Seorang Perempuan Menyimpan Abu Jenazah Orang yang Salah Selama 10 Bulan

SiswantoBBC Suara.Com
Senin, 12 April 2021 | 15:02 WIB
Seorang Perempuan Menyimpan Abu Jenazah Orang yang Salah Selama 10 Bulan
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - "Mustahil! Abu jenazah ibu saya ada di rumah."

Itulah yang dikatakan Elsa Maldonado, meski ragu-ragu, saat pihak berwenang di Ekuador menghubunginya dan memberi tahu bahwa dia bisa mencari pemakaman ibunya, Enma Aguirre, di internet.

Enma meninggal pada 26 Maret 2020, pada usia 86 tahun, di Rumah Sakit Los Ceibos di Guayaquil. Ini adalah kota di Amerika Selatan pertama yang tedampak Covid-19.

Tubuh Enma seharusnya dikremasi, dimasukkan ke dalam guci, lalu diberikan kepada keluarganya.

Baca Juga: Tercepat di Dunia, India Salurkan 100 Juta Dosis Vaksin Covid Dalam 85 Hari

"Sejak pertama, saya merasa itu bukan abu jenazah ibu saya," kata Elsa.

Setelah telepon itu, Elsa membuka situs resmi pemerintah untuk penanganan Covid-19. Di sana dia menemukan nama ibunya dalam daftar orang yang dikebumikan di pemakaman Parque de la Paz.

Jadi abu jenazah siapa yang dipegang Elsa selama 10 bulan terakhir?

Elsa mendoakan abu itu setiap hari, tapi sekarang dia tidak tahu apa harus dia perbuat terhadap abu di garasinya tersebut."Mustahil! Abu jenazah ibu saya ada di rumah."

Enma adalah satu dari ratusan orang yang meninggal karena Covid-19 di Guayaquil, kota terbesar kedua di Ekuador dengan populasi 2,7 juta jiwa.

Baca Juga: Takut Covid-19, Perempuan Hamil Korban Banjir NTT Mengungsi di Kebun

Dan Enma juga salah satu korban yang keliru dikenali atau tidak diidentifikasi sama sekali.

Kekacauan terjadi di empat rumah sakit, termasuk tempat Enma meninggal selama puncak pandemi, antara Maret dan April 2020.

Ketika itu jenazah mulai menumpuk di rumah sakit dan kamar mayat. Pemerintah Ekuador lantas menggunakan wadah sampah untuk disimpan jenazah mereka.

Setahun setelah puncak pandemi, masih ada 227 jenazah tak dikenal yang tersisa di kontainer rumah sakit dan 62 jenazah di berbagai kamar mayat Kota Guayaquil.

Selain itu, lebih dari 100 keluarga tidak mengetahui keberadaan kerabat mereka yang meninggal.

Banyak keluarga itu tidak yakin pada identitas jenazah yang mereka kubur atau tidak percaya bahwa kerabat mereka dimakamkan di tempat yang diinformasikan pemerintah.

Akibatnya, kini beberapa keluarga meminta jenazah itu diangkat kembali.

Bagaimana Enma bisa berada di rumah sakit yang salah?

Enma menderita anemia kronis. Dia mengandalkan transfusi darah secara teratur agar bertahan hidup. Namun ketika pandemi terjadi, pengobatannya berhenti.

Elsa sempat meminta transfusi darah untuk Enma ke Palang Merah dan sejumlah rumah sakit.

Meski begitu, dia tidak bisa mendapatkan darah yang dibutuhkan ibunya.

Pada saat itulah dokter keluarga merekomendasikan agar Enma dirawat di rumah sakit.

Pada 25 Maret 2020, Elsa mengunjungi beberapa klinik swasta dan memohon agar mereka bersedia merawat ibunya. Tapi permohonannya sia-sia.

Dalam keputusasaan, Elsa pergi ke rumah sakit umum Los Ceibos. Di sana dia memohon selama berjam-jam sebelum akhirnya mereka bersedia merawat Enma.

Tapi Enma kemudian berkata, "Ambilkan saya resep dokter dan bawa saya pulang."

Namun Elsa berkata ibunya justru dimasukkan ke bangsal pasien Covid-19.

Pada saat itu, layanan banyak rumah sakit di Kota Guayaquil sudah ambruk. Situasi ini disadari otoritas kesehatan lokal. Mereka mengadakan pertemuan harian dengan anggota tim krisis di pusat-pusat kesehatan.

Di antara yang mengambil langkah gawat darurat itu adalah Paul Granda, mantan pimpinan Layanan Kesehatan Nasional Ekuador (IESS) dan Otto Sonnenholzner, mantan Wakil Presiden Ekuador.

Sonnenholzner kala itu ditunjuk Presiden Lenin Moreno untuk mengarahkan layanan kesehatan pemerintah di Guayaquil.

Banyak dokter meminta bantuan klinik swasta saat pandemi ini, kata seorang dokter kepada BBC. Namun pemerintah hanya memerintahkan rumah sakit umum untuk merawat pasien Covid.

Saat dihubungi BBC, Granda membenarkan bahwa perannya adalah "memotivasi" IESS. Tapi dia mengaku tidak ingat permohonan bantuan kepada klinik swasta.

Walau begitu, seorang anggota timnya, Mauricio Espinel, menyebut ada penolakan dari klinik swasta karena ketidaksepakatan mengenai biaya.

Sonnenholzner berkata, beberapa rumah sakit swasta bersedia merawat pasien Covid, tapi tidak melakukannya karena belum siap.

Para dokter di rumah sakit umum yang frustrasi menuding pemerintah tidak cukup tegas dan tidak mengakui terjadinya krisis di Guayaquil.

Serangkaian panggilan buruk

Di tengah krisis, keputusan Kementerian Kesehatan Ekuador justru memberi tekanan tambahan kepada sistem kesehatan di Kota Guayaquil.

Pemerintah memerintahkan agar semua korban Covid-19, termasuk yang berstatus terduga, dikremasi. Padahal di kota itu hanya ada tiga krematorium. Mereka bahkan sudah tidak mampu mengatasi tingkat kematian akibat pandemi.

Saat di rumah sakit Elsa diberitahu, untuk mengambil dan mengkremasi jenazah ibunya, dia harus pergi ke Junta de Beneficencia.

Ini adalah badan amal swasta yang bertanggung jawab atas pemakaman umum Guayaquil. Mereka menjalankan dua krematorium.

"Putra saya berkata kepada saya, 'Saya akan pergi dan mengurus dokumen, saya tidak ingin kamu terinfeksi'," kata Elsa.

"Saya berkata kepadanya untuk membayar berapa pun untuk mendapatkan abunya dengan cepat.

"Anak saya membayar US$570 (Rp8,3 juta) menggunakan kartu kredit," kata Elsa.

Tapi baru dua hari kemudian keluarga Elsa mendapatkan abu jenazah Enma.

Lebih rumit lagi, pemerintah Ekuador saat itu memberlakukan jam malam. Akibatnya, jam operasional krematorium dan kantor catatan sipil terbatas. Padahal merekalah mengeluarkan akta kematian.

Saat kapasitas pasien rumah sakit terlampau dan jenazah mulai membusuk karena pendingin yang buruk, kerabat yang berduka mengantre berhari-hari untuk mendapatkan dokumen.

Ombudsman setempat menggugat tiga rumah sakit setelah mempertimbangkan kesaksian 37 keluarga.

Pada audiensi Juni 2020, pejabat rumah sakit Guasmo Sur mengklaim tidak dapat mengatasi jenazah yang terus bertambah. Mereka lalu meminta bantuan Kementerian Kesehatan.

Menurut catatan persidangan, kementerian tidak menjawab permohonan itu, sementara otoritas rumah sakit tidak memaksakan permohonan mereka.

Selama persidangan, petugas rumah sakit Guasmo Sur menyimpulkan, kerabatlah yang harus disalahkan atas tumpukan mayat.

Menurut mereka, para keluarga tidak mengambil jenazah tepat waktu. Pernyataan ini memicu kemarahan keluarga yang berkabung.

Wadah dan penggalian

Seiring meningkatnya jumlah laporan tentang kekeliruan penyerahan jenazah, kecemasan di antara keluarga korban terus meningkat.

Satu keluarga pernah melaporkan keterkejutan mereka. Berharap menerima jenazah saudara laki-laki mereka, rumah sakit malah menyerahkan jenazah seorang wanita.

Enma adalah satu dari ratusan orang yang meninggal karena Covid-19 di Guayaquil, kota terbesar kedua di Ekuador dengan populasi 2,7 juta jiwa.

Dan Enma juga salah satu korban yang keliru dikenali atau tidak diidentifikasi sama sekali.

Kekacauan terjadi di empat rumah sakit, termasuk tempat Enma meninggal selama puncak pandemi, antara Maret dan April 2020.

Ketika itu jenazah mulai menumpuk di rumah sakit dan kamar mayat. Pemerintah Ekuador lantas menggunakan wadah sampah untuk disimpan jenazah mereka.

Setahun setelah puncak pandemi, masih ada 227 jenazah tak dikenal yang tersisa di kontainer rumah sakit dan 62 jenazah di berbagai kamar mayat Kota Guayaquil.

Selain itu, lebih dari 100 keluarga tidak mengetahui keberadaan kerabat mereka yang meninggal.

Banyak keluarga itu tidak yakin pada identitas jenazah yang mereka kubur atau tidak percaya bahwa kerabat mereka dimakamkan di tempat yang diinformasikan pemerintah.

Akibatnya, kini beberapa keluarga meminta jenazah itu diangkat kembali.

Bagaimana Enma bisa berada di rumah sakit yang salah?

Enma menderita anemia kronis. Dia mengandalkan transfusi darah secara teratur agar bertahan hidup. Namun ketika pandemi terjadi, pengobatannya berhenti.

Elsa sempat meminta transfusi darah untuk Enma ke Palang Merah dan sejumlah rumah sakit.

Meski begitu, dia tidak bisa mendapatkan darah yang dibutuhkan ibunya.

Pada saat itulah dokter keluarga merekomendasikan agar Enma dirawat di rumah sakit.

Pada 25 Maret 2020, Elsa mengunjungi beberapa klinik swasta dan memohon agar mereka bersedia merawat ibunya. Tapi permohonannya sia-sia.

Mantan Gubernur Guayaquil, Pedro Pablo Duart, mengecam kesalahan penanganan jenazah di tiga rumah sakit kota itu pada April 2020.

Pada saat yang sama, Kejaksaan Agung Ekuador memulai penyelidikan, walau temuan mereka belum terungkap.

Yang diketahui kemudian, jenazah pada awalnya diberi label. Tapi dalam kekacauan berikutnya, label itu terlepas atau tintanya terhapus.

Elsa takut dia tidak bisa melacak jenazah ibunya jika dia tidak bergerak cepat.

"Saya memberi tahu anak saya, 'Kamu harus cepat mengurus dokumen'. Jadi dia bangun jam 3 pagi untuk mulai mengantre. Kami takut ibu saya tersesat," kata Elsa.

Ketika akhirnya mendapatkan sebuah guci berisi abu, Elsa berkata bahwa hatinya merasa itu bukan ibunya. Namun saat itu dia merasa lega.

Elsa tidak lagi harus melalui apa yang keluarga lain alami: berdebat dengan penjaga keamanan, menunggu giliran masuk kamar mayat dan rumah sakit, melalui kontainer, atau mencari orang yang mereka cintai di antara ratusan tumpukan mayat.

Memeriksa kantong jenazah

Bau mayat maupun rasa takut akan terpapar Covid-19 tidak menghalangi orang-orang ini memeriksa kantong jenazah satu per satu.

Beberapa dari merkea merasa lega ketika berhasil menemukan orang yang mereka cintai, tapi harapan orang-orang yang lain pupus.

Miguel Angel Montero, antropolog di Layanan Forensik Medis Nasional, yang terlibat dalam proses identifikasi jenazah, yakin kekacauan dimulai di rumah sakit.

Menurutnya, rumah sakit tidak menerapkan sistem registrasi yang cermat atau rantai penjagaan yang sesuai untuk jenazah.

Semua informasi tentang jenazah mana yang diambil dan jenazah yang diletakkan di fasilitas kesehatan disimpan petugas keamanan.

Namun ketika label mayat terlepas, kata Montero, kode nomor pada daftar kertas tidak ada gunanya.

Pakar forensik yang mencoba mengidentifikasi mayat di rumah sakit Guasmo Sur menemukan daftar ini tidak membantu tugas mereka.

Selama persidangan Ombudsman melawanpemerintah, hakim memutuskan bahwa tanggung jawab atas jenazah ada pada Kementerian Kesehatan dan rumah sakit.

Hakim menunggu kementerian memberikan bukti pengiriman jenazah, tapi akhirnya tetap tidak ada dokumen mereka ajukan.

Pada akhirnya, hakim memenangkan pihak keluarga.

Walau begitu, para ahli forensik melihat masalah lain.

Beberapa mayat yang identifikasi tidak dikuburkan terdaftar sebagai yang dikuburkan di salah satu kuburan khusus Covid-19.

Itu sebabnya, pada November 2020 dan dalam kerahasiaan, penggalian dilakukan untuk menguatkan identitas.

Kantor kejaksaan memberikan perintah untuk menggali jenazah 45 orang yang meninggal di rumah sakit Los Ceibos.

'Aku masih belum bisa melupakannya'

Ketika Elsa menerima telepon dari polisi yang meminta izin untuk menyelamatkan jenazah ibunya, dia sekali lagi diliputi kesedihan.

Elsa menyadari selama ini telah menyimpan abu orang asing.

"Saya masih belum bisa melupakannya. Saraf saya hancur. Saya butuh psikolog untuk membantu saya," kata Elsa.

Penggalian pertama dilakukan pada bulan November 2020 dan dilakukan kembali pada Januari dan Februari 2021.

Pada akhir bulan itu, keluarga 12 dari 45 jenazah pertama tidak dapat dilacak. Para penyelidik kemudian melanjutkan ke tes DNA.

Kesimpulan penyelidik waktu itu, tiga jenazah dikuburkan dengan identitas orang lain.

Hampir sebulan setelah ditelepon otoritas kota, Elsa menerima pesan melalui WhatsApp untuk mengonfirmasi bahwa jenazah yang digali itu adalah milik ibunya.

Pada tahap ini, Elsa membutuhkan beberapa bukti lebih lanjut.

"Jadi saya meminta penyelidik mengirimkan foto jempol kakinya untuk memastikan. Saya berjanji untuk segera menghapusnya."

Akan tetapi dia diberi tahu bahwa permohonan itu tidak diizinkan.

Apa yang Elsa terima adalah foto dari beberapa kain bercorak berbunga-bunga yang cocok dengan piyama yang dikenakan ibunya saat dia meninggal.

Elsa mengenali cetakan itu. Tapi dia masih tidak memiliki bukti nyata tentang identitas ibunya.

"Itu adalah piyamanya, demi Tuhan! Tapi siapa pun bisa memiliki piyama seperti itu. Aku ingin tahu pasti, aku harus menyingkirkan keraguan ini, ketidakpastian yang aku alami," kata Elsa.

Itu sebabnya Elsa meminta sertifikat DNA, jadi dia bisa tahu sekali dan untuk selamanya dan akhirnya bisa membaringkan ibunya untuk beristirahat.


Disunting oleh Eva Ontiveros

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI