Perjanjian Giyanti: Latar Belakang dan Dampaknya

Kamis, 08 April 2021 | 15:21 WIB
Perjanjian Giyanti: Latar Belakang dan Dampaknya
Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti. (Kemendikbud)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Melalui Perjanjian Giyanti, wilayah Kerajaan Mataram yang sebelumnya dimiliki oleh Kasunanan Surakarta terbelah pada 13 Februari 1755. Sebagian wilayah Kasunanan Surakarta diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dan terbentuklah Kasultanan Yogyakarta. Lantas apa latar belakang dan dampak dari perjanjian ini? Untuk lebih jelasnya, simak sederet informasi berikut ini. 

Dampak Perjanjian Giyanti 

Perjanjian Giyanti berisi keputusan pembagian kerajaan Mataram menjadi dua, yakni Kasunan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.

Menurut berbagai sumber, Perjanjian Giyanti merupakan akar dari konflik Kerajaan Mataram Islam. Perjanjian ini ditandatangani oleh Mangkubumi, Pakubuwono III dan VOC di Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah. 

Baca Juga: Pelopor Pancasila dan Sejarah Peristiwa Perumusannya

Perjanjian Giyanti mengakibatkan kedudukan Kerajaan Mataram berakhir. Sementara bagi VOC, perjanjian tersebut memberikan banyak keuntungan. Salah satunya, meluasnya kekuasaan Belanda di tanah Jawa. 

Sesaat setelah terbentuknya Kesultanan Yogyakarta, Hamengku Buwana I memerintahkan untuk segera mendirikan keraton dengan berbagai sarana atau bangunan pendukung untuk memfasilitasi segala kegiatan pemerintah. 

Perjanjian Giyanti baru berhasil diakhiri setelah 8 tahun kemudian akibat 'perang saudara' karena intrik politik, perjanjian perkawinan, hingga persaingan budaya. 

Latar Belakang Perjanjian Giyanti

Konflik perpecahahan Kerajaan Mataram Islam bermula dari pertikaian antar-anggota atau pewaris kekuasaan keluarga Kasunanan Surakarta. Ketiga tokoh utama yang terlibat dalam perang saudara ini ialah Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa.

Baca Juga: Peringatan 266 Tahun Perjanjian Giyanti Dihadiri 2 Putri Keraton Yogyakarta

Menurut beberapa sumber, konflik keluarga ini terjadi setelah Keraton Kartasura hancur karena pemberontakan oleh Mas Garendi atau Sunan Kuning pada 30 Juni 1742. Dikutip dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pada masa pemerintahan PB III, Kerajaan Mataram kerap mengalami konflik politik. Bahkan sempat terjadi perlawanan dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi. 

Diketahui, PB II dan Pangeran Mangkubumi merupakan anak dari Amangkurat IV sedangkan Raden Mas Said adalah salah satu cucu Amangkurat IV. Konflik antar ketiganya terjadi pada 1746 hingga akhirnya terbentuklah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 sekaligus menandai berhentinya perlawanan Mangkubumi. 

Perjanjian Giyanti Menguntungkan VOC

Perjanjian Giyanti disebut sebagai upaya VOC untuk bisa masuk dalam konflik internal keluarga Kesultanan Mataram Islam dan mengambil keuntungan dari pertikaian tersebut. 

Para keluarga Kesultanan Mataram Islam yang sebelumnya menentang pengaruh VOC, dihasut oleh VOC agar saling curiga hingga terjadi perang saudara. 

Akhirnya, VOC berhasil memengaruhi Pangeran Mangkubumi untuk duduk di tahta kerajaan dengan imbalan sebagian wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram Islam. Pangeran Mangkubumi ditetapkan sebagai Raja Mataram oleh para pengikutnya dengan gelar Pakubuwana III pada 11 Desember 1749.

Sementara itu, Pakubuwana II sebelum meninggal dunia pada 20 Desember 1748, dipaksa menandatangani perjanjian untuk memberikan kewenangan kepada VOC saat pelantikan raja baru. 

Meski begitu, VOC tak serta merta mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai Raja Mataram. Orang yang menyang dan gelar Pakubuwana III adalah Raden as Soerjadi, putra Pakubuwana II. 

Oleh karena itu, gelar Pakubuwana III sempat dipakai oleh dua orang yakni Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta dan didampingi oleh Raden Mas Said serta Raden Mas Soerjadi sebagai penerus takhta Mataram yang diakui oleh VOC. 

VOC pun melakukan hal itu karena melihat situasi bahwa Raden Mas Soerjadi masih sangat muda dan memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan politik pecah belah. 

Kontributor : Lolita Valda Claudia

REKOMENDASI

TERKINI