Suara.com - Tujuh pendeta Katolik, termasuk dua warga Prancis, diculik di Haiti pada Minggu (11/4) dan meminta tebusan miliaran rupiah.
Menyadur France24, Senin (12/4/2021) lima pendeta dan dua biarawati diculik pada pagi hari di Croix-des-Bouquets, sebuah komune di timur laut ibu kota Port-au-Prince.
Ketujuh orang tersebut diculik ketika "dalam perjalanan menuju pelantikan pastor paroki baru," kata Pastor Loudger Mazile kepada AFP.
Para penculik menuntut uang tebusan 1 juta dolar atau sekitar Rp 14 miliar.
Baca Juga: Lumat Strasbourg, PSG Pelihara Asa Juara
Pihak berwenang Haiti mencurigai geng bersenjata bernama "400 Mawozo", bertanggung jawab atas penculikan tersebut, menurut sumber polisi.
Dari tujuh orang tersebut, dua orang diketahui sebagai warga negara Prancis. Empat pendeta adalah orang Haiti, dan satu dari dua biarawati.
Kasus penculikan dan meminta uang tebusan melonjak dalam beberapa bulan terakhir di Port-au-Prince dan wilayah lain di Haiti.
"Ini keterlaluan. Waktunya telah tiba untuk menghentikan tindakan tidak manusiawi ini," kata Uskup Pierre-Andre Dumas dari komunitas Haiti Miragoane kepada AFP.
"Gereja berdoa dan berdiri dalam solidaritas dengan semua korban tindakan keji ini." sambungnya.
Baca Juga: Nyala Api Lilin Hangatkan Kebun Anggur di Prancis
Pada bulan Maret, pemerintah Haiti mengumumkan keadaan darurat selama sebulan untuk memulihkan otoritas negara di daerah yang dikuasai geng, termasuk di ibu kota.
Meningkatnya kekerasan geng dan ketidakstabilan politik baru-baru ini membuat munculnya aksi protes ke jalan-jalan Port-au-Prince.
Seminggu yang lalu, ratusan pengunjuk rasa perempuan melakukan unjuk rasa di kota melawan kekuatan geng yang berkembang, yang telah menyebabkan lonjakan kasus penculikan.
Selain kasus penculikan yang meningkat, salah satu negara termiskin di benua Amerika itu juga mengalami krisis politik selama berbulan-bulan.
Presiden Jovenel Moise menyatakan bahwa masa jabatannya berlaku hingga 7 Februari 2022, tetapi yang lain mengklaim bahwa masa jabatannya berakhir pada 7 Februari 2021.
Ketidaksepakatan tersebut bermula dari fakta bahwa Moise terpilih dalam pemungutan suara yang dibatalkan karena kasus kecurangan, dan kemudian terpilih kembali setahun kemudian.