Kisah Tunanetra: Hilang Penglihatan, Putus Asa sampai Temukan Titik Balik

Siswanto Suara.Com
Senin, 12 April 2021 | 07:00 WIB
Kisah Tunanetra: Hilang Penglihatan, Putus Asa sampai Temukan Titik Balik
Ilustrasi tunanetra. (Elements Envato)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Potongan kisah  hidup Pak Bakat -- selanjutnya ditulis Bakat -- ini menggambarkan kepada kita bahwa keterbatasan fisik tidak membatasi untuk tetap berdaya dan bersyukur.  

“SAYA sekarang sudah tinggal nunggu umur aja mas, tinggal nunggu panggilan Tuhan aja,” kata Bakat.

Bakat seorang tunanetra, tetapi fungsi indra pendengarannya masih bagus sekali.

Lelaki kelahiran Juli 1961 ini memang telah kehilangan kemampuan indra penglihatan, namun dia tetap mengikuti berbagai isu nasional. Ketika saya temui, dia menyampaikan uneg-uneg mengenai keadaan negerinya dan beberapa aspek perubahan yang berdampak pada mata pencaharian kebanyakan tunanetra.

Baca Juga: Kisah Penguasa Parkir Liar: yang Bisa Kuasai Lahan, Itu yang Bisa Berdiri

Keinginan untuk tetap bertahan dan menikmati kehidupan di usia senja membuat semangatnya terus menyala.

Sebelum saya menemuinya, Bakat menyatakan tak keberatan berbagi kisah hidup. Saya menemui lelaki Klaten, Jawa Tengah, di sebuah rumah kontrakan yang terletak sekitar 600 meter dari tepi Sungai Cileungsi, Desa Bojongkulur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, minggu kedua bulan April 2021.

Sebuah kertas yang diikat pakai tali ke pintu gerbang rumah yang ditinggali Bakat tertulis: rumah ini dijual.

Bakat sudah mengontrak rumah itu sekitar 15 tahun. Rumah tinggalnya sekaligus dijadikan sebagai tempat praktik pijat tradisional. Dia sudah siap untuk cari kontrakan baru seandainya rumah tadi laku dijual pemiliknya.

Indra penglihatan mulai memburuk

Baca Juga: Kisah Seorang Bodyguard: Nyawa Jadi Taruhannya

Bakat berusia tujuh tahun pada waktu bapak dan ibunya menyadari ada masalah pada kemampuan penglihatan. Penglihatan Bakat kecil tidak langsung hilang sama sekali, tetapi berkurang secara perlahan-lahan seperti lampu tinthir kehabisan bahan bakar minyak tanah.

Sebelum menginjak usia tujuh tahun, indra penglihatan Bakat normal dan seperti umumnya anak-anak desa di Boyolali, setiap hari dia bisa bermain berbagai permainan dengan teman-teman sebaya.

“Sama temen-temen main kelereng, main layangan, main apa saja,” kata Bakat mengenang masa kecil.

Secara samar-samar, dia teringat tahun 1965 ketika terjadi peristiwa yang sekarang dikenal sebagai G30S/PKI. Hari itu, dia bermain di rumah temannya.

“Waktu itu pas ada gobyok besar G30S/PKI 1965, saya masih main dengan temen-temen, main di rumah tetangga. Ada bakar-bakaran waktu itu, saya masih inget. Saya masih umur empat tahun. Waktu itu warna hijau, merah, kuning, saya masih bisa lihat.”

Memasuki usia tujuh tahun, matanya masih bisa melihat nyala lampu teplok atau lampu dengan energi minyak tanah dengan sumbu. Tapi kemudian kemampuannya berkurang semakin cepat.

Puncaknya diawali dengan Bakat mengalami panas tinggi dan disertai penglihatan yang kabur.

“Kayaknya ngelihat satu orang jadi tujuh orang. Kanan ada kiri ada orang,” katanya.

Matanya kemudian benar-benar buta.

Semenjak dunia menjadi gelap gulita, kepercayaan diri Bakat menurun drastis. Setiap hari, perasaannya berkecamuk.

Kemudian dia memilih untuk mengurung diri saja di dalam rumah setiap hari dan bertahun-tahun lamanya.

Bakat hanya berani ke luar untuk buang air besar di sungai dekat rumah, itu pun pada malam hari ketika kebanyakan orang berada di tempat tinggal masing-masing. Buang air besar di sungai merupakan kebiasaan sebagian warga desa tempat kelahiran Bakat tahun itu.

Pernah ada keinginan bunuh diri

Selama bertahun-tahun, Bakat merasa rendah diri karena terbebani oleh kebutaannya. Dia selalu menghindar setiap kali teman-teman sebaya mengajak bermain bersama.

Setiap hari, dia menghabiskan waktunya membantu kakak yang berjualan nasi, bubur, dan gethuk. Dia ngrewangi pekerjaan yang lebih ringan: memarut atau mengupas singkong.

Dia sangat cemas dengan masa depannya. Apalagi dia mendengar kabar teman-teman sebayanya telah lulus sekolah dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Sampai suatu suatu ketika, terbersit niat Bakat untuk mengakhiri hidup.

“Saya sama sekali sudah tidak bisa lihat. Waktu itu saya sampai pernah mau bunuh diri.”

“Malam-malam, saya masih inget itu malam Jumat, saya mau nyemplung sumur. Tapi kebetulan lagi musim kemarau panjang, ada temen saya yang mungkin lagi topo atau semedi, tidur di pelataran sumur saya itu (menggagalkan rencana bunuh diri).”

Sementara itu kedua orang tua Bakat, selain berdoa, mereka masih berusaha mencari jalan keluar untuk membantu anak lanang mendapatkan kembali penglihatannya.

Mereka mendatangi dukun, mencoba bermacam-macam pengobatan alternatif, dan juga mengikuti saran-saran dari berbagai orang.

“Saya masih inget, waktu itu ikut pengobatan dukun gitu. Tetangga saya katanya dapat impian, dapat wangsit, ketemu (almarhum) kakek saya. Saya udah yakin (dapat melihat). Saya disuruh (kakek dalam mimpi) cuci muka pakai air tawar yang direndam sama daun waluh (labu), sama kembangnya.”

“Tapi juga nggak bisa sembuh juga.”

Suatu hari di salah satu pasar, kedua orangtua Bakat mendapat saran dari pedagang, penglihatan Bakat kemungkinan dapat kembali lagi setelah cuci muka dengan memakai air rebusan daun sirih.

“Tapi ya nggak bisa sembuh juga.”

Menginjak usia 15 tahun atau 16 tahun, orangtua membawa Bakat ke Rumah Sakit Mangkubumen Solo.

Setelah menjalani pemeriksaan mata oleh dokter, Bakat diberi obat-obatan yang harus dia minum sampai habis.

“Bu ini saya bawain obat kalau misalnya nanti obatnya habis dan mulai bisa melihat sedikit demi sedikit, bawa ke sini lagi ya. Tapi kalau nggak bisa melihat ya mungkin sudah garisnya Yang Maha Kuasa, nanti ada rezeki sendiri,” kata dokter yang ditirukan Bakat.

“Terus saya sampai rumah, obat saya minum, terus sampai habis. Saya ditanya orangtua, ‘gimana ada perubahan nggak.’ Masih nggak bisa lihat juga.”

Titik balik

Berkat saran dari seorang lurah, pada tahun 1980 tahun, Bakat dikirim orangtuanya ke pusat pendidikan di bawah Departemen Sosial (sekarang Kementerian Sosial) di Pajang, Laweyan, Solo.

“Terus saya waktu mau masuk ke asrama saya dites dulu penglihatannya. Ditanya, lampu listrik ini nyala atau mati. Saya bilang nggak tahu pak. Kata gurunya berarti ini sudah bener-bener nggak lihat sama sekali.”

Singkat cerita, bakat kemudian berpisah dengan orangtuanya karena dia mesti mengikuti pendidikan umum setingkat sekolah dasar dan dia tinggal di asrama.

Di asrama, Bakat berbaur dengan orang-orang yang juga punya masalah pada indra penglihatan. Mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Wonogiri, Sukoharjo, Sragen, Klaten, dan Boyolali.

Dalam salah satu kesempatan di pusat pendidikan Pajang, Bakat bertemu seorang perempuan tunanetra asal Boyolali. Yani namanya. Yani kemudian menjadi kekasihnya dan pada Januari tahun 1985 mereka menikah. Kelak mereka dikaruniai empat orang anak.

Di situlah Bakat menemukan titik balik kehidupan. Untuk pertamakalinya dia menemukan kembali keceriaan yang telah hilang selama bertahun-tahun semenjak matanya tidak berfungsi.

“Karena ketemu temen-temen, jadi seneng lagi mas. Perasaan malu dan nggak berani pergi kemana-mana, itu sudah masa lalu, sudah saya lupakan.”

Kehilangan indra penglihatan bukanlah akhir dari segala-galanya. Prinsip itulah yang kemudian menjadi pegangan hidup Bakat.

Di pusat pendidikan, Bakat remaja membenamkan diri pada berbagai macam kegiatan edukasi.

“(Salah satu yang paling dikenang) ada cerdas cermat P4, saya pernah dibawa ke TVRI Yogya itu mas.”

Dua setengah tahun di Pajang, kemudian Bakat dikirim ke Pemalang untuk menempuh pendidikan Sekolah Luar Biasa A.

Di Pemalang, pergaulan Bakat semakin luas. Teman-teman yang sekolah di sana berasal dari seluruh daerah di Indonesia.

Ketika menempuh pendidikan SLB A, bapak dan ibu dari Bakat mangkat.

Kematian orangtua membuat tekad Bakat untuk mendalami keterampilan pijat tradisional semakin bulat. Setelah tiga tahun sekolah di Pemalang, dia kembali lagi ke Solo untuk kursus pijat selama satu tahun.

Merantau ke Jakarta

Selesai pendidikan, Bakat tidak pulang ke kampung halaman untuk mencari mata pencaharian.

Tahun 1986 akhir atau 1987 awal, Bakat menyusul istrinya yang lebih dulu merantau ke Ibu Kota Jakarta. Sebuah keputusan penting dalam kehidupan pasangan suami istri tunanetra itu akhirnya hidup di perantauan bersama-sama.

Mereka memilih Jakarta karena meyakini di pusat perekonomian nasional ini dapat memberikan pengharapan.

Mereka pertamakali bekerja pada seorang keturunan Cina di Gadjah Mada Plaza, Jakarta Pusat, menjadi tenaga pemijat tradisional.

Besaran penghasilan Bakat kala itu dihitung berdasarkan berapa jumlah pelanggan yang dia dapatkan. Biaya pijat per orang ketika itu Rp4.500 dan Bakat mendapatkan persentase Rp1.400 untuk setiap orang.

Seandainya tidak mendapatkan pelanggan pun setiap pemijat tetap diberi uang makan sebesar Rp500 yang disebut Bakat sudah sangat cukup untuk makan sehari pada waktu itu.

“Tahun 87-88. Uang Rp500 itu bisa makan dengan lauk ayam. Waktu itu nasi Padang cuma 400 sama rendang.”

Tapi sangat jarang pada masa itu, tenaga pemijat sampai tidak mendapatkan pelanggan. Setiap hari, tempat kerja Bakat rata-rata kedatangan 20 orang sampai 25 orang. Apalagi akhir minggu, jumlahnya bisa lebih banyak lagi karena biasanya orang-orang keturunan yang baru selesai olahraga, langsung pijat atau akupuntur.

Tahun 1980-an sampai tahun 1990-an awal disebut Bakat sebagai masa-masa keemasan jasa pijat kesehatan di Jakarta.

“Di Santa, di tempat temen-temen, sehari malah bisa masuk pasien 40 orang sampai 50 orang.”

Setelah beberapa lama bekerja pada pemilik pusat kesehatan di Gadjah Mada Plaza, Bakat dan istrinya mulai berpetualang. Mereka memutuskan pindah kerja untuk memperluas pengalaman.

“Seluruh wilayah DKI saya sudah pernah mas. Pertama kan di Gadjah Mada Plaza. Dari situ pindah ke Mangga Besar dekat RS Husada, dari situ pindah lagi ke Kemanggisan, terus pindah ke Palbatu Tebet.”

Bakar-bakaran Mei 1998

Bakat dan Yani membuka praktik pijat sendiri tahun 1992 dengan menyewa rumah kontrakan di daerah Palbatu, Tebet, Jakarta Selatan.

Masa-masa itu merupakan puncak keemasan praktik pijat tunanetra. Biaya makan murah, biaya kontrakan pun demikian: setahun hanya Rp300 ribu.

Dia teringat pengalaman lucu. Saking capek selepas melayani banyak pelanggan, Bakat dan Yani ketiduran. Uang kertas Rp20 ribu yang pada tahun 1992 disebut Bakat sebagai uang “paling gede” yang ditaruh di atas radio dimakan tikus.

Jumlah pelanggan terus mengalami peningkatan menjelang tahun 1998. “Ajeng mudunnya Soeharto di situ (Tebet) ramai sekali pelanggan.”

Hampir tiap hari, Bakat buka praktik dari jam 06.00 WIB sampai jam 10.00 WIB. Rata-rata jumlah pelanggan yang datang per hari sepuluh orang.

Bakat dan istrinya menjadi salah satu saksi penjarahan dan pembakaran pada Mei tahun 1998.

“98 itu ada bakar-bakaran lagi (setelah pengalaman pertama tahun 1965). Jadi saya saya pelajari kehidupan ini kok penuh dengan bakar-bakaran,” kata Bakat.

Beda sama dulu, sekarang sebagian orang mulai cuek

“Sekarang ada era baru, sampai ke sini kok kayaknya hidup nggak hidup, mati nggak mati,” kata Bakat.

Setelah menyatakan keheranan atas situasi negaranya yang dia rasakan sekarang, Bakat tertawa lepas.

Dia melanjutkan mengungkapkan uneg-unegnya, “Sekarang hidup di negara sendiri kayak hidup di negara orang. Kayaknya perasaan enak zaman dulu, zamannya orba, zaman Pak Harto.”

“Pemerintah ini bagaimana ini, mas.” Dia kembali bergelak.

Bakat teringat ketika awal-awal merantau di Jakarta, antara 1986 dan 1990-an. Kebanyakan masyarakat kala itu bersikap ramah kepada kalangan disabilitas, terutama tuna netra.

Menurut penilaiannya, makin ke belakang, terutama setelah Orde Baru runtuh dan datang masa reformasi, sikap sebagian masyarakat mulai berubah. Dia tidak tahu persis kenapa itu terjadi.

“Semakin ke sini kayaknya semakin acuh atau gimana gitu lho, semakin nggak peduli.”

Bakat tidak tahu persis kenapa perekonomian pada 1980-an sampai tahun 1990-an awal dirasakan lebih bagus dari sekarang, setidaknya ditandai jumlah pelanggan tempat pijat yang disebutnya selalu banyak.

“Ya mungkin karena ada perubahan stigma atau perubahan apa gitu, saya kurang ngerti.”

Ketika bicara tentang perubahan, Bakat menekankan bahwa dia sama sekali tidak bermaksud untuk mengeluhkan keadaannya.

Selama berbincang-bincang di teras rumah, dia berkali-kali mengucap syukur atas rezeki yang telah diberikan Yang Maha Kuasa selama ini.

Dia berterimakasih pula, berkat tempaan pendidikan yang didapat selama belajar di pusat pendidikan milik Departemen Sosial (kini Kementerian Sosial) dulu bermanfaat untuk menjalani kehidupan sekarang.

“Karena sudah dididik masalah agama, ketuhanan, yang penting prisipnya Innamal A'malu Bin Niyat, gitu aja mas. Niat saya cari rezeki,” kata Bakat.

Pengalaman jadi korban kriminal

Suatu hari ketika dalam perjalanan pulang ke kampung halaman seorang diri menumpang bus, Bakat pernah menjadi korban kejahatan.

Di tengah perjalanan, Bakat ketiduran. Setelah bangun, dia mencari-cari dompet. Lalu dengan kaki, dia mencoba mencari-cari lagi di bawah kolong tempat duduk dan baru berhasil menemukannya.

“Tapi uangnya udah nggak ada.”

Pengalaman lain terjadi ketika dia bersama istri ke kampung halaman. Setelah kereta api berhenti di Stasiun Tirtonadi, Solo, mereka menyetop taksi -- ternyata taksi gelap atau berpelat hitam.

Di daerah Purwosari, oleh-oleh dan pakaian untuk anak-anak dua anaknya dibawa kabur sama supir taksi.

“Untung tas yang ada uangnya nggak ditaruh di situ.”

