Suara.com - Pemerintah telah melarang masyarakat untuk mudik Lebaran. Pelarangan mudik mulai berlaku dari 6-17 Mei 2021.
Alasannya, untuk memutus rantai penyebaran kasus Covid-19 saat masa tersebut. Selain itu, larangan tersebut diterapkan untuk mensukseskan program vaksinasi yang digalakkan pemerintah.
Lantas apakah larangan tersebut efektif agar masyarakat tidak melakukan mudik?
Pengamat transportasi Alvin Lie berpendapat larangan tersebut belum sepenuhnya efektif untuk mencegah masyarakat mudik. Pasalnya, moda angkutan transportasi masih beroperasi, sehingga masih ada jalan bagi masyarakat untuk nekat untuk berpergian.
Baca Juga: Operasi Larangan Mudik: 87 Ribu Kendaraan Putar Balik, 698 Travel Ditindak
"Akan efektif jika pemerintah hentikan atau batasi operasi bus, KA, pesawat dan kapal," ujar Alvin, Selasa (30/3/2021).
Selain itu, menurut Alvin, berkaca pada tahun lalu banyak masyarakat nekat untuk mudik di saat taraf kepatuhan publik masih tinggi dan pengetatan yang dilakukan pemerintah.
"Tahun ini taraf kepatuhan terhadap kebijakan dan ketakutan terhadap Covid-19 sudah merosot drastis. Kalau hanya mengandalkan larangan melalui peraturan tidak akan efektif, apalagi tahun lalu sebagian besar masyarakat tidak mudik. Hasrat mudik pasti sangat besar tahun ini," ucap dia.
Ia juga menambahkan, masyarakat umum yang bekerja sebagai karyawan swasta juga tetap akan nekad untuk mudik. Sebab, jelasnya, pemerintah hanya bisa mengatut perqAparatur Sipil Negara (ASN), pegawai BUMN, hingga TNI dan Polri.
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merilis hasil survei masyarakat terkait kebijakan pelarangan mudik Lebaran nanti oleh pemerintah. Hasilnya, jika mudik dilarang, 89 persen masyarakat tidak akan mudik, 11 persen-nya akan tetap melakukan mudik atau liburan.
Baca Juga: Polisi Sekat 116 Jalan se-Jawa dan Lampung Halau Pemudik Balik ke Jakarta
Sedangkan estimasi potensi jumlah pemudik saat ada larangan mudik secara nasional sebanyak 27,6 juta orang. Dengan tujuan daerah mudik paling banyak ialah Jawa Tengah 37 persen, Jawa Barat 23 persen dan Jawa Timur 14 persen.