Suara.com - Masyarakat adat di Biak, Papua, cemas kalau keberadaan bandar antariksa pertama di Indonesia, yang segera dibangun, bakal membuat mereka tersisih dari wilayah adat dan merusak alam yang menopang hidup mereka secara turun menurun.
Sebagai putra dari pemegang hak ulayat di Kampung Saukobye, Markus Abrauw telah menghabiskan seluruh hidupnya di wilayah adat yang berada di pesisir utara Biak, Papua, yang diwariskan padanya.
Namun belakangan pria berusia 54 tahun ini dirundung cemas, sebab di wilayah adat tempat marga Abrauw bernaung secara turun temurun, bakal dibangun bandar antariksa pertama di Indonesia.
Sekitar 40 tahun lalu, orangtuanya menyerahkan lahan seluas 25 hektare kepada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dengan ganti rugi hanya sebesar Rp25 juta rupiah.
Baca Juga: Perusahaan Indonesia Ini Akan Uji Internet Satelit Starlink dari Elon Musk
Kini, LAPAN membangun bandar antariksa berskala kecil di lahan seluas 100 hektare, termasuk yang dimiliki oleh marga Abrauw. Namun ia menentang proyek itu.
Kakek dari delapan cucu ini mengaku khawatir keberadaan proyek bandar antariksa bakal membuatnya terusir dari tanahnya sendiri dan mengancam masa depan anak cucunya.
"Kalau sudah digunakan, pasti perluasan area itu ada. Kalau ada berarti anak cucu kami sudah tidak ada tempat lagi untuk mencari lahan atau mencari hidup. Laut dan hutan sudah tidak ada karena itu yang digunakan oleh pihak LAPAN," tutur Markus kepada BBC News Indonesia, Rabu (31/04).
- Proyek peluncuran roket di Biak-Papua dinilai penting tapi masih ditolak masyarakat, apa masalahnya?
- Elon Musk kirim tim ke Indonesia Januari 2021, Jokowi tawarkan tempat peluncuran roket SpaceX
- China luncurkan roket penjelajah ke Mars, akankah susul kesuksesan Amerika?
Saat ini, lahan seluas 100 hektare yang ditetapkan LAPAN sebagai lokasi proyek bandar antariksa itu masih berupa hutan belantara. Di situlah warga berburu dan berkebun demi mata pencaharian mereka.
Tak jauh dari situ adalah wilayah perairan tempat warga setempat mencari ikan.
Baca Juga: Elon Musk Ungkap Desain Baru Kapsul Dragon
Adapun lokasi pemukiman berjarak sekitar 3 km dari area dibangunnya bandar antariksa.
"Jangan sampai setelah dibangun, aktivitas kami untuk mencari hidup atau kerja menjadi sempit, apalagi ini jalurnya ke pantai yang setiap hari masyarakat pergi untuk mencari nafkah, mungkin mencari ikan atau apa. Itu kalau dibangun, aktivitasnya sudah makin sempit, tidak bisa dilalui kami masyarakat yang punya hak ulayat di situ," kata Markus.
Proyek ini membuat komunitas adat yang mendiami Kampung Saukobye merasa terancam direlokasi.
Padahal, masyarakat adat yang bermukim di Pulau Biak - dan Papua secara umum -memiliki wilayah adat yang diwariskan secara turun temurun. Ini membuat marga lain tak boleh menempati wilayah adat marga lainnya.
Relokasi, berpeluang besar menimbulkan konflik antar marga, menurut Markus.
"Kita orang Papua ini beda dengan orang Jawa. Kami ini harus bertempat di kami punya tempat hak ulayat dari leluhur kami sampai sekarang. Itu harus kita tempati, tidak boleh pindah ke tempat lain," terang Markus.
"Kalau kami dipindahkan ke mana-mana, yang ada pembunuhan turun temurun. Konflik antar marga yang punya hak ulayat dan marga yang mau masuk ke hak ulayat marga lain," katanya.
Apolos Sroyer, kepala dewan adat dari sembilan wilayah adat di Biak, atau disebut Manfun Kawasa dalam bahasa setempat, menjelaskan bahwa masyarakat adat di Papua terdiri dari marga-marga yang memiliki batas tanah yang jelas antara marga satu dengan yang lain.
"Apabila satu marga pindah ke marga lain punya wilayah, itu menimbulkan konflik di antar kami. Apalagi pihak lain masuk dan secara sengaja memindahkan marga-marga ini ke tempat lain. Ini akan menimbulkan masalah," kata Apolos.
"Kebanyakan proyek di Papua hanya menciptakan konflik di antara kami dengan alasan kesejahteraan. Tapi faktanya masyarakat adat tersingkir dari hak-hak dia. Pertanyaannya adalah pembangunan ini untuk siapa?," tanyanya.
Meski proyek itu ditentang oleh pemilk hak ulayat dan pemimpin adat, Bupati Biak Numfor Herry Ario Naap mengklaim bahwa proyek ini telah didukung tokoh adat dan tetua marga.
"Kami di wilayah Biak Numfor itu terdiri dari sembilan wilayah adat dan bandar antariksa yang akan dibangun ini ada di wilayah utara dan tokoh adatnya hadir dengan kami saat ini, bahkan marga-marga terkait pemilik hak ulayat, hadir juga untuk berikan dukungan dan komitmen untuk siap membangun bandar antariksa," ujar Herry usai melakukan kunjungan ke kantor LAPAN di Jakarta, Jumat (12/03).
Senada, Kepala LAPAN Thomas Jamaluddin mengklaim bahwa pihaknya telah menerima surat dukungan sekitar 60 tokoh-tokoh adat di Biak.
Akan tetapi, Markus mengaku sebagai pemilik hak ulayat dirinya tak pernah diikutsertakan dalam pembicaraan tersebut.
"Itu yang menjadi polemik bagi kami marga pemilik hak ulayat. Yang berangkat itu mengatasnamakan kami pemilik hak ulayat. Kami tidak dihadirkan, satu orang pun kami tidak dihadirkan," katanya.
"Kami tidak pernah dilibatkan dan pembicaraan mereka selalu mangatasnamakan kami bahwa marga pemilik sudah setuju padahal bukan kami yang sampaikan," kata Markus.
Pertama di Indonesia dan Asia Pasifik
Kepala LAPAN mengungkapkan bahwa pihaknya kini tengah menyiapkan kajian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) atas proyek yang digadang-gadang tak hanya menjadi bandar antariksa pertama di Indonesia, namun juga di Asia Pasifik ini.
Setelah itu, pihaknya akan membuat masterplan dan pada 2024 bandar antariksa ini sudah terealisasi. Setidaknya, untuk fasilitas peluncuran roketnya.
"Kalau ini terwujud, ini akan jadi bandar antariksa pertama di Indonesia dan juga mungkin bisa disebut juga bandar antariksa pertama di Asia Pasifik di wilayah ekuator," kata Thomas.
Lebih jauh, Thomas mengungkapkan kajian tentang bandar antariksa sudah dimulai 40 tahun lalu, pada era 1980-an. Namun karena berbagai kendala, hingga belum bisa dilaksanakan.
Hingga akhirnya pada 2013 Undang-Undang Keantariksaan disahkan dengan salah satu amanatnya adalah melaksanakan kegiatan peluncuran antariksa.
"Kalau melaksanakan kegiatan peluncuran, artinya harus disiapkan wahana peluncurnya, yaitu roket dan bandar antariksa untuk peluncurannya. Jadi dua hal itu yang harus dilakukan," kata Thomas.
Kemudian, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 45 Tahun 2017 tentang rencana induk keantariksaan yang di dalamnya mencantumkan rencana pembangunan bandar antariksa.
Lantaran investasi bandar antariksa besar nilainya, LAPAN kemudian membuat dua skenario proyek bandar antariksa.
Skenario pertama, bandar antariksa kecil untuk uji luncur roket yang sedang dikembangkan LAPAN, yakni roket bertingkat. Untuk proyek ini, LAPAN tinggal memanfaatkan lahan seluas 100 hektare di Biak.
"Setidaknya itu untuk digunakan untuk peluncuran atau pengujian roket yang dikembangkan oleh LAPAN. Diharapkan nanti ada mitra nasional dan internasional yang juga berminat untuk menggunakan fasilitas itu untuk peluncuran roket-roket kecil," katanya.
Skenario yang kedua, yaitu bandar antariksa skala besar atau bandar antariksa internasional.
"Ini belum ditentukan tempatnya karena nanti bergantung mitra internasional yang akan membangun bandar antariksa di wilayah ekuator tersebut, bisa jadi di Biak juga, atau mungkin di lokasi lain," jelas Thomas.
Thomas menjelaskan dalam pembicaraan via telpon dengan bos Tesla Elon Musk beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo dikabarkan sempat menyinggung soal rencana Indonesia membangun bandar antariksa dan Elon Musk tampak berminat.
"Tetapi dalam pertemuan lanjutan dengan perwakilan dengan SpaceX Januari lalu, itu sama sekali belum dibicarakan tindak lanjutnya."
"Dan juga, presiden tidak menjanjikan Biak, tetapi dalam pembicaraan tersebut membahas potensi Indonesia untuk lokasi peluncuran, tempatnya belum ditentukan dan lokasi peluncurannya belum ditentukan," katanya.
Lebih jauh, Thomas menjelaskan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif karena secara geografis berada di garis ekuator, yang merupakan lokasi terbaik untuk peluncuran wahana antariksa.
Dikatakan Thomas, LAPAN telah mengkaji sejumlah lokasi untuk dijadikan bandar antariksa. Selain Biak ada Morotai di Maluku Utara dan Pulau Enggano di Sumatra.
Pada akhirnya, LAPAN memilih Biak karena selain posisinya yang lebih dekat dengan garis ekuator, yakni 1 derajat di selatan ekuator, LAPAN juga telah memiliki lahan seluas 100 hektare di pulau itu sejak 1980-an.
"Untuk bandar antariksa skala kecil itu cukup, setidaknya LAPAN sudah melakukan kajian langsung itu di Jepang ada bandar antariksa kecil di Uchinaura itu luasnya hanya 70 hektare, artinya dengan 100 hektare itu sudah memadai untuk lokasi peluncuran roket-roket kecil," katanya.
Namun ia menambahkan, jika ada investor internasional yang berminat untuk menjadikannya sebagai bandar antariksa skala besar, maka "harus ada lahan tambahan untuk menampung kegiatan peluncuran roket-roket besar daerah penyangga untuk menjamin keselamatan masyarakat sekitarnya".
Membawa modernisasi
Diakui Thomas bahwa pembangunan akan memberi dampak pada lingkungan. Namun, ia menjamin bahwa, alih-alih merusak lingkungan, proyek ini justru membawa modernisasi bagi warga Biak.
"Hutan memang perlu dilestarikan, tetapi ada aktivitas-aktivitas pengganti yang nantinya masyarakat Biak akan terlibat dalam pola kegiatan yang baru yang ada di Biak," ujar Thomas.
Ia menjelaskan bahwa bandar antariksa skala kecil itu tak akan membabat habis hutan seluas 100 hektar tersebut. Ada area yang akan dijadikan area penyangga untuk zona aman bagi masyarakat setempat.
Namun, ada bagian-bagian tertentu dari hutan yang harus beralih fungsi, misalnya, untuk jalan, bangunan, dan launching pad bagi kegiatan peluncuran.
"Tapi tidak 100 hektare seluruhnya dipakai, dan sebagian wilayah itupun dijadikan wilayah penyangga, wilayah perlindungan bagi masyarakat sekitar," jelas Thomas.
Ia menambahkan dengan keberadaan bandar antariksa, dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan diharapkan dapat menggeliatkan industri pendukung keantariksaaan, seperti industri satelit, pariwisata, dan pendidikan.
"Dalam 5-10 tahun ke depan akan berubah menjadi masyarakat yang lebih modern."
"Nilai-nilai tradisional tetap terjaga, tetapi tidak harus bergantung pada pola kehidupan seperti yang digambarkan seperti hutan sebagai tempat berburu, tempat bercocok tanam yang mungkin dalam lima tahun ke depan pola kehidupan akan berubah dengan masuknya industri-industri yang akan lebih maju di Biak," kata dia.
Pemerintah Biak Numfor menguatkan klaim LAPAN, dengan menyebut proyek ini akan membawa manfaat positif pada perekonomian warga dan pendapatan daerah.
Namun dalih ini ditampik oleh Apolos Sroyer, pemimpin kepala suku di Biak.
"Tidak bisa kita hanya bicara pendapatan daerah, terlalu sempit. Itu pemikiran-pemikiran kuno menurut kami. Kita harus berbicara tentang proyek yang berwawasan lingkungan, berwawasan masyarakat adat," katanya.
Adanya potensi dampak positif pada perekonomian warga, diakui oleh Markus Abrauw. Namun sayangnya, pemerintah daerah dan LAPAN, selama ini tak pernah memberikan pemahaman menyeluruh terkait keuntungan dan kerugian proyek itu
"Kami sendiri mengerti hal itu, ada dampak positifnya ke seluruh masyarakat Biak Numfor ini. Dampak positifnya ini yang selalu disampaikan tapi dampak negatifnya ini belum pernah disampaikan pihak LAPAN kepada kami masyarakat pemilik hak ulayat maupun seluruh masyarakat yang ada di Kabupaten Biak Numfor," cetus Markus.
Tak memprioritaskan masyarakat adat
Ketua kajian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth mengatakan proyek ini menjadi contoh untuk kesekian kalinya pembangunan infrastruktur di Papua tak memprioritaskan kepentingan masyarakat adat dan mengancam ekosistem.
"Setiap kebijakan negara di Papua harus disampaikan dengan mengutamakan memberikan pemahaman ke masyarakat untung ruginya seperti apa, jangan hanya diberi tahu nanti dapat keuntungan ekonomi tapi kehidupan mereka hilang, sama saja tidak menghargai eksistensi masyarakat adat Papua," tegas Adriana.
Hal ini dipahami betul oleh Laus Rumayom, tenaga ahli Kantor Staf Presiden yang menegaskan bahwa pemerintah tak menghendaki apa yang terjadi pada masyarakat adat Amungme di Timika - yang tersisih akibat tambang emas milik Freeport - kembali terjadi pada masyarakat adat di Biak.
"Kita tidak mau mengulangi pengalaman di Freeport, pengalaman di perusahaan-perusahaan besar yang masyarakatnya justru mengalami masalah, masalah sosial, masalah ekonomi, masalah kesempatan dari hadirnya investasi yang besar di Papua," kata Laus.
Betapapun, satu hal yang penting menjadi perhatian adalah besarnya potensi konflik yang harus dipersiapkan ketika akan membangun proyek infrastruktur yang besar di Papua, agar tidak mengancam ruang hidup komunitas adat yang mendiami wilayah hak ulayat mereka secara turun temurun.
"Kehidupan kami masih bergantung dengan alam kami. Tanah adalah sumber kehidupan kami. Hutan adalah tempat kami berburu mencari makan dan kami berkebun. Begitu juga dengan laut.
"Semua tersedia oleh alam sehingga apabila proyek ini masuk kami punya mata pencaharian ini nanti siapa yang tanggung jawab? Itu yang harus dijawab negara ke kami dulu," ujar Apolos Sroyer
"Kami sedang bicara harga diri kami, nasib masa depan kami di atas tanah kami," katanya.