Kaum Muda Tionghoa, Jejak Kungfu di Indonesia dan Kisah Percampuran Budaya

SiswantoBBC Suara.Com
Senin, 05 April 2021 | 10:34 WIB
Kaum Muda Tionghoa, Jejak Kungfu di Indonesia dan Kisah Percampuran Budaya
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menekuni bela diri kungfu tradisional, sejumlah anak-anak muda Tionghoa berupaya menemukan jati dirinya sekaligus mendamaikannya dengan nilai-nilai keindonesiaan — tanpa kehilangan identitasnya.

Sang kakek, Lo Siauw Gok, hanya bisa pasrah ketika sejumlah tentara berseragam hijau memerintahkan agar latihan kungfu yang dipimpinnya itu dibubarkan.

Kejadiannya kira-kira di seputar huru-hara politik yang diawali pembunuhan sejumlah perwira Angkatan Darat pada Oktober 1965 — kelak dalam sejarah resmi disebut Gerakan 30 September — dan berlanjut pemberangusan terhadap orang-orang Komunis.

Kala itu serombongan tentara masuk ke aula berukuran besar ketika sang guru melatih ratusan muridnya.

Baca Juga: Usai Lakukan Tendangan Kungfu ke Pemain Persita, Kiper Persiraja Minta Maaf

Di sana ada papan bertuliskan perguruan kungfu 'Siauw Gok Bukoan' beraksara Tionghoa — sang kakek adalah guru sekaligus generasi keduanya.

Kehadiran para serdadu itu terjadi tatkala situasi politik memang bergejolak dan saling curiga menjadi atmosfir keseharian yang dihirup oleh masyarakat. Karenanya, penjelasan sang guru bahwa itu hanyalah latihan bela diri semata, tidak digubris sama-sekali.

"Harus dibubarkan," ungkap cucunya, Michael Lo alias Lo Han Tiong, lebih dari 50 tahun kemudian, menirukan suara pimpinan rombongan tentara, seperti dikisahkan ulang oleh ayahnya. "Papa saya saksinya, dia melihat langsung."

Tidak mau berurusan dengan pemerintah, sang kakek kemudian menurutinya. Semenjak saat itulah, latihan kungfu — kadang disebut kuntao — hanya digelar di rumahnya di kota Tangerang, Banten, dengan sembunyi-sembunyi.

Lalu, papan perguruan kungfu beraksara Tionghoa pun diturunkan. "Kakek saya kemudian hanya menerima murid-muridnya yang lama saja," papar sang cucu kepada BBC News Indonesia, awal pekan kedua Maret lalu.

Baca Juga: Viral Pemotor Kena Tendangan Kungfu Saat Sunmori, Langsung Ambruk Seketika

Titah pembubaran latihan silat tradisional Tiongkok itu, nantinya, berdampak pada keberadaan perguruan kungfu legendaris yang didirikan Lo Ban Teng (1886-1958) — ayah Lo Siauw Gok dan kakek buyut Michael Lo — dan eksistensi kungfu pada umumnya di Indonesia.

Puluhan tahun kemudian, ketika kran kebebasan dibuka dan hembusannya ikut membentuk kesadarannya, Michael memiliki keberanian untuk mempertanyakan ulang sebagian narasi di balik alasan pembubaran itu — sekaligus mengutarakannya secara terbuka tanpa beban.

Dalam perjalanannya, pria kelahiran 1991 ini memahami bahwa pembubaran latihan kungfu di perguruan kungfu milik kakeknya itu bukan semata soal "larangan pengumpulan massa dalam jumlah banyak" dan "latihan bela diri".

Tapi,"... mayoritas yang berlatih [di dalam aula] adalah etnis Tionghoa," katanya. "Jadi mungkin berpotensi menimbulkan kudeta, atau menimbulkan perpecahan."

Ucapan Michael Lo ini bukanlah omong kosong. Sejarah mencatat, dan para ahli bersepakat, setelah peralihan kekuasaan Sukarno ke Suharto, berbagai kebijakan yang sebagian didasari oleh sentimen anti-China kemudian diakomodir hingga bertahun-tahun kemudian.

Baca juga:

'Di zaman Orba, bendera kungfu disembunyikan'

Kehadiran kungfu di Indonesia, akhirnya, tidak dapat dipisahkan dari perjalanan orang-orang Tionghoa dalam panggung sejarah Indonesia — dengan segala pasang-surutnya.

