telah membuat wilayah mereka lebih aman dan mengurangi tindak kriminal. "Ketika pemerintah berkuasa, mereka memenjarakan orang-orang kami dan meminta suap untuk membebaskan mereka," kata seorang lelaki tua. "Orang-orang kami dahulu sangat menderita, tapi sekarang kami bahagia dengan situasi ini."

Nilai-nilai ultra-konservatif Taliban memang tidak begitu berbenturan dengan masyarakat di wilayah rural, namun banyak orang, terutama di perkotaan, takut mereka akan membangkitkan kembali Emirat Islam yang brutal di tahun 1990-an.

Seorang warga lokal belakangan bersedia untuk bicara kepada kami, dengan syarat namanya tidak disebut, dan mengatakan Taliban sebenarnya jauh lebih keras dari yang mereka akui dalam wawancara. Dia menceritakan warga desa yang ditampar atau dipukuli karena mencukur janggut, atau stereo mereka dihancurkan karena mendengarkan musik. "Orang-orang tidak punya pilihan selain patuh pada mereka," ujarnya kepada BBC, "bahkan karena masalah sepele pun mereka main fisik. Orang-orang takut."

Haji Hikmat adalah anggota Taliban di tahun 1990-an. Sementara para kombatan yang lebih muda senang mengambil foto dan selfie, dia awalnya menutup wajahnya dengan turban ketika melihat kamera kami. "Kebiasaan lama," katanya sambil nyengir, sebelum akhirnya mengizinkan kami merekam wajahnya. Di bawah rezim lama Taliban, fotografi dilarang.

Apakah mereka melakukan kesalahan saat berkuasa, saya bertanya? Akankah mereka berperilaku sama lagi sekarang?

"Taliban dahulu dan Taliban sekarang sama saja. Jadi membandingkan waktu itu dan sekarang - tidak ada yang berubah," kata Haji Hikmat. "Tapi," dia menambahkan, "ada perubahan personel, tentu saja. Sebagian orang lebih kejam dan sebagian lagi lebih kalem. Itu normal."

Taliban tampaknya sengaja bersikap ambigu tentang apa yang mereka maksud dengan "pemerintahan Islam" yang ingin mereka dirikan. Beberapa analis memandangnya sebagai usaha sengaja untuk menghindari gesekan internal antara elemen garis keras dan yang lebih moderat. Dapatkah mereka mengakomodasi mereka yang berpandangan berbeda tanpa mengasingkan basis mereka sendiri? Kekuasaan dapat menjadi ujian terbesar mereka.

Saat kami menyantap makan siang ayam dan nasi, kami mendengar suara gemuruh setidaknya empat serangan udara dari jauh. Haji Hikmat tidak gentar. "Itu jauh, jangan khawatir," ujarnya.

Kekuatan udara, khususnya yang disediakan oleh Amerika, berperan penting dalam upaya menghalau Taliban selama bertahun-tahun. AS sudah secara drastis memangkas operasi militernya setelah meneken kesepakatan dengan Taliban tahun lalu, dan banyak yang takut kalau menyusul penarikan total mereka, Taliban akan mengerahkan militernya untuk mengambil alih Afghanistan.

Haji Hikmat mencemooh pemerintah Afghanistan, atau "pemerintahan Kabul" - demikian sebutan Taliban, korup dan tidak Islami. Sulit membayangkan laki-laki seperti dia akan berdamai dengan pihak lain di negara itu, kecuali itu sesuai kemauan dia.

"Ini jihad," ujarnya, "ini ibadah. Kami melakukannya bukan untuk kekuasaan melainkan untuk Allah dan hukum-Nya. Untuk membawa Syariah ke negeri ini. Siapapun yang menghalangi kami akan kami lawan."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI