“Misal kita lihat ada lahan, kita masuk. Gitu aja. Kita kuasai, ya kita kelola. Anak buah kita suruh jaga. Titiknya darimana sampai mana,” katanya.
Kesepakatan (tak tertulis) dengan kelompok penguasa lain, biasanya lebih pada batas wilayah supaya jangan sampai terjadi pelanggaran. Batas petak parkir ini merupakan isu sensitif di dunia perparkiran liar.
“Misalnya, batasannya radius berapa meter atau misalnya dibatasi tiang listrik atau bagaimana,” kata Jensen.
Tetapi pada kenyataannya, pelanggaran wilayah yang (umumnya) terjadi karena kecemburuan pada kue ekonomi di petak lain seringkali terjadi. Misalnya, juru parkir dari satu kelompok memungut uang dari pemilik kendaraan bermotor yang parkir di area yang sudah diklaim kelompok yang lain.
Pelanggaran semacam itu menjadi salah satu pemicu terjadinya pertarungan di lapangan, apalagi kalau di antara pimpinan kelompok tidak memiliki keinginan untuk saling mengerti.
“Kalau mereka masuk ke daerah kita ya kita tegur, kita usir, ambil uangnya kalau dia ambil uang di wilayah kita.”
Suatu hari, kelompok Jensen pernah terlibat bentrok dengan kelompok lain gara-gara ada juru parkir dari kelompok lain memungut uang parkir dari wilayah yang diklaim Jensen.
“Itu pas mereka ambil wilayah kita, anak buah di lapangan ngelihat ya diambil, lalu diusir. Kalau mereka ngerti, mereka mengakui salah, dan mereka kasih kembali uang yang diambil dari wilayah kita, biasanya tidak ada gesekan lebih jauh. Tapi kalau nggak ngerti juga, ya adu otot sudah,” kata Jensen.
Bagi penguasa parkir, setiap jengkal lahan yang telah mereka kuasai sangatlah berharga.
Baca Juga: Kisah Seorang Bodyguard: Nyawa Jadi Taruhannya
Di antara sekian kejadian menegangkan yang dialami sebagian penguasa perparkiran ilegal biasanya terjadi pada awal-awal mereka baru memulai menata kawasan.