Suara.com - Hari "paling berdarah" di Myanmar sejak militer merebut kekuasaan telah membuat banyak orang di negara itu berduka.
Lebih dari 100 orang tewas oleh aparat keamanan pada hari Sabtu (27/3), termasuk anak-anak. Beberapa dibunuh dalam unjuk rasa, dan lainnya di dalam rumah mereka sendiri.
Para penentang kudeta 1 Februari menyebut mereka yang tewas "bintang jatuh".
Di antara para "bintang jatuh" itu adalah seorang pria berusia 40 tahun bernama Aye Ko.
Baca Juga: Anak Perempuan 7 Tahun Tewas Ditembak Aparat Keamanan di Myanmar
Sang ayah empat anak tinggal di kota Mandalay dan merupakan anggota siskamling. Sehari-hari dia berjualan kudapan kelapa dan minuman jeli beras, menurut warga setempat.
Berbagai laporan menyebutkan dia ditembak dan terluka ketika tentara menggerebek wilayah itu. Mereka kemudian menyeretnya ke tumpukan ban mobil yang terbakar, yang didirikan oleh para pengunjuk rasa sebagai barikade.
- Kudeta Myanmar: 107 warga sipil tewas 'dibantai' dalam sehari, para jenderal berpesta
- 'Aku tidak tahan, Ayah, sakit sekali', anak perempuan tujuh tahun 'tewas ditembak aparat keamanan' di Myanmar
- Kisah-kisah pengorbanan dan ketakutan dari jalanan Myanmar: 'Tolong rawat bayi kami, jika saya mati'
"Dia berteriak-teriak, 'ibu, tolong saya," kata seorang warga setempat kepada situs berita Myanmar Now.
Orang-orang terkasihnya mengadakan upacara pada hari Minggu untuk mengenang kehidupannya. Seorang kerabat menyebut kematiannya sebagai "kehilangan besar".
"Dialah satu-satunya tulang punggung keluarga," kata kerabat itu kepada AFP.
Baca Juga: Nelayan RI yang Diculik Kelompok Abu Sayyaf Diselamatkan Aparat Filipina
Sementara itu di tempat lain di Mandalay, orang-orang berduka atas kematian pria berusia 18 tahun bernama Aung Zin Phyo.
Dia adalah kiper di Klub Futsal Lin Latt dan menjadi relawan di pusat perawatan intensif selama pandemi virus corona, menurut kantor berita Reuters.
Keluarganya mengatakan kepada wartawan dia ada di garis depan pengunjuk rasa ketika ditembak mati oleh aparat keamanan pada Sabtu lalu.
"Saya cuma punya satu putra ini... Saya ingin mati saja supaya bisa bersama putra saya," kata ibunya, sambil menangis tersedu-sedu di samping peti matinya.
Anak-anak ada di antara mereka yang tewas.
Aye Myat Thu, 11 tahun, berbaring di peti mati bersama mainan, bunga, dan gambar Hello Kitty. Media lokal mengatakan gadis itu tewas tertembak ketika aparat menghalau unjuk rasa di kota Mawlamyine.
Di kota Miktila, ibu Pan Ei Phyu, 14 tahun, berkata kepada BBC Burma gadis itu terburu-buru menutup semua pintu ketika dia mendengar tentara datang ke jalanan depan rumahnya. Tapi dia tidak cukup cepat.
"Saya melihat dia tumbang dan awalnya berpikir dia hanya terpeleset dan jatuh. Tapi kemudian darah muncrat dari dadanya," ujarnya.
Di kota terbesar Myanmar, Yangon, Sai Wai Yan yang berusia 13 tahun sedang bermain di luar ketika dia tertembak dan tewas, menurut berbagai laporan. Keluarga remaja laki-laki itu berduka di samping peti matinya pada Minggu kemarin.
"Bagaimana ibu bisa hidup tanpamu, Nak?" ibunya menangis.
Juga di Yangon, warga mengatakan Hti San Wan Phi (19 tahun) tewas ketika peluru menghantam pipinya, saat dia berada di garis pertahanan para pengunjuk rasa.
Tetangga-tetangganya menggambarkan dirinya sebagai orang yang senyumnya lebar, menurut Reuters. Orang tuanya meminta teman-temannya tidak menangis, mengatakan "anak saya adalah martir".
Kekerasan berlanjut di negara itu pada Minggu kemarin.
Berbagai laporan mengatakan aktivis perempuan Ma Ah Khu, 37 tahun, ditembak di bagian dada di kota Kale. Dia adalah direktur LSM Perempuan untuk Keadilan.
Liga Perempuan Burma menggambarkan Ma Ah Khu sebagai "perempuan dengan jiwa yang berdedikasi dan pikiran yang penuh harapan".
"Kami menghormati keberaniannya, komitmennya, dan perjuangannya," kata organisasi tersebut.