Sebelum menginjak usia tujuh tahun, indra penglihatan Bakat normal dan seperti umumnya anak-anak desa di Boyolali, setiap hari dia bisa bermain berbagai permainan dengan teman-teman sebaya.
“Sama temen-temen main kelereng, main layangan, main apa saja,” kata Bakat mengenang masa kecil.
Secara samar-samar, dia teringat tahun 1965 ketika terjadi peristiwa yang sekarang dikenal sebagai G30S/PKI. Hari itu, dia bermain di rumah temannya.
“Waktu itu pas ada gobyok besar G30S/PKI 1965, saya masih main dengan temen-temen, main di rumah tetangga. Ada bakar-bakaran waktu itu, saya masih inget. Saya masih umur empat tahun. Waktu itu warna hijau, merah, kuning, saya masih bisa lihat.”
Memasuki usia tujuh tahun, matanya masih bisa melihat nyala lampu teplok atau lampu dengan energi minyak tanah dengan sumbu. Tapi kemudian kemampuannya berkurang semakin cepat.
Puncaknya diawali dengan Bakat mengalami panas tinggi dan disertai penglihatan yang kabur.
“Kayaknya ngelihat satu orang jadi tujuh orang. Kanan ada kiri ada orang,” katanya.
Matanya kemudian benar-benar buta.
Semenjak dunia menjadi gelap gulita, kepercayaan diri Bakat menurun drastis. Setiap hari, perasaannya berkecamuk.
Baca Juga: Kisah Penguasa Parkir Liar: yang Bisa Kuasai Lahan, Itu yang Bisa Berdiri
Kemudian dia memilih untuk mengurung diri saja di dalam rumah setiap hari dan bertahun-tahun lamanya.