Suara.com - Anggota Komisi III DPR Johan Budi memandang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memang perlu dilakukan revisi secara terbatas. Terlebih berkenaan dengan pasal-pasal karet yang kini dipermasalahkan.
Johan mengingatkan bahwa penerapan UU ITE harus berlaku sama terhadap semua kalangan. Hal itu disampaikan Budi dalam diskusi di The Indonesian Forum ke-73 tentang Menerka Arah Revisi UU ITE.
"Yang pertama perlu dilakukan revisi secara terbatas Undang-Undang 19 tahun 2016. Kemudian penerapan Undang-Undang ITE itu harus sama ya, equal terhadap siapapun dan membukan peluang untuk pendekatan restoratif justice ini disampaikan oleh kapolri waktu itu," kata Johan secara virtual, Kamis (25/3/2021).
Namun begitu, revisi saja dipandang tidak cukup. Menurut Johan untuk mencegah terjadinya pelanggaran berkaitan UU ITE maka perlu ada sosialisask dan edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan media sosial dengan tapat dan benar.
Baca Juga: Banyak Pasal Multitafsir, DPR Dukung Pemerintah Revisi UU ITE
"Kemudian perlu pemahaman dan sosialisasi secara terus menerus kepada publik bagaimana menggunakan media sosial secara santun dan benar," kata Johan.
Sementara itu di sisi lain, Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin mengatakan bahwa DPR mendukung wacaca revisi terhadap UU ITE, meski saat ini tidak masuk daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2021.
"Untuk itu, DPR meminta masyarakat untuk mendukung upaya pemerintah yang saat ini sedang melakukan penyerapan aspirasi dan mengkaji revisi UU ITE," kata Azis dalam keterangannya.
Anak Muda Dukung Revisi UU ITE
Mayoritas anak muda Indonesia yang disurvei lembaga Indikator Politik Indonesia menyatakan revisi terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik perlu direvisi agar kebebasan berpendapat dan berekspresi terjamin.
Baca Juga: Bagir Manan: UU ITE Perlu Direlaksasi Sambil Menunggu Direvisi
"Mayoritas anak muda atau 57.3 persen berpendapat bahwa UU ITE perlu direvisi untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam mengemukakan pendapat," kata Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi, Minggu (21/3/2021).
Sementara, anak muda yang berpendapat UU ITE tidak perlu direvisi agar orang tidak berlaku sesukanya (24.1 persen). Jumlah responden yang tidak menjawab (18.6 persen).
Berdasarkan sosio-demografi, mayoritas anak muda menyatakan tindakan saling melaporkan ke polisi tidak baik (41,6 persen).
"Namun, pada kelompok etnis Jawa dan Madura, wilayah Jateng dan Jatim, (tindakan saling lapor) lebih banyak yang menilai baik," kata dia.
Riset ini menggunakan pendekatan survei simple random sampling sebanyak 206.983 responden secara acak pada Maret 2018-2020 di seluruh Indonesia dan pernah diwawancarai secara tatap muka langsung dalam rentang dua tahun terakhir.
Toleransi kesalahan (margin of error) sekitar 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Total survei sampel yang berhasil diwawancara sebanyak 1.200 responden warga negara Indonesia berusia 17-21 tahun.
Didukung DPR
Sejumlah pimpinan serta anggota DPR RI melakukan diskusi dengan Tim Kajian UU ITE bentukan Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Melihat banyak pasal multitafsir, mayoritas mereka mendukung adanya revisi UU ITE.
Seperti yang disampaikan Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin misalnya. Menurutnya ada pasal yang masih menjadi perdebatan di masyarakat dan tarik menarik dalam penafsiran hukum yakni pasal 26 ayat 3, pasal 27, 28, 29, pasal 30, 40 dan pasal 45.
"Misalnya pasal 27, pasal 28, 29, atau pasal 26 tentang pengapusan informasi, pasal 36 tentang kewenenangan pemerintah untuk melakukan pemutusan akses, nah ini yang menjadi diskusi dari waktu ke waktu dan sampai dengan saat ini antara fraksi fraksi sampai sekarang belum ada kesepakatan," kata Azis dalam keterangan tertulis, Jumat (19/3/2021).
Karenanya, Azis mengungkap kalau pihaknya mendukung kebijakan pemerintah melakukan diskusi untuk urgensi revisi UU ITE. Apalagi penyiapan naskah akademis UU ITE-nya pun disertai masukan dari kalangan intelektual ataupun organisasi masyarakat.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mencatat ada beberapa pasal seperti Pasal 27 Ayat 3, Pasal 28 Ayat 2, Pasal 29, dan Pasal 45A dianggap multitafsir dan terkesan tidak adil di dalam UU ITE sehingga perlu direvisi.
Hidayat mengatakan pasal 27 ayat 3 seharusnya tidak dibutuhkan lagi untuk diatur di UU ITE. Sebab, dari segi substansi sejatinya aturan ini sudah diatur dalam pasal 310 KUHP yaitu terkait penghinaan atau pencemaran nama baik.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini juga menekankan alasan awal dibuatnya UU ITE tahun 2008, yang memiliki semangat memajukan informasi dan transaksi elektronik, bukan justru menjadi momok bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi warga negara yang dijamin dalam pasal 28 E ayat 3 undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
"Bila kita konsisten dengan tujuan atau pertimbangan utama dihadirkannya UU ITE tahun 2008 itu, tentu fokus dalam melaksanakan revisi adalah konten-konten yang bersinggungan dengan hak masyarakat untuk mengemukakan pendapat dalam bingkai demokrasi Pancasila yang berpotensi untuk dijadikan alat kriminalisasi dan ketentuan yang mengatur tentang penghinaan, pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong dan menyesatkan, penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA," ujarnya.
Senada dengan Hidayat, Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin mengatakan dalam UU ITE memang ada dua pasal krusial yang sempat menjadi perdebatan. Pasal yang dimaksud adalah Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2. Namun demikian, Politisi PDIP ini berhadap agar dua pasal tersebut tidak dihilangkan.
"Tapi kalau harus direvisi saya berharap ke 2 Pasal itu hendaknya dipertahankan, jangan dihilangkan karena itu roh dan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia. Saya punya data ada kelompok yang ingin berselancar atas nama kebebasan untuk mengkritik dan lain sebagainya. Untuk mendisintegrasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia," ungkapnya.
Lebih lanjut TB menyarakan agar diibuat pedoman penegak hukum dalam aplikasi kedua pasal krusial yakni Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2.
"Tapi kalau membuat pedoman kurang ya kita angkat ada peraturan presidennya atau peraturan pemerintah tentang undang-undang ini," tambahnya.
Sementara itu, Ketua Tim Kajian UU ITE Sugeng Purnomo menginformasikan langkah lanjutan dari kerja tim, yaitu membawa semua masukan narasumber untuk didiskusikan Tim I dan Tim II. Sugeng berharap agar tim dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
"Seluruh diskusi telah kita selesaikan untuk menyerap saran, aspirasi dan pandangan, maka waktunya masing masing sub tim untuk mengadakan rapat rapat internal untuk laporan yang ditugaskan kepada masing-masing," sebut Sugeng.
Selain tiga narasumber tersebut hadir pula narasumber lainnya pada sesi dua dari kelompok Kementerian dan Lembaga. Seperti Arief Muliawan mewakili Jampidum Kejaksaan Agung RI, Asep Maryono, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Kejaksaan RI, KBP Heska mewakili Kabaintelkam Polri, Sudharmawatinginsih Panitera Muda Pidana Umum Mahkamah Agung, dan Henri Subiakto sebagai wakil dari Kominfo.