Seperti kesaksian Michael Low itu tadi, sentimen anti-China yang muncul dan diakomodir oleh rezim Orde Baru melalui sejumlah keputusan politik, dampaknya dirasakan hingga di dunia persilatan orang-orang Tionghoa di Indonesia.

Larangan menampilkan atribut budayanya, misalnya, membuat orang-orang Tionghoa yang mendalami kungfu, memilih "tidak mencari masalah".

"Tulisan aksara Tionghoa harus disembunyikan, kitab-kitab, bendera atau seragam kungfu, tidak ditampilkan," ungkap Alex Cheung alias Lim Kim Hwat, kelahiran 1978, yang telah mendalami kungfu sejak 25 tahun silam.

Alex, seiring kesadarannya yang terus tumbuh atas identitasnya, kemudian tidak semata belajar bela diri secara fisik, tetapi kemudian tertarik mengetahui filosofi, sejarah kungfu dan lika-liku perjalanannya di Indonesia.

Salah-satu puncak pencariannya, Alex bersama dua rekannya sesama praktisi kungfu, Erwin Tan (Chen Yuen Nan) dan Charly Huang (Huang Shi Hao), lalu meneliti jejak kungfu di Indonesia — dan terbitlah buku Melacak jejak kungfu tradisional di Indonesia, setebal 1600 halaman, enam tahun silam.

Selama sekitar empat tahun, Alex dkk mendatangi sejumlah tempat di Indonesia dan mewawancarai orang-orang yang mendalami silat tradisional Tionghoa itu, termasuk apa yang mereka alami selama Presiden Suharto berkuasa.

'Mengubah kungfu menjadi Sasana Gerak Badan'

Pada masa Orba, hampir semua praktisi kungfu yang diwawancarai Alex, Erwin dan Charly, mengaku memilih "merunduk".

"Merunduk dalam arti bukannya takut, tapi memilih tidak mencari masalah," kata Alex kepada BBC News Indonesia, pekan kedua Maret lalu. "Siapa berani melawan saat itu."

Dalam situasi 'merunduk' itu, sebagian besar praktisi kungfu di masa itu kemudian "saling melarang latihan kungfu".

Sebagian menggelar latihannya secara tertutup, dan apabila terbuka, mereka mengganti nama perguruannya yang semula menggunakan nama Tionghoa. "Menjadi Sasana Gerak Badan, misalnya," ujarnya.

Akibatnya, perguruan kungfu mengalami banyak perubahan, dan bahkan ada beberapa jurus atau aliran tradisional "punah", karena proses regenerasinya terhambat.

"Juga hilangnya ilmu-ilmu tingkat tinggi, karena proses latihannya tidak bisa disebarkan secara umum," ungkap Alex.

Dihubungi secara terpisah, Michael Low juga merasakan apa yang disebutnya "kungfu tidak bisa berkembang" di masa-masa itu, lantaran latihannya bersifat tertutup.

Meski demikian, ada beberapa praktisi kungfu mengaku "mencoba bersahabat, membina relasi" saat diminta "memberikan sumbangsih" dengan mengajarkan ilmu bela dirinya kepada institusi ABRI, misalnya.

"Mereka berjuang dengan cara apapun supaya tidak melanggar keyakinan budaya atau tradisi mereka," paparnya.

Ketika Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) terbentuk, para praktisi kungfu menyebutnya sebagai "penyelamat agar bisa tetap bertahan", walaupun menurut Alex, mereka menyamarkan jati dirinya dengan identitas lain.

Situasi serupa juga diungkapkan pengamat budaya Tionghoa, Agni Malagina. Dia bertemu seorang praktisi kungfu di sebuah kota di Jawa Tengah, yang beralih menjadi tabib atau sinse di zaman Orba.

"Selain mengajar secara sembunyi-sembunyi, ada yang menghentikan kegiatannya, dan menjadi tabib atau sinse di toko-toko obat Tionghoa," ungkap Agni kepada BBC News Indonesia, pertengahan Maret lalu.

Kerusuhan Mei 1998 dan ancaman mogok atlet wushu

Kerusuhan Mei 1998 yang berpusat di Jakarta, Surakarta, Medan dan Surabaya, meninggalkan pengalaman menyedihkan, dan traumatik, bagi banyak orang, sebagian besar di antaranya adalah warga peranakan Tionghoa.

Dalam bukunya, Alex Cheung dkk menemukan potongan sejarah kaitan antara kerusuhan Mei 1998, Asian Games XIII di Bangkok, Thailand, pada Desember 1998, dan tim wushu Indonesia.

Menjelang ajang olah raga tingkat Asia ini, muncul kecemasan dan keraguan di pihak penyelenggara, karena atlit wushu Indonesia yang berlatar peranakan Tionghoa "tidak mau bertanding".

"Mereka memprotes kerusuhan Mei, dengan cara tidak mau bertanding," ungkap Alex. Di pihak lain, tim wushu Tiongkok dilaporkan pula mengancam melakukan tindakan serupa.

Dihadapkan masalah pelik ini, Ketua KONI Wismoyo Arismunandar meminta tolong kepada salah-seorang pendekar kungfu di Indoneia yang disegani, Tatang Budi Suryana (1944-2013) alias Yan De Xiu agar membujuk para atlit agar "mau bertanding."

Yan De Xiu, guru besar perguruan Teratai Putih di Bandung, saat itu dipercaya sebagai juri cabang olah raga wushu di perhelatan Asian Games di Bangkok.

Akhirnya, Yan De Xiu berhasil meyakinkan para peserta dan tim panitia supaya membatalkan aksi mogoknya.

"Walaupun beda ras, suku dan agama, namun semuanya dapat dipersatukan dalam bidang olah raga dan sportivitas," kata Alex.

Alex Cheung kemudian tidak bisa melupakan momen ketika tim wushu Indonesia menyanyikan lagu Tanah Airku yang disebutnya dipenuhi rasa haru.

"Buat saya itu luar biasa," suara Alex terdengar sedikit bergetar.

Baca juga:

Gus Dur dan pertanyaan tentang identitas Tionghoa

Segalanya berubah ketika Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur membuka kran kebebasan, termasuk membebaskan masyarakat peranakan Tionghoa untuk mengekspresikan budaya dan tradisinya.

Michael Lo, yang belajar kungfu sejak belia, masih ingat di awal Gus Dur menjadi presiden di awal 2000, perguruan kungfu tradisional yang dikelola ayahnya sering diundang di berbagai acara yang dihadiri banyak orang.

"Kami diundang [menggelar atraksi kungfu] untuk acara menjelang Imlek atau Cap go meh. Banyak sekali undangan mulai di restoran sampai di Senayan. Biasanya kami digandeng acara wushu," ungkapnya.

Di acara-acara itu, mereka memamerkan jurus-jurus kungfu tradisional yang berasal dari China bagian selatan. "Saya bersyukur, tidak ada lagi pelarangan kegiatan yang dikaitkan dengan urusan politik."

Seiring dengan perubahan itu, Michael kemudian memutuskan untuk meneruskan perguruan kungfu Siauw Gok Bukoan yang didirikan oleh leluhurnya — semula dia menolaknya.

Pilihannya untuk melestarikan ilmu kungfu yang diturunkan oleh kakek buyutnya itu juga didasarkan kesadaran pentingnya merawat identitas yang melekat pada dirinya.

"Bagaimanapun ini identitas. Identitas kita sebagai warga keturunan [Tionghoa], ini [ilmu kungfu] yang kita bawa dari China, sebagai sumbangsih [bagi Indonesia]," katanya.

Dia kemudian teringat apa yang dilakukan oleh kakek buyutnya, Lo Ban Teng, ketika awal mula datang ke Nusantara di zaman VOC lebih dari seratus tahun silam.

Selain sebagai guru kungfu, kakek buyutnya seringkali menyembuhkan orang sakit dengan cuma-cuma. "Makanya beliau dapat sebutan sebagai 'malaikat berwajah putih'."

Harapannya kini perguruan kungfu yang dipimpinnya dapat bermanfaat bagi masyarakat umum, dan bukan hanya kaum peranakan Tionghoa. "Sehingga kebersamaan bisa lebih terjalin," ujar Michael.

'Kebangkitan kungfu' dan pelurusan sejarah

"Sangat terasa," begitulah pengakuan Alex Cheung ketika saya bertanya apa dampak nyata dari kebijakan Gus Dur itu terhadap keberadaan ilmu bela diri kungfu di Indonesia.

Diawali atraksi barongsai dan tarian naga yang tampil percaya diri di acara yang terbuka untuk umum, kemudian menggugah apa yang disebut Alex Cheung sebagai "kebangkitan kungfu".

Jika selama ini "latihan kuda-kuda selama berjam-jam" digelar secara tertutup, akhirnya silat tradisional Tionghoa itu "mulai terbuka kembali".

"Banyak perguruan kungfu yang tadinya takut, mulai berani muncul, menggunakan nama aslinya, dan menggunakan aksara Tionghoa," katanya memberikan contoh.

Secara keseluruhan, hal ini kemudian membangkitkan kembali semangat para praktisi kungfu dan keinginan supaya generasi muda tertarik untuk bergabung.

Selama sekitar empat tahun mendatangi lokasi latihan kungfu di sejumlah kota di Indonesia, Alex menemukan fakta menarik bahwa pesertanya bukan hanya orang Tionghoa.

"Mau dari suku apapun, silakan. Ini sesuatu yang buat saya bahwa 'Indonesia sudah kembali ke jalan yang benar'," ujarnya menggambarkan perasaannya. "Tidak tertutup seperti di masa Orde Baru."

Sebagai praktisi kungfu, pria kelahiran 1978 ini pun melangkah lebih jauh, yaitu tidak semata latihan 'bak-bik-buk', tapi juga melacak sejarah kungfu di Indonesia.

Dalam buku Melacak Jejak Kungfu di Indonesia, dia dkk menampilkan peranan sejumlah praktisi kungfu dalam panggung sejarah Indonesia — yang selama ini sebagian dibelokkan, disamarkan faktanya, atau dilupakan.

Dan ketika mempelajari sejarah dan nilai-nilai kungfu, Alex merasa ingin tahu lebih mendalam tentang sejarah perjalanan leluhurnya dari Tiongkok ke Nusantara atau nantinya bernama Indonesia, hingga jati dirinya.

Baca juga:

Semula ingin 'jadi jagoan', lalu belajar filosofi Tionghoa

Erwin Tan, kelahiran 1976, awalnya latihan kungfu karena ingin "jadi jagoan" — saat itu usianya masih belasan tahun.

Selama latihan beberapa tahun dia merasa ilmunya tidak berkembang. Lalu dia pun bertanya pada sang guru, "apa ada yang salah dengan latihan saya?"

"Kalau kamu cari berantem, yang kamu dapat cuma berantem." Jawaban sang guru kemudian menyadarkannya — dan ternyata tidak mudah untuk mengubah cara berpikir lama.

Memakan waktu antara lima atau enam tahun, Erwin merasa cara berpikirnya perlahan-lahan berubah. "Tiba-tiba saya banyak melihat hal baru, banyak sisi yang saya enggak lihat."

Di sela-sela latihan, dia sempatkan mengobrol panjang dengan gurunya, lalu dia mengaku tercerahkan dengan apa yang disebutnya sebagai nilai-nilai moral di balik bela diri kungfu.

Pada akhirnya, latihan bela diri bukanlah olah raga semata, namun semacam latihan spiritual, yang nantinya menjadi nilai-nilai yang dipraktekkan dalam keseharian, katanya.

Saya lantas bertanya seperti apa kira-kira aplikasi nilai-nilai yang dia dapatkan dari latihan itu dalam kehidupannya sehari-hari, Erwin mencontohkan saat dia menyetir mobil.

"Kalau mobil kita keserempet, terus berantem? Apakah beralasan? Kalau enggak, ya, bilang maaf saja. Selesai."

Diakuinya tidak gampang membumikan ajaran-ajaran yang ditularkan gurunya — "Susah banget. Kalau gampang, kalau semua orang punya pikiran benar, negara kita enggak akan kacau-balau."

Nilai-nilai itu juga dia dapatkan pada jurus-jurus kungfu yang dipelajarinya. Dari pengalamannya, ada hal prinsip yang mesti dipahami dari latihan jurus-jurus, dan tidak cuma menggerakkan fisik.

Tumbuh berkembang dalam atmosfir ilmu kungfu yang diturunkan para leluhurnya dari Tiongkok, Erwin merasa bersyukur segala hal menyangkut kehidupan telah digeluti, dipikirkan, dan dicarikan jalan keluarnya.

