Suara.com - Cerita tentang orang tua yang menyeimbangkan pekerjaan dan mengurus anak di rumah selama masa lockdown pertama tahun 2020, menjadi viral di media sosial. Setahun berselang, situasi masih belum berubah.
Setahun lalu, seorang jurnalis sekaligus ibu rumah tangga, Mareice Kaiser membagikan kisahnya di Twitter dengan cuitan "apa yang dilakukan orang tua ketika kehabisan akal."
Di bawah tagar #Coronaeltern (orang tua corona), para orang tua di seluruh Jerman turut membagikan cerita ketika harus bekerja dari rumah dan mengurus anak-anak di saat yang bersamaan.
Pada musim semi tahun 2020, Jerman memberlakukan lockdown selama beberapa minggu.
Baca Juga: IRT Tewas Tergantung Diduga Habisi Nyawa Dua Anaknya Terlebih Dahulu
Pemerintah menutup pusat penitipan anak, sekolah, taman bermain, hingga lapangan olahraga.
Meski ada beberapa opsi untuk menghibur diri seperti YouTube dan Netflix, banyak orang tua yang masih merasa "terjebak" untuk membagi waktu antara pekerjaan dan rumah tangga.
Sejumlah pemilik perusahaan berharap beban kerja harian dapat dipenuhi seperti biasa, namun kini para guru juga menuntut anak-anak mengumpulkan tugas mereka di malam hari.
Di bawah tagar #coronaparents, orang tua di negara lain juga berbagi rasa frustrasi mereka atas solusi home schooling, ragam sarapan untuk anak-anak, hingga kesulitan tidur di malam hari.
Kecemasan dan kelelahan yang dihadapi orang tua
Baca Juga: Karena Hal Ini Jerman Tidak Bisa Dapat Gelar Negara Ramah Lingkungan
Menurut Robert Koch Institute, Jerman berada di tengah gelombang ketiga penyebaran virus corona. Meski sejumlah sekolah dan pusat penitipan anak telah dibuka kembali, kondisi kehidupan masyarakat masih belum jauh berbeda dibanding setahun lalu.
Pusat penitipan anak hanya diperbolehkan beroperasi beberapa jam per hari.
Pihak sekolah juga sangat mengurangi jumlah kelas, bahkan beberapa di antaranya mengadakan kegiatan belajar mengajar di ruang kelas hanya dua hari sekali.
Meski lockdown tidak diberlakukan, para orang tua merasakan tekanan berlebih ketika mereka harus mengurus anak-anak di rumah setiap hari.
"Saya merasa lelah dan saya tidak akan terkejut melihat orang tua 'terjungkal' satu per satu," kata salah seorang pengguna Twitter.
Sementara itu, ada juga yang menceritakan tentang seorang ibu yang menangis di telepon karena dia tidak tahu cara merawat anaknya ketika pusat penitipan anak kembali ditutup.
Beban ibu lebih banyak
Bukan sebuah kebetulan jika sebagian besar keluhan di media sosial disuarakan oleh perempuan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa rata-rata wanita secara signifikan lebih terbebani oleh pembatasan virus corona dibanding pria.
Sosiolog Jerman Jutta Allmendinger merujuk pada istilah "retraditionalization", yang berarti peran gender dapat memperlambat emansipasi perempuan selama beberapa dekade.
Dalam sebuah studi yang dirilis pada Juni 2020 oleh Institut Federal untuk Penelitian Populasi Jerman, wanita lebih sering mengeluhkan frustasi yang tinggi daripada pria.
Sekitar satu dari empat ibu dengan anak di bawah usia 6 tahun merasa sedih, setidaknya satu kali dalam seminggu.
Sebuah survei yang dilakukan pada akhir tahun 2020, perusahaan asuransi kesehatan Techniker Krankenkasse menemukan bahwa lebih dari setengah ibu yang diwawancarai mengalami stres berlebih saat pandemi virus corona.
Anne Schilling, Direktur Pelaksana Müttergenesungswerk (Yayasan Perawatan Kesehatan Ibu) Jerman mengatakan kepada Redaktionsnetzwerk Deutschland pada Februari 2021: "Wanita yang beralih ke kami sekarang kehabisan akal."
"Para wanita ini kelelahan dan kewalahan," kata Schilling.
"Ada banyak yang dipertaruhkan di sini, pekerjaan mereka, pendidikan anak-anak mereka, dan kepentingan seluruh keluarga." (ha/ gtp)