Suara.com - Peneliti terorisme mengatakan banyak anak muda yang dijaring dalam kelompok teroris melalui media internet dan diiming-imingi jalan pintas ke surga jika melakukan bom bunuh diri.
Hal itu dikatakan menyusul peristiwa pengeboman di sebuah gereja Katolik di Makassar, Sulawesi Selatan, yang pelakunya merupakan seorang pemuda kelahiran tahun 1995.
Pemerintah diminta lebih gencar mengawasi perekrutan teroris melalui internet dan membenahi program deradikalisasi mantan teroris, yang hingga kini disebut masih kerap melakukan perekrutan anggota baru, salah satunya melalui media sosial.
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan telah menggandeng berbagai pihak untuk terus mengatasi konten-konten radikal di media sosial.
Baca Juga: Beredar Surat Wasiat Bomber Gereja Makassar, Bahas Riba hingga Surga
- Bom Makassar: Polisi jamin keamanan perayaan Paskah dan selidiki 'potongan tubuh' pelaku aksi teror Gereja Katedral berasal dari satu atau dua orang
- Bom Makassar: 'Seumur hidup baru dengar suara ledakan sekeras itu'
- Serangan bom di tiga gereja Surabaya: Pelaku bom bunuh diri 'perempuan yang membawa dua anak'
'Target khas kelompok teroris'
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan bahwa pelaku pengeboman bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, yang berinisal L adalah seorang pemuda kelahiran 1995.
Ia dan istrinya berusaha memasuki gereja sebelum meledakkan diri, mengakibatkan 20 orang di wilayah gereja itu luka-luka.
Boy Rafli menyebut anak-anak muda adalah target khas dari kelompok teroris.
"Jadi inisial L ini dengan istrinya adalah termasuk kalangan milenial yang sudah menjadi ciri khas korban dari propaganda jaringan terorisme," kata Boy sebagaimana dilaporkan wartawan Darul Amri di Makassar untuk BBC News Indonesia.
Kedua pelaku itu disebut polisi bergabung Jamaah Ansharut Daulah atau JAD.
Baca Juga: Tanggapi Soal Bom Bunuh Diri, Novel PA 212: Seperti Biasa Aja, Sudah Bosen
Kelompok itu berafiliasi dengan kelompok yang menamai diri mereka Negara Islam atau ISIS.
Menanggapi itu, peneliti terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh, Al Chaidar, mengatakan sejak empat tahun belakangan, kelompok terorisme JAD kerap mengincar anak-anak muda.
Yang diincar, katanya, bukan dari pesantren, tapi pengguna internet.
"Yang direkrut kebanyakan anak muda, milenial baru, yang dianggap masih bersih tanpa ada pengaruh NU atau Muhammadiyah. Mereka-mereka yang cenderung kosong secara keagamaan, kering secara spiritual.
"Kebanyakan mereka [perekrut] menggunakan media sosial, mereka membahas tentang jihad dan makna mati syahid supaya bisa masuk surga. Mereka tawarkan shortcut to heaven, jalan pintas ke surga," kata Al Chaidar.
Menurutnya, pemerintah perlu menambahkan sumber daya untuk melakukan pengawasan di internet untuk mencegah perekrutan teroris melalui media sosial maupun aplikasi berbagi pesan.
"Saat ini [pengawasan] belum efektif. Masih overload pekerjaan pemerintah. Perlu lebih banyak orang lagi untuk melakukan pengawasan," ujarnya.
Terkait itu, Kepala BNPT Kombes Boy Rafli, mengatakan pihaknya akan terus berupaya untuk mengatasi konten-konten radikal di media sosial.
"Ini sinergitasnya dengan semua pemangku kepentingan, bekerjasama dengan TNI, Polisi, BIN, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), semua lembaga negara termasuk Kominfo, sudah menjadi agenda utama dalam mengantisipasi sebaran paham radikal, intoleran di dunia maya.
"Itu yang harus dilaksanakan dengan juga pelibatan unsur masyarakat karena masyarakat menggunakan sarana cyber space yang tentunya harus waspada dengan kondisi di dunia maya" kata Boy Rafli.
Boy menambahkan literasi dan edukasi digital bagi generasi milenial sangat diperlukan agar mereka tidak terlibat dalam gerakan radikal.
Siapa yang lakukan perekrutan?
Al Chaidar mengatakan yang melakukan perekrutan di antaranya adalah mantan teroris, seperti mereka yang kembali atau dideportasi dari Suriah, juga ulama-ulama muda yang disebutnya penganut wahabi takfiri atau anti terhadap mereka yang non-Muslim.
Selain itu, Al Chaidar mengatakan, bekas narapidana yang tidak megalami proses deradikalisasi aktif melakukan perekrutan sekeluarnya dari penjara.
"Hampir 90 persen dari mereka (yang dipenjara) tak mau terderadikalisasi. Mereka melakukan rekrutmen yang sangat aktif melalui media sosial," katanya.
Menurut data, Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), dalam kurun waktu 2002 hingga 2020, sebanyak 11,4% dari 825 bekas narapidana teroris, atau lebih dari 90 orang, kembali terlibat gerakan terorisme selepas dari penjara.
Dari angka 90-an itu, sebanyak 38 delapan orang memiliki tingkat "militansi yang tinggi".
Alif Satria, peneliti yang fokus pada kajian terorisme dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan harus ada keberlanjutan dari program deradikalisasi pemerintah agar para bekas napi tak lagi terlibat gerakan terorisme.
"Harus ada peningkatan evaluasi, koordinasi, dan keberlanjutan dari program-program deradikalisasi agar angka 11,4% ini menjadi 0," ujarnya.
Alif mengatakan saat ini, selain tidak wajib bagi para napiter, program deradikalisasi belum memiliki barometer terkait program deradikalisasi yang berhasil atau yang disebutnya success matrix.
"Belum ada yang membuat penilaian program sebenarnya bagaimana bentuk deradikalisasi yang berhasil? Namun, yang perlu dicatat ini adalah permasalahan semua negara," kata Alif.
Menurut Alif pembuatan ukuran keberhasilan program deradikalisasi mesti dilakukan dengan melibatkan sejumlah organisasi yang telah melakukan pendampingan para napi teroris.
Menurutnya, program deradikalisasi juga harus dilakukan sesuai dengan tingkat ektremisme seseorang.
"Ada program yang diarahkan ke mereka yang secara sukarela ingin mengikuti program (ekstremisme rendah) dan ada program yang diarahkan ke mereka yang tidak mau mengikuti (ekstremisme tinggi).
"Menurut saya lebih baik diwajibkan agar semua napiter paling tidak mendapatkan upaya deradikalisasi," tambahnya.
Sebelumnya, anak muda lain yang terlibat dalam aksi pengeboman bunuh diri adalah Dani Dwi Permana, pelaku bom Marriott di tahun 2009.
Saat melakukan aksinya, ia baru berusia umurnya 18 tahun.