"Saya merasa hoki banget sudah diberi sesuatu, yang istilah saya, 'sudah jadi'," katanya kepada BBC News Indonesia.

Merasa bersyukur atas apa yang diterima dari para leluhurnya dari Tiongkok, Erwin dalam perjalanannya memutuskan belajar filosofi Tionghoa dan sejarahnya.

Dari belajar sejarah itulah, dia berada di satu titik bahwa dibutuhkan sikap obyektif. Semua pihak — "tak hanya orang Tionghoa, tapi juga Jawa, Madura, Arab, Batak atau Melayu," katanya — mesti mengubah cara berpikirnya jika "ingin maju".

Hal itu dia utarakan saat saya bertanya ihwal kerusuhan Mei 1998 atau kejadian kelam lainnya.

"Kalau saling menyalahkan, kita enggak akan selesai... Benar-benar harus sama-sama ubah perspektifnya, ubah cara berpikirnya, kalau kita sama-sama mau maju."

Dalam bagian proses pencariannya, Erwin yang pernah melanglang ke Myanmar dan Thailand ini kemudian mendalami taichi — "yang sangat tradisional," katanya. "Saya latihan benar-benar di sini, di kungfu yang sebenarnya" — dalam 11 tahun terakhir yang disebutnya makin menguatkan perubahan cara berpikirnya.

Di sinilah dia kemudian semacam berikrar, "tanpa leluhur saya, tanpa guru saya dan ke atasnya lagi, saya tidak mendapatkan pelajaran apa-apa hari ini." akunya.

Diakhir wawancara, saya bertanya siapa nama guru dan perguruan kungfunya, Erwin meminta maaf karena tidak bisa menyebutkannya. "Saya menghormati guru saya, saya harus minta izin dulu kepadanya."


Demam Bruce Lee, kungfu, dan kisah Andrie Wongso mendirikan Hap Kun Do

Walaupun diyakini sudah ada di Nusantara lebih dari 800 tahun silam, kungfu muncul kembali dan menjadi populer di Indonesia di tahun 1970an melalui aktor laga legendaris, Bruce Lee.

Melalui layar bioskop yang menayangkan film-film laga Bruce Lee, masyarakat Indonesia seperti tersihir — ingat sepatu ala Bruce Lee berbahan kain beludru hitam yang digemari bocah-bocah di masa itu?

"Terjadi demam Bruce Lee saat itu," Alex Cheung, praktisi dan pengamat kungfu, berujar. "Semua orang, antara lain, ikut-ikutan mengenakan sepatu ala Bruce Lee."

Di masa itu, kehadiran Bruce Lee membuat istilah kungfu menjadi populer, sehingga terbawa hingga sekarang.

Salah-seorang yang tersihir mantra Bruce Lee (1940-1973) adalah Andrie Wongso alias Wang Tjing Tjie.

Andrie Wongso — kelahiran 1954 di Malang, Jatim — kemudian mengembangkan kungfu modern di Indonesia, dengan mendirikan perguruan Hap Kun Do.

Hap Kun Do adakah ilmu bela diri yang mengandalkan kecepatan, kekerasan dan ketepatan, serta fleksibilitas.

"Model kayak Bruce Lee," ujar Andrie kepada BBC News Indonesia, pekan kedua Maret silam.

Bruce Lee memang guru imajinernya. Perjalanan hidup aktor laga Hong Kong-Amerika Serikat menjadi inspirasi yang tak pernah kering.

"Bruce Lee sempurna di bidang mental," Andrie tak bisa menutupi kekagumannya. "Lewat karakternya, saya belajar."

Di usia 22 tahun, Andrie - yang lulusan sekolah dasar - berkelana ke Jakarta untuk mengubah nasib. Dia mengaku dibesarkan dalam keluarga miskin,

Dalam perjalanannya, berbekal kesukaannya akan bela diri kungfu, ditambah keluasan pergaulannya, serta 'faktor Bruce Lee' , dia lalu mendirikan perguruan Hap Kun Do pada 1976.

"Saya tidak pernah tahu seperti apa Bruce Lee berlatih," akunya belakangan. Hanya menggantungkan kepada "pola pikir" dan "ramuan dari kanan-kiri", dia lalu mendirikan perguruan silat tersebut.

Lambang perguruan silat Hap Ku Do terdiri rantai dan lambing daici.

"Konsepnya ilmu bela diri tidak bisa mewakili satu bela diri yang terbaik. Yang ada mengalahkan diri sendiri," kata Andrie yang menyebut dirinya sebagai motivator.

Belajar Hap Kun Do menurutnya adalah membangun mental dengan mengolah fisik dengan disiplin. "Makanya, saya menyebutnya pembinaan mental dan fisik Hap Kun Do, bukan bela diri," akunya.

Dia menyebut ilmu kungfu itu mirip dengan berdagang. Saat berlatih, ada tiga hal yang ditekankan, yaitu posisimu, posisi lawan dan tujuan serangan.

"Ini mirip dalam marketing, SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, and threats). Intinya hidup itu seperti perjuangan."

Sehingga dibutuhkan ketahanan fisik, mental, serta ilmu. Ditanya bukankah latihan seperti itu memberi jalan kepada kekerasan, Andrie menolaknya.

"Sejak tahun 1970an, saya tidak pernah dengar latihan seperti ini dipraktekkan di jalanan. Tidak ada beritanya," katanya.

Namun demikian latihan memang "harus keras". "Otot-otot manusia harus diberi kejutan."

Di sela-sela menjadi guru kungfu, Andrie sempat membintangi beberapa film laga di Taiwan.

Kembali ke Jakarta pada 1985, dia berbisnis dengan membuat kartu dengan merk Harvest. Dia berulangkali mengatakan pencapaiannya itu berkat "mental kungfu".

Dia kemudian merambah menjadi motivator yang sebagian besar materinya didasarkan pengalamannya selama lebih dari 40 tahun di dunia kungfu.

"Sampai sekarang, bayangan tentang kungfu itu terus menempel," akunya. "Tidak akan hilang, itu yang saya sebut menjiwai."

Setelah kerusuhan Mei 1998, Andrie menutup perguruan Hap Kun Do, setelah lokasi latihannya di pusat perbelanjaan di kawasan Tomang, dibakar massa.

"Ini peringatan, sudah saatnya berhenti. Lalu saya mulai menerima undangan motivasi, Jadi latihan kungfu dipindah menjadi motivator," pungkasnya.


'Ada pasukan bela diri di armada Laksamana Cheng Ho' — bagaimana kungfu tiba di Nusantara

Kungfu diperkirakan sudah ada di Nusantara lebih dari 800 tahun silam, seiring beberapa kali gelombang kedatangan orang-orang China di wilayah itu.

"Mereka ke Nusantara membawa budayanya, termasuk kungfu," kata pengamat budaya Tionghoa, Agni Malagina kepada saya, pekan kedua Maret.

Tidak ada keterangan persis kapan awal mula mereka tiba, lantaran memang tidak tercatat.

Namun demikian kungfu diperkirakan sudah ikut tersebar ke berbagai wilayah Nusantara semenjak Dinasti Han — dalam rentang antara 202 Sebelum Masehi hinggga 220 Masehi.

Dilatari beraneka motif, namun kemungkinan awalnya adalah berdagang dan agama, kedatangan mereka ke berbagai wilayah di Nusantara kemungkinan besar menyertakan pula para pendekar.

Alasannya, "setiap barang yang dikirim dari Tiongkok, pasti dikawal pengawal yang ahli bela diri," kata Erwin Tan, dalam diskusi Jejak Kungfu di Indonesia, 8 Maret lalu.

Para ahli bela diri itulah yang diperkirakan 'mengenalkan' kungfu kepada masyarakat lokal utamanya di kawasan pesisir.

Migrasi orang-orang Tiongkok ke wilayah yang kini bernama Indonesia itu tidak cuma sekali, namun terdiri dalam beberapa gelombang.

"Mulai masa dinasti hingga republik, terutama awal abad 20 hingga 1960an," jelas Agni.

Salah-satu di antaranya adalah pada masa Dinasti Ming, enam abad silam, melalui armada kapal-kapal dagangnya yang dipimpin Laksamana Cheng Ho.

Dalam rentang 1405 dan 1433, ekspedisi legendaris Cheng Ho mendarat di pelabuhan di Jawa, Palembang, Pasai dan Aceh.

"Dalam armada beliau, sudah ada pasukan yang tentunya menguasai ilmu bela diri," ujar Alex Cheung kepada saya.

Di masa VOC, tercatat banyak sekali orang-orang Tiongkok datang ke Nusantara, utamanya di Batavia. "Mereka ditarik sebagai pekerja," kata Alex.

Migrasi yang terjadi pada masa Dinasti Cing itu, menurut Agni, para ahli kungfu ikut serta.

Ketika terjadi beberapa konflik dengan VOC atau kolonial Belanda, sejarah mencatat orang-orang Tionghoa melakukan perlawanan.

"Terutama saat Geger Pecinan," ungkap Agni. Huru-hara ini terjadi pada Oktober 1740, ketika pasukan VOC membantai lebih dari 5.000 orang Tionghoa di Batavia.

Tindakan itu dilakukan setelah orang-orang Tionghoa menyikapi kebijakan VOC tentang pengurangan populasi mereka di Batavia.

Kerusuhan ini kemudian merembet ke Jawa, dan berlangsung tiga tahun kemudian, setelah VOC berhasil meredamnya.

Dengan bekal ilmu bela diri, orang-orang Tionghoa kemudian terlibat bersama masyarakat lokal, misalnya di pesisir utara Jawa, melawan VOC dalam beberapa pemberontakan atau konflik bersenjata.

Di antaranya adalah Perang Kuning di Lasem pada 1750. "Mereka bersatu melawan VOC, dan di sini ahli-ahli silat muncul," kata Agni.

Kala itu tidak menutup kemungkinan para pendekar asal Tiongkok itu sudah memiliki murid-murid dari kalangan peranakan dan orang-orang setempat.

"Nah, ini juga turut membangun peradaban silat Indonesia," tambahnya. Di sinilah, terjadi percampuran - hubungan timbal balik - unsur kungfu Tiongkok dan silat lokal.

Baca juga:

Silat Beksi, produk akulturasi kungfu dan silat lokal

Silat Beksi, atau silat Betawi, adalah contoh percampuran budaya antara kungfu dan silat lokal.

Aliran silat Beksi berasal dari Kampung Dadap, Tangerang, Banten. "Jelas sekali [ada percampuran], ada banyak penggunaan bahasa Hokiannya," kata Alex Cheung.

Nama Beksi sendiri diduga dari bahasa Hokian, yaitu "bek" berarti pertahanan, dan "si" artinya empat arah mata angin.

Ada beberapa versi di balik sejarahnya, namun menurut Alex Cheung, aliran ini disebarkan oleh Lie Tjeng Hok (1854-1951).

"Lie Tjeng Hok memiliki empat murid, yang semuanya haji," jelasnya. Merekalah yang kemudian menyebar ke berbagai tempat di Jakarta, seperti Rawa Belong atau Pondok Aren.

Dalam perkembangannya, teknik dan gayanya terus bertambah, seiring pengaruh dari kungfu. Kemudian membaur dan berubah namanya menjadi "bersifat lokal", kata Alex.

Dia mencontohkan, jurus naga mengibas ekor, monyet sakti, kelabang, yang sebagian di antaranya tidak ada di Nusantara. "Misalnya naga, itu tidak dikenal di Nusantara."

"Nama-nama jurus itu menyimpulkan bahwa ada asimilasi atau integrasi antara silat lokal dan kungfu," ujarnya.

Di berbagai wilayah Nusantara sudah ada silat lokal, seperti silat harimau atau silat Minang, sebelum kungfu menyebar ke wilayah itu.

"Jadi, ini lebih tepatnya saling mengisi. Ada beberapa temuan saya, ada beberapa ilmu silat lokal menambah kurikulumnya dengan teknik dari kungfu."

Bagaimana awal mula dua kutub persilatan ini akhirnya bercampur, Erwin Tan menduga "kemungkinan awalnya kedua pihak adu keahlian."

"Ketika itu terjadi, ada yang bilang 'wah, mainan elo cakep juga ya, boleh enggak kita belajar," kata Erwin.

Dia membayangkan mereka kemudian berteman dan saling membagikan ilmu. Jika tidak ada kontak seperti ini, mereka pasti akan merahasiakan ilmunya masing-masing.

"Tanpa berteman, enggak mungkin ada beberapa teknik yang terinspirasi," ujarnya.

