Suara.com - Amerika Serikat, Afrika Selatan, dan Uni Eropa memutuskan untuk menghentikan sementara penggunaan vaksin Johnson & Johnson akibat laporan kasus pembekuan darah langka di AS.
Menyadur BBC, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS mengatakan sebanyak enam kasus pembekuan darah terdeteksi dalam lebih dari 6,8 juta dosis vaksin.
Kasus ini serupa dengan yang terjadi pada vaksin AstraZeneca yang akhirnya diputuskan untuk dibatasi pemakaiannya.
Dalam pernyataannya, FDA mengungkapkan pihaknya merekomendasikan penundaan sementara karena mereka perlu “sangat berhati-hati”.
Telah dikonfirmasi sebelumnya bahwa satu pasien meninggal akibat komplikasi pembekuan darah, sementara satu lagi dalam kondisi kritis.
Keenam kasus ini terjadi pada wanita berusia 18-48 tahun, dengan gejala yang muncul enam hingga 13 hari setelah vaksinasi.
Atas saran tersebut, semua situs federal di AS telah berhenti menggunakan vaksin Johnson & Johnson sampai penyelidikan lebih lanjut tentang keamanannya selesai.
Sejauh ini, AS dilaporkan memiliki kasus COVID-19 tertinggi di dunia dengan lebih dari 31 juta kasus serta lebih dari 562.000 kematian.
Adapun sebelumnya, Johnson & Johnson (J&J) merupakan perusahaan perawatan kesehatan AS dengan vaksinnya yang dikembangkan di Belgia, yang dikenal dengan nama Janssen.
Baca Juga: MUI Keluarkan Fatwa Vaksin Tak Batalkan Puasa, Ini Tanggapan Kemenkes
Tidak seperti vaksin lainnya, vaksin J&J hanya memberikan satu kali suntikan dan dapat disimpan pada suhu lemari es normal. Ini membuatnya lebih mudah untuk didistribusikan di daerah dengan iklim yang lebih panas maupun daerah yang terpencil.