Suara.com - Pemerintah didesak untuk fokus menangani pandemi Covid-19, dan menunda pembangunan ibu kota negara baru di Kalimantan Timur tahun ini, sebagaimana yang direncanakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Saat ini, pemerintah tengah menggodok draf RUU Ibu Kota Negara Baru sebagai landasan proyek itu dan akan segera mengajukannya ke DPR untuk dibahas, kata juru bicara Presiden.
DPR sendiri sudah menjadikan RUU itu sebagai salah satu prioritas program legislasi nasional tahun ini.
Proyek ini diperkirakan akan memakan biaya sekitar Rp500 triliun, yang pembiayaannya akan dilakukan melalui skema APBN, Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan melalui pihak swasta.
Baca Juga: Meski Kaya SDA Ada 128 Desa Tertinggal di Kaltim
Menurut peneliti ekonomi dan beberapa fraksi di DPR, biaya itu mestinya difokuskan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi warga.
Sementara, menurut pemerintah, proyek itu justru bermanfaat memulihkan ekonomi warga yang anjlok akibat pandemi.
- Ilmuwan temukan risiko tsunami dekat calon ibu kota baru Indonesia
- Ibu kota baru: Tuduhan dan bantahan Yusril serta nama-nama anyar yang disebut akan meraup untung
- Ibu kota baru: Bisakah wajah pusat Indonesia benar-benar berubah?
'Segera masuk DPR'
Bappenas berencana untuk melaksanakan groundbreaking atau peletakan batu pertama pembangunan istana negara di lokasi ibu kota yang baru di Kalimantan Timur pada tahun 2021 ini.
Deputi Bidang Pengembangan Regional Bappenas, Rudy Soeprihadi Prawiradinata mengatakan pembangunan akan dimulai setelah RUU Ibu Kota Negara, yang diajukan oleh pemerintah, disahkan DPR.
Draf RUU itu sendiri sampai saat ini masih ada di tangan presiden dan kata Rudy, akan disusun pemerintah dengan mempertimbangkan kondisi pandemi Covid-19.
Baca Juga: Istana Negara di Ibu Kota Baru Mau Dibangun saat Pandemi, Ini Kata Pengamat
"Pak presiden akan menyerahkan RUU ini kalau arahnya sudah jelas. Memang tujuan utama pemerintah ya untuk mengontrol pandemi Covid dulu.
"Cuma kan pembangunan ibu kota negara baru ini juga bisa sebagai penggerak ekonomi," ujar Rudy pada Kamis (25/03).
Sementara itu, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rahman mengatakan pemerintah akan segera menyelesaikan draf RUU Ibu Kota Negara.
"Segera masuk [ke DPR]," ujarnya tanpa menjabarkan lebih lanjut kapan penyerahan akan dilakukan.
DPR sudah memasukkan RUU ini ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas untuk tahun 2021, meski tiga fraksi, yakni Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN) mengkritik pembahasan RUU itu di tengah pandemi.
Anggota DPR fraksi Demokrat, Herman Khaeron, mengatakan proyek itu mestinya ditunda karena menyedot anggaran besar.
Pembangunan ibu kota Negara baru disebut akan memakan biaya hingga Rp500 triliun. Sekitar 20% dari total itu, atau Rp100 triliun, direncanakan untuk dibebankan pada APBN.
Skema lainnya yang akan digunakan adalah Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU, yang umumnya melibatkan BUMD dan BUMN, juga ada mekanisme pembiayaan swasta.
Menurut Herman Khaeron, saat ini, pemerintah harusnya fokus pada wabah dan pemulihan akibat pandemi Covid-19.
"Untuk vaksin, kita butuh dana besar... Kemudian kalau kita memiliki reorientasi baru untuk membangun, bangunlah kawasan-kawasan industri saja, tunggu dulu daya beli masyarakat meningkat, lapangan pekerjaan terbuka, ekonomi tertopang stabil, sumber-sumber pendapatan negara sudah meningkat.
"Itulah saat rasional untuk membangun ibu kota baru, kalau memang itu dianggap urgen," ujarnya.
Ia menambahkan kajian mendalam soal pemindahan ibu kota baru masih dibutuhkan, mengingat pemindahan ibu kota tak hanya soal pembangunan infrastruktur, tapi juga pemindahan seluruh aparatur negara ke kota yang baru.
'Tidak urgen'
Hal yang sama diungkapkan peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti Suryaningrum, yang menyebut proyek pembangunan ibu kota negara baru tidak urgen.
Pemulihan ekonomi, katanya, bisa dilakukan dengan cara lain, seperti pemerataan ekonomi di berbagai daerah dan tak harus dengan memindahkan ibu kota.
"Beresin dulu nih Covid. Kalau sudah beres Covid, baru infrastruktur dan itu tidak harus dilakukan dengan pindah ibu kota.
"Pembangunan infrastruktur misalkan dapat dilakukan dengan membuka akses transportasi, seperti dalam hal trans Sumatera. Ibu kota di mana pun asal tak Jawa-sentris pembangunannya akan lebih baik. Ada pemerataan ekonomi," ujarnya.
- 'Hutan sudah dibabat perusahaan, kami tak mau tambah melarat karena ibu kota baru'
- Ribuan lubang tambang menganga di sekitar ibu kota baru: 'Cucu saya tewas di sana, saya harus tuntut siapa?'
- Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur : Ada ancaman 'penebangan hutan'
Namun, Deputi Bidang Pengembangan Regional Bappenas, Rudy Soeprihadi mengatakan yakin proyek ini akan mampu menggerakan ekonomi, salah satunya karena akan membuka banyak lapangan pekerjaan.
Rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur resmi diumumkan pada tahun 2019.
Pemerintah mengumumkan sejumlah alasan pemindahan, dari masalah ketidakmerataan ekonomi hingga beban lingkungan di Pulau Jawa.
Sejak pertama digulirkan, proyek ini banyak dikritik, termasuk oleh aktivis lingkungan, yang khawatir pemindahan ibu kota akan merusak lingkungan di Pulau Kalimantan.
Pemerintah sebelumnya menyusun garis waktu untuk pembangunan ibu kota baru, sebagai berikut:
- 2017-2019: Penyusunan dan penyelesaian kajian
- 2020: Penyiapan regulasi dan kelembagaan, penyusunan masterplan kota, perencanaan kawasan
- 2021: Penyediaan lahan, penyusunan Detail Engineering Design (DED) kawasan, dan groundbreaking pembangunan ibu kota baru
- 2022-2024: Pembangunan kawasan inti pusat pemerintahan dan sebagian kawasan ibu kota negara
- 2025-2029: Pembangunan ibu kota negara
Namun, pemerintah mengatakan jadwal itu mungkin akan meleset karena pandemi Covid-19.