“Saya masih inget, waktu itu ikut pengobatan dukun gitu. Tetangga saya katanya dapat impian, dapat wangsit, ketemu (almarhum) kakek saya. Saya udah yakin (dapat melihat). Saya disuruh (kakek dalam mimpi) cuci muka pakai air tawar yang direndam sama daun waluh (labu), sama kembangnya.”
“Tapi juga nggak bisa sembuh juga.”
Suatu hari di salah satu pasar, kedua orangtua Bakat mendapat saran dari pedagang, penglihatan Bakat kemungkinan dapat kembali lagi setelah cuci muka dengan memakai air rebusan daun sirih.
“Tapi ya nggak bisa sembuh juga.”
Menginjak usia 15 tahun atau 16 tahun, orangtua membawa Bakat ke Rumah Sakit Mangkubumen Solo.
Setelah menjalani pemeriksaan mata oleh dokter, Bakat diberi obat-obatan yang harus dia minum sampai habis.
“Bu ini saya bawain obat kalau misalnya nanti obatnya habis dan mulai bisa melihat sedikit demi sedikit, bawa ke sini lagi ya. Tapi kalau nggak bisa melihat ya mungkin sudah garisnya Yang Maha Kuasa, nanti ada rezeki sendiri,” kata dokter yang ditirukan Bakat.
“Terus saya sampai rumah, obat saya minum, terus sampai habis. Saya ditanya orangtua, ‘gimana ada perubahan nggak.’ Masih nggak bisa lihat juga.”
Titik balik
Baca Juga: Kisah Penguasa Parkir Liar: yang Bisa Kuasai Lahan, Itu yang Bisa Berdiri
Berkat saran dari seorang lurah, pada tahun 1980 tahun, Bakat dikirim orangtuanya ke pusat pendidikan di bawah Departemen Sosial (sekarang Kementerian Sosial) di Pajang, Laweyan, Solo.