Di rumah kontrakan daerah Palbatu, Bakat juga pernah kehilangan radio.

“Katanya (pelaku) mau mijet. Pas saya mau ganti baju (sebelum mijet), kok nggak ada radionya.”

Bakat berprinsip dalam menjalani kehidupan tidak perlu neko-neko dan tenang setiap menghadapi masalah.

Beberapa aksi kejahatan yang menimpanya dianggap sebagai bagian dinamika kehidupan dan dia meyakini semua telah diatur oleh Tuhan.

“Terserah Yang Maha Kuasa. Kan saya juga kerja, kalau orang berbuat jahat seperti itu kan sudah ada hukuman sendiri. Kan Tuhan nggak tidur mas.”

Diskriminasi

Ketika saya minta tanggapan mengenai diskriminasi terhadap kalangan disabilitas? Jawaban Bakat didasarkan pada aspek ekonomi dan yang dirasakannya pada zaman Orde Baru dan reformasi.

“Diskriminasi sekarang lebih besar. Dulu zaman Pak Harto masih mikirin tunanetra. Karena waktu itu banyak tunanetra dimasukin ke Departemen Sosial.”

“Temen saya yang masuk Depsos dari tahun 70-an itu masih banyak yang hidup mas sampai sekarang, mereka usianya sudah 70-an. Masih sehat sampai sekarang ini.”

Kemudian dia memberikan contoh diskriminasi yang dialami kalangan disabilitas, di antaranya lapangan pekerjaan sangat sulit didapat.

Akibatnya, kebanyakan tunanetra, terutama di Jabodetabek, beralih menjadi penjual krupuk keliling. Padahal, keterampilan utama yang diajarkan kepada mereka sewaktu menempuh pendidikan adalah pijat.

“Jadi sekarang ini banyak yang alih profesi (dari pemijat) jadi pedagang krupuk, meski risikonya lebih besar daripada pijet.”

“Pembayaran (pendapatan) dari pijet sekarang ini nggak seimbang (jumlah pelanggan semakin sedikit).”

Bersyukur

Walaupun penghasilan yang didapat di Kabupaten Bogor sekarang sudah jauh berkurang, bapak empat orang anak ini memutuskan akan tetap bertahan di tanah rantau karena dia merasa tidak mungkin lagi melanjutkan usaha pijat di tanah kelahiran.

Sebab, membuka usaha baru di daerah akan kalah saing dengan yang sudah lama merintis di sana.

“Tapi pedoman saya sekarang, kan anak tinggal satu yang masih lajang. Dalam agama kan disebutkan, siapa yang mensyukuri akan ditambah nikmatnya.”

“Sekarang tinggal nikmatin hidup saja mas istilahnya, udah nggak ada tanggungan anak.”

Bakat amat bangga menceritakan anak bungsunya yang sekarang sudah mendapatkan pekerjaan sebagai staf Indomart di Solo. Dia juga bangga sekali ketika bercerita telah berhasil mengantarkan ketiga anaknya yang lain sampai memasuki kehidupan berumahtangga.

“Sekarang tinggal jagain aja, sambil berdoa supaya anak-anak rumah tangganya bagus, bisa punya keturunan. Kita sudah tinggal nunggu umur aja mas, tinggal nunggu panggilan Tuhan aja.”

Dia bersyukur tetap diberi kesehatan sehingga sambil menunggu pelanggan pijat datang ke rumah kontrakan atau menunggu panggilan ke rumah pelanggan, bisa sambil keliling kompleks perumahan untuk menjajakan krupuk kulit.

“Kalau di sini kan misalnya orang pijet jarang, sekarang ada pabrik krupuk, kita bisa dagang krupuk, ada kegiatan pagi-pagi bisa jalan, olahraga, kalau di kampung halaman kan paling diem di rumah mas.”

“Istilahnya orang hidup mah spekulasi mas, hidup kan permainan, kata Iwan fals.”

Catatan redaksi:
Jika teman-teman mempunyai kecenderungan untuk bunuh diri, segera hubungi dokter kesehatan jiwa di puskesmas terdekat atau rumah sakit terdekat. Sahabat sekalian juga bisa mengakses laman intothelightid.org untuk mendapatkan berbagai informasi menyangkut masalah kejiwaan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI