Hari Paling Mematikan Sejak Kudeta Militer Myanmar

SiswantoBBC Suara.Com
Minggu, 28 Maret 2021 | 13:40 WIB
Hari Paling Mematikan Sejak Kudeta Militer Myanmar
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Setidaknya hampir seratus orang di Myanmar dikabarkan tewas saat aparat lokal menindak pedemo yang menentang kudeta militer di negara tersebut, Sabtu (27/03).

Sejumlah kalangan menyebut Sabtu kemarin sebagai hari paling mematikan sejak militer Myanmar merebut kekuasaan sipil, Februari lalu.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken menuding pembunuhan itu menunjukkan bahwa "pemerintahan junta militer Myanmar akan mengorbankan nyawa masyarakat demi kepentingan segelitir orang".

Adapun Utusan khusus Uni Eropa untuk Myanmar menyatakan, Sabtu kemarin, yang diperingati sebagai Hari Angkatan Bersenjata, akan terukir menjadi hari penuh teror dan aib.

Baca Juga: Menlu AS Blinken Ajak Sekutu NATO Lawan Perilaku Agresif Cina

Sementara itu Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, mengaku sangat terkejut dengan peristiwa ini.

Apa yang terjadi?

Tindakan keras yang mematikan terhadap warga sipil, termasuk anak-anak, terjadi saat pengunjuk rasa menentang peringatan Hari Angkatan Bersenjata. Pedemo turun ke jalan-jalan di berbagai kota.

Kelompok aktivis bernama Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik (AAPP), menyebut setidaknya 91 pedemo tewas Sabtu kemarin. Namun beberapa media massa lokal memperkirakan angka korban tewas lebih tinggi.

"Mereka membunuh kami seperti burung atau ayam, bahkan saat kami tengah berada di rumah kami," kata warga Myanmar, Thu Ya Zaw, kepada kantor berita Reuters, di kota Myingyan.

"Kami akan terus melancarkan protes," ujarnya.

Baca Juga: Giliran Uni Eropa Jatuhkan Sanksi Atas Kudeta Militer di Myanmar

Pada Jumat malam sebelumnya, stasiun televisi milik pemerintah menyiarkan pernyataan bahwa "warga Myanmar harus belajar dari tragedi kematian yang buruk sebelumnya dan bahwa mereka terancam ditembak di kepala dan punggung".

Pasukan keamanan mengerahkan kekuatan untuk mencegah unjuk rasa.

Berbagai foto yang diunggah di media sosial menunjukkan orang-orang dengan luka tembak dan keluarga yang berduka.

Direktur Jaringan Hak Asasi Manusia Myanmar di Inggris, Kyaw Win, berkata kepada BBC bahwa militer negara itu tidak memiliki batasan dan tidak memegang prinsip.

"Ini pembantaian, bukan lagi tindakan keras," kata Kyaw Win.

Tindakan keras dengan peluru tajam dilaporkan terjadi di lebih dari 40 lokasi di seluruh Myanmar.

Situs berita lokal, Myanmar Now, menyebut jumlah korban tewas mencapai 114 orang. Sementara PBB mengaku menerima laporan tentang "puluhan orang tewas" dan ratusan lainnya yang terluka.

AAPP mengatakan, seorang anak perempuan berusia 13 tahun adalah satu di antara korban tewas. Dia ditembak mati saat berada di dalam rumahnya.

Sejumlah saksi dan sumber mengatakan kepada BBC tentang kematian pengunjuk rasa yang juga terjadi di kota lainnya, seperti Magway, Mogok, Kyaukpadaung, dan Mayangone.

Kematian juga dilaporkan terjadi di Yangon dan di jalan-jalan kota terbesar kedua di Myanmar, yaitu Mandalay.

Di Mandalay para pengunjuk rasa membawa bendera Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Mereka juga menunjukkan salam tiga jari, simbol anti-otoriter mereka.

Pihak militer belum mengeluarkan pernyataan apapun terkait pembunuhan yang terjadi.

Dalam pidato pada seremoni Hari Angkatan Bersenjata yang disiarkan di televisi, pemimpin kudeta, Jenderal Min Aung Hlaing, menyebut tentara ingin "bergandengan tangan dengan seluruh bangsa untuk menjaga demokrasi".

"Tindakan kekerasan yang mempengaruhi stabilitas dan keamanan untuk menyatakan tuntutan adalah perbuatan yang tidak tepat," ujarnya.

Sementara itu, kelompok etnis bersenjata di timur Myanmar mengatakan, sejumlah pesawat tempur militer menjadikan wilayah yang mereka kuasai sebagai target.

Serangan terhadap wilayah itu dilancarkan beberapa jam setelah kelompok bernama Karen National Union itu mengeklaim telah menyerbu sebuah pos militer dekat perbatasan Thailand.

Peristiwa ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara kelompok itu dengan militer Myanmar. Selama beberapa tahun terakhir, hubungan mereka relatif damai.


Anak-anak juga jadi korban tewas dan terluka

Moe Myint, BBC Burma

Di seluruh Myanmar, anak-anak turut menjadi korban yang terluka dan tewas pada hari paling berdarah sejak kudeta tanggal 1 Februari.

Seorang Ibu dari anak berusia empat belas tahun, bernama Pan Ei Phyu, berkata bahwa dia bergegas menutup semua pintu rumah saat mendengar pasukan tentara militer turun ke permukimannya.

Namun dia tidak cukup cepat. Tak lama setelahnya, dia memegangi tubuh putrinya yang berlumuran darah.

"Saya melihatnya pingsan dan awalnya mengira dia terpeleset dan jatuh. Tapi kemudian darah muncrat dari dadanya," katanya kepada BBC Burma dari Kota Meiktila di Myanmar tengah.

Pembunuhan secara acak ini sangat mengejutkan. Berbekal senjata perang, pasukan keamanan tampaknya bersedia menembak siapa pun yang mereka lihat di jalanan.

Kebrutalan itu menunjukkan mereka mampu mengambil tindakan yang lebih ekstrem ketimbang yang telah kita saksikan sejak kudeta.

Pihak militer maupun gerakan pro-demokrasi belum mau mengendurkan sikap mereka.

Militer mengira dapat meneror masyarakat untuk mencapai "stabilitas dan keamanan". Namun gerakan jalanan yang dipimpin oleh orang-orang muda bertekad membersihkan Myanmar dari kediktatoran militer untuk selamanya.

Sungguh menyakitkan menghitung jumlah korban tewas, terutama anak-anak.


Kejadian Sabtu kemarin ini membuat jumlah orang yang terbunuh di Myanmar sejak kudeta 1 Februari lalu menjadi lebih dari 400 orang.

Militer menguasai Myanmar setelah mereka tidak mengakui pemilu yang dimenangkan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI