Suara.com - Seorang perempuan muda mengumpulkan bunyi-bunyian khas di suatu tempat agar dapat membantu memahami masa lalunya sekaligus mendamaikannya dengan kebutuhan masa kini.
Rani Jambak, perempuan kelahiran 1992 di kota Medan, Sumatra Utara, merekam bunyi-bunyian khas di tempat leluhurnya di Sumatra Barat.
Selama dua pekan, Rani mendatangi langsung beberapa kota dan desa di wilayah itu dan merekam suara-suara khasnya — air terjun, musik tradisional, mesin jahit, atraksi silat, hingga klakson angkutan kota.
Perburuan bebunyian itu dilakukannya setelah dia merasakan semacam kebutuhan untuk terhubung kembali dengan jejak para leluhurnya.
Baca Juga: Panen Madu Kelulut di Hutan Adat Kampar, Warga Raup Rp 4 Juta per Bulan
Dilahirkan dan tumbuh besar di Kota Medan, leluhur Rani berlatar suku Jambak dan beretnis Minangkabau.
Rani adalah generasi ketiga dari garis ayah-ibunya yang merantau di Sumatra Utara.
"Melalui suara-suara itu, saya berusaha mencari warisan apa yang ditinggalkan leluhur," kata Rani kepada BBC News Indonesia, Selasa (06/04).
Namun selama perjalanannya, Rani tidak melulu menyelami ruang akustik alam dan tradisi peninggalan moyangnya.
Dia juga menyentuh masyarakat urban yang membentuk Minangkabau modern saat ini.
Baca Juga: Masyarakat Adat Biak yang Terancam Tersingkir Proyek Bandar Antariksa
"Ternyata, suara juga bisa menjadi penghubung masa lalu dan masa kini," ujarnya.
Baca juga:
- Nasi Padang: Sejarah, kalori, dan semua hal yang perlu Anda ketahui
- Rendang, tradisi merantau orang Minang dan sejarahnya yang rumit
- Ketika warga Malaysia keturunan Mandailing ramai-ramai 'pulang kampung' ke Indonesia
Mengapa mendokumentasikan suara?
"Bunyi itu penting," ujar Rani yang dikenal pula sebagai komposer.
"Dan setiap tempat memiliki bebunyian khasnya masing-masing."
Tetapi suara-suara khas suatu daerah sangat mungkin akan hilang ataupun berubah, katanya.
Pada titik inilah, Rani sampai pada pemahaman bahwa bebunyian khas itu "sangat penting untuk didokumentasikan".
"Karena 10 tahun yang akan datang, mungkin hutan akan makin sedikit, dan kita kesulitan menemukan suara hutan 10 tahun lalu itu seperti apa," ujar Rani, memberikan contoh.
Mendokumentasikan suara tak jauh berbeda dengan aktivitas berfoto, katanya. Ketika suatu saat melihat kembali foto-foto itu, ingatan akan peristiwa di baliknya akan muncul kembali.
"Nah, suara-suara itu seperti itu juga," kata Rani. "Bisa membangkitkan memori saat mendengarnya ulang."
Diakuinya pendokumentasian lanskap suara ini kurang populer dibandingkan, misalnya, pembuatan dokumentasi film.
"Tapi mungkin juga karena selama ini kita lalai tentang ilmu tentang soundscapes (pemandangan bunyi)."
Rani mengharapkan perkembangan teknologi sistem rekaman audio yang semakin canggih ("bisa dibawa ke mana-mana," ujarnya), akan membuat masyarakat tertarik untuk mendalaminya.
"Ini adalah salah satu bentuk bagaimana saya menyimpan aset bangsa," akunya. Dengan demikian, di masa depan, orang-orang dapat mempelajari masa lalu melalui arsip suara.
"Selama ini yang menjadi aset kebudayaan kita selalu bentuknya fisik. Nah, sekarang bagaimana kita bisa menyimpan yang sifatnya bunyi."
Baca juga:
- Kaum muda Aceh menafsir sejarah
- 'Tentara membubarkan latihan kami, karena kami Tionghoa' — Kaum muda Tionghoa, jejak kungfu di Indonesia, dan kisah percampuran budaya
- Kisah anak algojo PKI di Blitar selatan yang mendampingi penyintas kasus 1965: 'Saya minta maaf'
'Bebunyian mistik Batu Talempong dan Randai' — apa yang Rani temukan selama perjalanan?
Selama proses perburuan suara selama dua pekan, Rani — ditemani videografer Evi Ovtiana — merekam berbagai aktivitas sosial-budaya di Kota Padang, Pariaman, dan Ampek Angkek.
Mereka juga mengeksplorasi suara-suara di kota Payakumbuh, Bukit Tinggi, Tabek Patah dan Kisaran.
Semula didasarkan data yang sudah disiapkan sebelumnya (di antaranya, "saya juga mewawancarai beberapa budayawan Minangkabau," katanya), Rani mengaku membiarkan dirinya "terbawa kemana saja" selama eksplorasi di berbagai wilayah itu.
"Jadi, memang banyak sekali yang sifatnya insidental, justru di luar dugaan," ungkapnya saat merilis karyanya berlatar perburuan suaranya di Sumatra Barat yang diberi judul Suara Minangkabau, akhir Maret lalu di Medan.
"Contohnya adalah [rekaman suara] pada aktivitas berburu babi di wilayah Tabek Patah," tambahnya. Dia mengaku belum pernah mengetahui aktivitas yang melibatkan kawanan anjing ini.
"Ketika memasuki hutan, bukan suara jengkerik atau serangga lain, tapi gema suara anjing." Di sinilah Rani mengaku menemukan sisi lain Minangkabau.
'Temuan' lainnya yang disebut penting oleh Rani selama perjalanannya adalah ketika dia mendatangi Situs Cagar Budaya Batu Talempong di Kabupaten Lima Puluh Kota.
Sebagian masyarakat Minangkabau meyakini bahwa siapapun yang membunyikan kumpulan batu Talempong, harus diasapi terlebih dengan kemenyan putih.
"Terkesan sangat mistis," katanya. Dengan kesadaran, Rani lantas mengetuk bebatuan itu dan merekam bunyi-bunyian yang timbul.
"Di sinilah titik temu antara nilai-nilai leluhur dan bebunyian," jelas Rani setelah saya bertanya di mana titik temu antara suara-suara dan nilai-nilai leluhurnya.
Pada akhirnya, suara-suara yang didengarnya itu akan memancing Rani untuk mendalami lebih lanjut.
"Sumber suara itu dari mana, kisah tentang suara itu seperti apa, misalnya seperti itu," paparnya lebih lanjut.
Hal ini juga dia alami ketika dia merekam suara-suara dari seni pertunjukan Randai. "Ketika mendengarnya, ada banyak petatah-petitih, yang akhirnya mendorong saya untuk tahu lebih banyak."
Baca juga:
- Lahir dan besar dalam konflik, bagaimana anak-anak kandung tertuduh separatis memandang keIndonesiaan?
- Sesudah puisi Sukmawati: Kreativitas terkait Suntiang Minang yang kini dipersoalkan
- 'Kerusuhan' antara Malaysia dan Singapura di media sosial soal kepemilikan cendol
'Suara Minangkabau' — suara alternatif memahami Minangkabau
Bebunyian yang dikumpulkan selama perjalanan ke Sumatra Barat ini kemudian diolah Rani menjadi sebuah komposisi musik.
Rani menggabungkan lanskap suara hasil perburuannya itu dengan bebunyian lain yang dia dapatkan dengan sentuhan teknologi baru.
"Tapi bunyi asli yang saya dapatkan selama perjalanan ke Minangkabau itu lebih banyak daripada instrumen eksternalnya," kata alumni program studi seni musik, Fakultas Bahasa dan Musik, Universitas Negeri Medan (2015).
Hasilnya? Sebuah komposisi yang diberi judul 'Suara Minangkabau' — "Secara simbolik ada benturan antara masa lalu dan masa kini, karena ada sentuhan teknologi di sini," papar Rani.
Namun menurutnya, proses 'benturan' itu tidak harus selalu dihadapi dengan sikap penolakan atau antikritik.
"Selayaknya warisan, kita dapat memahaminya terlebih dahulu kemudian mempertimbangkan apakah nilai-nilai ini masih relevan atau tidak untuk diteruskan," papar Rani yang kini berkarir dan berkarya di jalur musik.
Pada akhirnya, Rani menggarisbawahi bahwa 'Suara Minangkabau' merupakan upayanya "membongkar kembali" pemahaman terhadap nilai-nilai dan sejarah Minangkabau pada masa lalu.
"Yang kemudian 'warisan' tersebut diadaptasi dengan perkembangan yang kekinian di era digital ini," Rani berkata.
Itulah sebabnya, melalui karya komposisi ini, dia ingin menyampaikan pesan bahwa dia tidak sebatas mengenal sejarah dan masa lalu Minangkabau, tetapi juga berdamai dengan tuntutan masa kini.
"Bagi saya, semua manusia yang hidup pada masa kini, akan menjadi leluhur di masa akan datang," ujar Rani yang merampungkan studi strata dua di Jurusan Industri Kreatif di Fakultas Seni, Universitas Macquarie, Sydney, Australia (2018).
Dia menekankan karyanya ini semacam alternatif dalam mempelajari sejarah dan budaya Minangkabau.
Dari sudut pandang itu, Rani mengharapkan generasi tua akan mengingat lagi kembali memori tentang leluhurnya.
Sebaliknya, "bagi kaum mudanya, akan menjadi pengetahuan yang mungkin belum pernah mereka ketahui," jelasnya.
'Mengambang, akar saya nyaris tercerabut'
Menyebut dirinya sebagai 'anak rantau', Rani Fitriana Jambak mengaku 'Suara Minangkabau' adalah salah-satu puncak pencarian jati dirinya.
"Saya lahir dari keluarga keturunan Minangkabau, tapi lahir [tahun 1992] di Medan, artinya saya sudah menjadi anak rantau," ungkapnya.
Berteman akrab dengan teman-temannya yang mayoritas berbahasa Karo dan Batak, Rani tumbuh dalam lingkungan yang beragam.
Namun dalam perjalanannya, dia merasa ingin mengetahui lebih banyak tentang akar keluarganya.
"Kayaknya Rani enggak tahu-menahu tentang Minang. Dari situ saya kemudian mencari tahu tentang identitas," kenangnya.
Dalam atmosfer wacana literasi perihal identitas budaya yang tengah mendominasi saat dirinya kuliah, dia kemudian tenggelam di dalamnya.
Akhirnya, sekitar delapan tahun lalu, Rani memberanikan diri untuk menampilkan jati dirinya sebagai keturunan Minang di media sosial.
"Saya memakai [identitas] suku yang diturunkan dari garis ibu, yaitu Jambak," ungkapnya. "Dan saya tidak malu-malu lagi menggunakannya."
Hal itu dia tekankan karena sebagian besar teman-temannya menggunakan marganya masing-masing, seperti Napitupulu, Siahaan atau lainnya.
Di titik ini, Rani muda berusaha menjalin kontak dengan warga Minangkabau di Kota Medan.
Namun dalam perjalanannya, Rani mengaku "sulit menyatu". "Mereka kebanyakan orang-orang dari Sumatera Barat langsung... Mereka memakai bahasa Minang, dan Rani enggak terbiasa."
Ketika saya bertanya apakah dirinya seperti mengambang alias tidak sepenuhnya mengakar dalam budaya Minangkabau, Rani seraya tertawa dan berujar "kayaknya benar".
Alasannya, dia mengetahui bahwa orang tuanya memilih darah Minangkabau, namun di sisi lain dia tumbuh di luar lingkungan leluhurnya. "Jadi agaknya Rani agak mengambang."
Proses pencarian identitas itu terus berlanjut ketika dia melanjutkan studi ke Australia. "Salah-satu caranya adalah membuat komposisi musik yang berbau Minangkabau."
Rani mengaku karya komposisi 'Suara Minangkabau' merupakan salah-satu puncak pencarian jati dirinya.
Diakuinya proses dan karya tersebut menjadi perjalanan personal dirinya, yaitu "penjelajahan ke dalam" untuk mengenal diri dan leluhurnya".
"Sekaligus juga merepresentasikan perjalanan banyak orang lain yang juga memiliki proses internalisasi sejenis," tandas Rani Fitriani Jambak.
'Gagasan merekam suara kota sangat menarik, karena suara itu bakal hilang'
(Melani Budianta, pakar cultural studies dan ilmu budaya dari Universitas Indonesia)
Ketika saya masih kecil dan tinggal di Kota Malang, saya sering mendengar suara-suara yang sangat akrab di telinga saya.
Suara penjual pisang ledre yang naik sepeda. 'Dre, ledre, ledre' begitu suaranya. Sekarang masih ada [penjual ledre], tetapi barangkali penjual ledre keliling dengan suara seperti itu tidak ada lagi.
Seandainya Rani Jambak waktu itu bisa membuat suara-suara khas di Kota Malang, tentu suara itu akan terekam sampai sekarang.
Gagasan membuat soundscape suatu kota itu sangat menarik, karena suara-suara khas akan berubah dari masa ke masa.
Belum lagi, misalnya di kota besar, di mana suara-suara yang terdengar mungkin hampir-hampir sama antara satu kota dan kota yang lain, namun juga bisa jadi di sebuah kota besar antara masing-masing sudut kota ternyata tidak sama suaranya.
Ini menjadi sebuah tantangan bagi Rani Jambak untuk dapat mendiskusikan, dan menampilkan suara-suara khas tersebut untuk dapat mengungkapkan ada apa di balik suara-suara tersebut. (Diringkas dari acara rilis 'Suara Minangkabau' karya Rani Jambak, 29 Maret 2021)
'Manusia perlu bahagia, salah-satu caranya mendengarkan suara'
(Muhammad Baiquni, pakar geografi pembangunan dan pendiri Sustainable Tourism Action Research Society, dari UGM)
Suara-suara alam ini muncul dan hadir dengan suasana ruang dan waktu, yang akan menimbulkan keragaman dan keunikan tersendiri.
Kehidupan modern menghadirkan suara-suara mesin, suara-suara kendaraan, dan kebisingan yang luar biasa.
Namun sebagai keseimbangan, desa menghadirkan alam dan segenap isinya yang juga bersuara dan bernyanyi, dan diperlukan keseimbangan di diri kita untuk bisa menikmati alam dan suara yang ada sebagai kekuatan inspirasi.
Dalam kajian the geography of the sound, adalah hal yang menarik untuk dikaji, bahwa di setiap lokasi, di setiap daerah, dan di setiap pulau, memiliki suara-suara yang unik dan perlu didokumentasikan dan menjadi sebuah partitur yang unik untuk nanti di kemudian hari.
Dengan mengarsipkan suara-suara ini maka the geography of the sound, suatu pendekatan geografi terhadap suara, akan menghadirkan inspirasi, dan menjadi daya kekuatan inovoasi untuk kehidupan di masa depan.
Di sanalah, manusia memerlukan kebahagiaan melalui berbagai cara, salah satunya dengan mendengarkan suara itu.
Suara alam adalah karunia Tuhan yang diberikan dan manusia pantas untuk mensyukuri atas suara-suara yang bisa memberi kita daya hidup, daya energi dan daya gerak untuk menjadi manusia yang bermanfaat dan "migunani". (Disarikan dari rilis 'Suara Minangkabau' karya Rani Jambak, 29 Maret 2021)
'Memahami Minangkabau melalui musik, melalui rasa'
(Viveri Yudi atau 'Mak Kari', pengamat budaya Minangkabau, tinggal di kota Padang)
Menangkap atmosfer Minangkabau melalui suara, tentu tidak bisa sekali jadi.
Pencarian Rani Jambak yang berawal dari pemikiran tentang Minangkabau selama belasan tahun tidak ketemu, tetapi begitu Rani masuk melalui "rasa" maka inilah yang bisa diserapnya.
Jadi, membaca Minangkabau tidak bisa dengan teori-teori barat dan buku teks, karena akan keliru.
Minangkabau tidak bisa dengan didekati dengan pikiran, tapi membaca orang Minangkabau bisa saja dengan membaca apa yang mereka pikirkan.
Menemukan Minangkabau adalah dengan pendekatan rasa. Orang bisa saja menjadi "Minangkabau" walaupun dia bukan keturunan Minangkabau, ketika ia bisa menemukan filosofi dan rasa keminangkabauan.
Rani Jambak saya anggap sudah berada di arah yang benar dengan pendekatan itu, walaupun masih ada lapisan-lapisan yang harus ia selami lebih lanjut. (Diringkas dari materi saat rilis 'Suara Minangkabau' karya Rani Jambak, 29 Maret 2021).