Belajar dari akulturasi dalam kasus silat Beksi, Erwin lantas bertanya-tanya:

"Orang jago berantem, kok bisa duduk bareng, bisa mengobrol. Kenapa orang-orang yang jauh dari dunia kekerasan, kok enggak bisa?"

Bukti adanya akulturasi budaya Tionghoa dan Betawi dalam kasus silat Beksi ini kemudian menyadarkan Erwin tentang fakta bahwa Indonesia dibangun dari berbagai campuran budaya yang beragam.

"Jadi, kalau sekarang orang enggak bisa [saling menghormati perbedaan], lucu banget buat saya."

Di sisi lain, kali ini kata Alex Cheung yang mengaku terharu, setelah menyaksikan bahwa para penerus silat Beksi saat ini saling mengakui bahwa mereka adalah produk akulturasi atau campuran.

"Mereka juga hingga saat ini masih saling menyambangi keturunannya di Kampung Dadap, Tangerang," ungkapnya.

Tantangan Kungfu: Guru mencari murid, atau murid cari guru?

Pertengahan Maret lalu, Michael Low berencana menggelar latihan kungfu secara offline di Modernland, Tangerang. Hampir setahun ini, murid-muridnya dilatihnya melalui sarana video lantaran pagebluk.

Namun saat ini dia belum berani menggelarnya secara massal, sehingga dia membagi jadwal latihannya setiap satu sesi diikuti dua orang. "Saya harus taat protokol Covid-19," akunya.

Tidak pernah menyebut dirinya sebagai guru ("saya menyebutnya berbagi ilmu," katanya), Michael memiliki paling banyak 70 murid. Usianya antara 13 hingga 40 tahun. "Tapi yang benar-benar latihan paling di angka 20."

Dipercaya memimpin perguruan kungfu Siau Gok Bukoan, pria kelahiran 1991 mengharap agar anak-anak muda mau mendalami ilmu bela diri asal Tiongkok itu. Diakuinya minat itu masih kurang.

"Jujur saja, kalau dilihat secara bisnis, kungfu tradisional belum menjanjikan," ujarnya.

Michael tidak bisa menutup mata, proses regenerasi kungfu dapat berkembang, apabila kungfu masuk ke jalur prestasi, seperti halnya wushu.

Dia membayangkan kelak ada kejuaraan daerah dan kejuaraan nasional khusus kungfu. "Kalau sudah begitu, harusnya industri [kungfu] bisa lebih matang," tandas Michael.

Sikap Michael jelas, perguruan kungfu harus membuka diri seluas-luasnya. Di sini murid akan bertambah, dan dari sanalah regenerasi akan berjalan, dan ujungnya ilmu akan menyebar.

Ketika hal yang sama saya tanyakan kepada Erwin Tan, jawabannya agak berbeda. Profesional di perusahaan teknologi ini lebih mementingkan apa yang disebutnya "kualitas ketimbang kuantitas".

"Kalau orang sekarang bilang 'wah susah cari guru [kungfu]', kalau saya bilang, mungkin lebih susah guru dari murid," kata Erwin. Dia merujuk pada pernyataan guru kungfunya.

Artinya, pilihannya cuma dua, apakah mencari murid sebanyak mungkin, tapi kualitas hasilnya diragukan, atau hanya memilih dua atau tiga murid, namun ilmunya betul-betul terwariskan.

Erwin kemudian mencoba memosisikan dirinya sebagai guru. Daripada menghabiskan waktu bersama banyak murid, namun mereka tidak mampu bertahan, dia memilih memiliki dua atau tiga murid saja.

Diakuinya pilihan kedua ada kelemahannya, yaitu latihannya monoton, butuh waktu lama, karena kungfu sejatinya bukan bela diri, namun ilmu yang diasah bertahun-tahun.

"Misalnya, dulu kita latihan kuda-kuda saja, selama tiga atau empat jam. Setelah itu pulang, dan besok latihan itu lagi. Ini selama tiga tahun berturut-turut," paparnya.

"Nah, kalau dibuka untuk umum, berapa banyak orang yang kuat [untuk latihan yang monoton]?"

Di akhir wawancara, Erwin menegaskan dia tetap memilih metode yang diajarkan gurunya, yaitu mementingkan kualitas.

"Bukan cuma bela diri, tapi bagaimana nilai-nilai kungfu itu sampai bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ini tidak mudah, tentu saja. Ini tantangan saya," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI