Suara.com - Pidato peserta kontes kecantikan jarang menjadi berita utama.
Tetapi ketika Han Lay, Miss Grand Myanmar, bersuara menentang dugaan kekejaman yang dilakukan oleh militer di negaranya, pidatonya menarik perhatian.
"Hari ini, di negara saya Myanmar ... banyak sekali orang yang sekarat," ujarnya di ajang Miss Grand International 2021 di Thailand, pekan lalu.
"Tolong bantu Myanmar. Kami sangat membutuhkan bantuan internasional dari Anda sekarang."
Baca Juga: Demonstran di Myanmar Pakai Telur Paskah untuk Suarakan Aksi Protes
Satu bulan sebelumnya, Han Lay, 22 tahun, turun ke jalanan Yangon, kota terbesar Myanmar, untuk berunjuk rasa menentang militer.
Kerusuhan di Myanmar dimulai dua bulan lalu ketika militer merebut kekuasaan di negara itu, membatalkan pemilihan umum demokratis yang dimenangkan dengan telak oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi.
Ketika puluhan ribu orang di seluruh negeri turun ke jalan untuk memprotes kudeta, militer menggunakan meriam air untuk membubarkan mereka. Seminggu kemudian, tanggapan militer meningkat menjadi peluru karet dan kemudian peluru tajam.
Hari paling mematikan dalam konflik terjadi Sabtu pekan lalu, ketika lebih dari 100 orang tewas. Salah satu organisasi pemantau menyebutkan jumlah korban tewas secara keseluruhan lebih dari 500. Menurut Save the Children, 43 dari mereka yang tewas adalah anak-anak.
- 'Lebih dari 40 anak-anak dibunuh' dalam kerusuhan di Myanmar
- Ketika umat Islam dan Buddha di Myanmar bersatu menentang kudeta militer
- 'Bintang-bintang jatuh' dalam hari paling berdarah di Myanmar
Han Lay, mahasiswa psikologi di Universitas Yangon, memutuskan untuk menggunakan kontes tersebut sebagai kesempatan untuk berbicara tentang tanah airnya di panggung internasional.
Baca Juga: Kudeta Militer di Myanmar: Memecah Belah Biksu
"Di Myanmar, wartawan ditahan ... jadi saya memutuskan untuk angkat bicara," katanya kepada BBC dalam wawancara via telepon dari Bangkok.
Sekarang dia khawatir karena pidato dua-menit itu dapat membuatnya masuk radar militer. Dia telah memutuskan untuk tinggal di Thailand setidaknya selama tiga bulan ke depan.
Han Lay berkata dia tahu sebelum berangkat ke Thailand bahwa ada kemungkinan dirinya akan dalam bahaya dan harus tinggal di sana untuk sementara waktu.
"Saya sangat khawatir akan keamanan saya dan keluarga karena saya banyak bicara tentang militer dan situasi di Myanmar. Di Myanmar semua orang tahu ada batasan ketika berbicara tentang apa yang terjadi," katanya.
"Teman-teman saya meminta saya tidak kembali ke Myanmar."
Ketakutannya bukan tanpa dasar. Pekan lalu, aparat keamanan mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk 18 selebritas, "influencer" media sosial, dan dua jurnalis berdasarkan undang-undang yang melarang materi "yang dimaksudkan untuk membuat anggota angkatan bersenjata memberontak atau mengabaikan tugas mereka", lansir media pemerintah. Semua orang tersebut telah bersuara menentang kudeta.
Han Lay mengatakan dia belum dihubungi oleh militer atau pejabat lain usai pidatonya, namun dia mengatakan telah mendapat komentar yang mengancam di akun media sosialnya.
"Di media sosial mereka mengancam saya, mengatakan ketika saya kembali ke Myanmar ... penjara menunggu saya," katanya. Dia tidak tahu siapa di balik ancaman itu. Bagaimanapun, sebagian besar komentar media sosial mendukungnya.
Banyak kawan Han Lay sesama mahasiswa yang ikut protes bersama dirinya pada minggu-minggu pertama setelah kudeta telah dipenjara, ujarnya.
Menurut kelompok aktivis Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), sedikitnya 2.500 orang telah ditangkap dalam tindakan tegas militer.
Dan salah satu temannya terbunuh, kata Han Lay.
"Dia bahkan tidak ikut unjuk rasa. Dia pergi ke restoran untuk minum kopi pada suatu malam dan seseorang menembaknya," tuturnya.
Keluarga Han Lay aman, katanya, tetapi komunikasi dengan mereka tidak rutin karena internet berkali-kali terputus di Myanmar. Dia meminta agar BBC tidak mempublikasikan nama kota asalnya, untuk melindungi mereka.
Pernyataan politik Han Lay di depan publik, termasuk kritik tajam terhadap militer Myanmar dan seruan dalam wawancara dengan penggemar di saluran resmi kontes untuk "memenangkan revolusi", bukan hal yang umum di antara peserta kontes, yang biasanya memilih untuk bersikap apolitis.
Berbicara sebelum kompetisi, Lyv Chili, Miss Grand Cambodia, meminta para penggemar untuk menjauhi topik politik.
Namun bagi Han Lay, berbicara adalah tugasnya. Dia menyebut Suu Kyi sebagai "inspirasi terbesar". Sang pemimpin demokrasi yang digulingkan telah didakwa melanggar undang-undang rahasia negara - yang dibuat di era kolonial - dengan ganjaran hukuman penjara hingga 14 tahun.
Han Lay awalnya berencana untuk meniti karier sebagai pramugari setelah lulus, tetapi dia berkata sekarang dia tidak yakin tentang jalan yang harus ditempuh. Beberapa orang mencoba membujuknya untuk masuk ke politik, katanya, tetapi dia tidak merasa bidang itu cocok untuknya.
Sementara ini, dia berencana untuk terus bersuara.
"Ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, karena itulah kami ingin PBB segera mengambil tindakan," katanya. "Kami ingin pemimpin kami kembali dan kami ingin demokrasi sejati kembali."