Suara.com - Kementerian Perhubungan membantah jika kebijakan yang membolehkan pergerakan kendaraan di 37 kota di tengah larangan mudik lebaran pada 6-17 Mei 2021 disebut sebagai pelonggaran.
Juru bicara Kemenhub, Adita Irawati, mengatakan daerah dikecualikan karena ada pekerja yang tempat tinggal dan lokasi pekerjaan melintasi antarkabupaten/kota.
Adapun kebijakan larangan mudik tahun ini, klaimnya lebih ketat dari tahun lalu karena melipatgandakan titik penyekatan di jalur-jalur ramai pemudik. Sehingga diharapkan bisa menekan angka kasus positif Covid-19.
Tapi seorang pakar epidemiologi menilai, aturan larangan mudik pada tahun ini tetap akan meningkatkan kasus positif virus corona karena pemerintah tak mendukung kebijakan itu dengan 3T yakni testing, tracing, dan treatment.
Baca Juga: Operasi Keselamatan Jaya, Ini yang Disasar Polda Metro Selama Ramadhan
Baca juga:
- Larangan mudik berlaku, aparat akan tempuh 'cara-cara persuasif' terhadap warga yang berkeras mudik
- Jelang Lebaran arus mudik tetap melaju, Menko Polhukam minta perketat pengawasan hingga jalur tikus
- Puncak arus mudik lebaran: 23 juta pulang kampung dengan tujuan terbesar ke Jawa
"Tidak memberi daya ungkit"
Epidemiologi dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, menilai pemerintah tidak menggunakan pengalaman dan data mengenai larangan mudik tahun lalu dalam membuat kebijakan kali ini.
Pada tahun 2020 pemerintah, katanya, juga melarang mudik lebaran tapi angka positif Covid-19 naik.
Jika berkaca pada kejadian itu, semestinya pemerintah tak mengambil langkah serupa yang menurutnya "tidak memberi daya ungkit" terhadap upaya pengendalian Covid-19.
"Sudah ratusan kebijakan pemerintah terkait pengendalian pandemi, ada yang mengukur implementasi dan evaluasinya? Apakah kebijakan itu memberi daya ungkit pengendalian? Kalau tidak, kenapa terus menyusahkan masyarakat?" kata Masdalina Pane kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (11/04).
Baca Juga: Bukan dari Sekolah, Anak Berisiko Tertular COVID-19 Justru dari Orangtua
Bagi Masdalina, kebijakan larangan mudik lebaran takkan bisa mencegah warga untuk tidak pulang ke kampung halaman.
Mereka bisa saja mudik sebelum tanggal yang ditetapkan pemerintah, imbuhnya.
Larangan itu pun, kata dia, akan menjadi percuma jika di sisi lain pemerintah membolehkan tempat pariwisata beroperasi.
Sementara itu, tidak ada kemauan kuat dari pemerintah pusat maupun daerah untuk melakukan 3T yakni pengetesan, pelacakan, dan perawatan.
"Mudiknya aman, tapi perilaku di tempat mudik itu yang bisa menyebabkan penyebaran (virus corona) banyak. Apa perilakunya? Berkunjung, reuni dengan teman lama, mencicipi kuliner di suatu tempat, itu yang kemudian menciptakan klaster-klaster baru."
"Makanya yang terpenting 3T, apa itu pernah disebut pemerintah? Tidak."
Pengamatan Masdalina, mayoritas kepala daerah tidak maksimal melakukan pengetesan dan pelacakan agar kasus Covid-19 di daerahnya "terlihat sedikit".
Kalaupun dilakukan, tidak melaporkan kasus positif dengan angka yang sesungguhnya.
"Yang paling sederhana dia (pemda) naikkan jumlah sembuh, turunkan jumlah kasus, turunkan kematian. Mereka sudah tahu. Ada suatu daerah 'oh ya hari ini cukup laporkan 200 kasus, sisanya nanti saja'."
Apa yang dilakukan pemerintah untuk mencegah mudik?
Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, mengatakan kebijakan larangan mudik lebaran berlaku di seluruh wilayah mulai tanggal 6-17 Mei 2021.
Karena itulah Kemenhub melarang pengoperasian seluruh moda transportasi darat, laut, udara, kereta api. Kecuali bagi mereka yang melakukan perjalanan dinas atau keperluan mendesak lainnya.
Itu mengapa ia membantah jika ada pelonggaran di 37 kabupaten/kota yang tersebar di delapan wilayah.
"Di wilayah aglomerasi itu setiap hari selalu ada pergerakan lalu lintas antar-kabupaten atau antar-provinsi dalam satu kawasan untuk kepentingan pekerjaan. Itu kenapa tidak dilakukan pelarangan karena 6-17 Mei masih ada kantor tidak cuti."
"Tapi nanti akan ada pembatasan, masih kita susun edaran sehingga lebih detail."
Kendati telah dilarang, tapi Adita mengakui sangat sulit mengontrol pergerakan jalur darat yang didominasi kendaraan pribadi.
Beberapa upaya, kata dia, telah disiapkan untuk mencegah kemungkinan adanya pemudik yang lolos sehingga menyebabkan terjadinya lonjakan kasus positif Covid-19.
- Vaksin Covid: Umat Islam di Inggris diimbau 'tetap divaksinasi saat puasa Ramadan' - Bagaimana dengan Indonesia?
- Tercepat di dunia, India salurkan 100 juta dosis vaksin Covid-19 dalam 85 hari
- Kuliah tatap muka: UNS Solo gelar perkuliahan di kampus, mengapa perguruan tinggi lain tetap memilih kuliah daring?
Satu hal yang menjadi andalan yakni menambah titik penyekatan hingga dua kali lipat di sejumlah jalur yang dinilai bakal ramai dilalui pemudik.
Penyekatan jalur itu berlaku mulai dari Lampung, Jawa, hingga Bali.
"Kalau ada yang lolos masuk ke daerah tujuan, pemda lakukan penyekatan."
"Kalau ada (pengendara) yang tidak memenuhi syarat seperti berdinas atau keperluan penting lainnya, akan diputarbalikkan untuk kembali ke daerahnya."
Hal lain yang dilakukan yakni pengetesan secara acak atau random testing di lokasi-lokasi tertentu.
"Kalau ada yang positif akan dirawat seperti halnya menemukan kasus positif, seperti dikarantina."
Namun demikian, jika ada pemudik yang lolos dari pengawasan dan tiba di kampung halaman, maka menjadi tanggung jawab kepala daerah untuk melakukan karantina selama lima hari.
Kewajiban itu tertuang dalam surat edaran yang dikeluarkan Satgas Penanganan Covid-19.
Akan tetapi merujuk pada mudik lebaran tahun 2020, meskipun pemerintah melarang mudik lebaran tapi setidaknya ada satu juta pemudik yang keluar dari Jabodetabek.
Adita berharap, jumlah tahun ini berkurang.
"Berkaca pada tahun lalu dengan pelarangan yang hampir sama, kira-kira masih ada satu juta orang masih bisa keluar dari Jabodetabek. Kami harap angka itu tidak terjadi lagi, kalau ada juga lebih kecil."
Apa kata calon pemudik?
Seorang pekerja di Jakarta, Achmad Arief Ramadhan, mengatakan akan tetap mudik meski dilarang pemerintah.
Ia berkeras untuk mudik, karena tahun lalu ia tidak pulang kampung.
Untuk mengakali kebijakan pelarangan itu, ia akan mudik ke kampung halamannnya di Malang, Jawa Timur, lebih cepat yaitu pada 30 April.
"Betul, aku pulang lebih cepat untuk menghindari kebijakan itu dan aku memang wajib berusaha untuk balik karena tahun lalu enggak balik."
"Tahun lalu enggak pulang karena dilarang dan kondisinya masih hangat-hangatnya Corona, jadi aku takutnya bawa penyakit ke rumah."
Arief pun mengaku sudah memesan tiket pesawat untuk mudik nanti.
Senada dengan Arief, Agus Setiawan warga di Tangerang Selatan juga memutuskan tetap mudik dengan kendaraan pribadi kendati dilarang oleh pemerintah.
Tahun lalu, ia juga mengurungkan niatnya untuk pulang kampung ke Pacitan, Jawa Timur, karena kondisi pandemi.
Tapi tahun ini ia tak bisa lagi menunda. Ia sekeluarga telah divaksin, sehingga merasa aman untuk bertemu keluarga di sana.
"Orang tua masih ada semua, tahun lalu kan enggak mudik, ya masak sih dua tahun berturut-turut enggak mudik, rasanya gimana..."
"Lebih dari 50% yakin untuk pulang. Karena momen tahun lalu benar-benar hilang. Istriku juga tahun lalu baru kali itu enggak pulang."