Suara.com - Usulan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) agar Organisasi Papua Merdeka (OPM) dikategorikan sebagai kelompok teror dinilai akan memicu kriminalisasi banyak warga sipil dengan tuduhan terlibat separatisme.
Dalam beberapa waktu ke depan BNPT akan menggandeng sejumlah instansi untuk mewujudkan usulan itu. Mereka yakin pemberantasan OPM akan mendongrak kesejahteraan dan rasa aman masyarakat Papua.
Namun OPM membantah bahwa mereka meresahkan masyarakat Papua. OPM mengklaim setiap aktivitas mereka justru ditujukan untuk membela hak warga Papua.
- Penembakan di Intan Jaya membuat sekitar 600 warga 'mengungsi karena takut', mengapa konflik terus terjadi?
- Pendeta Yeremia tewas ditembak di Papua, keluarga tuntut pelakunya diadli di peradilan HAM
- Tujuh tapol asal Papua divonis penjara: 'Kami demo tolak rasisme, kenapa dijadikan seperti teroris?'
Ketua Perkumpulan Pengacara Hak Asasi Manusia Papua, Gustaf Kawer, menilai OPM tidak dapat digolongkan menjadi kelompok teror, baik berdasarkan regulasi Indonesia maupun aturan yang berlaku secara internasional.
Baca Juga: KKB dan OPM akan Diusulkan Jadi Organisasi Teroris di Papua
Gustaf khawatir cap kelompok teroris bakal menjadi dalih kriminalisasi dan perbuatan sewenang-wenang aparat keamanan terhadap orang yang dituduh anggota OPM.
"Dampak terhadap penegakan HAM bisa semakin buruk," kata Gustaf, yang selama bertahun-tahun mendampingi sejumlah orang Papua yang dijerat pasal makar.
"Sejak integrasi hingga sekarang, penanganan kelompok yang disebut separatis dilakukan asal-asalan.
"Masyarakat sipil bukan OPM ditangkap dan ditahan tanpa prosedur hukum yang sesuai bahkan ada yang dieksekusi di lapangan.
"Kalau OPM dicap teroris, saya pikir aparat akan semakin semena-mena. Warga sipil yang tidak ada kaitan dengan OPM bisa secara sembarangan ditangkap dengan dalih terorisme," ujar Gustaf.
Baca Juga: Viral Video Diduga Anggota KKB Ancam Culik Gadis Hingga Tembaki Anak-anak
Wacana menjadikan OPM sebagai kelompok teror mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat antara BNPT dengan Komisi III DPR, 22 Maret lalu.
Saat dihubungi via telepon, Juru Bicara BNPT, Brigadir Jenderal Eddy Hartono, membantah cap kelompok teror terhadap OPM akan membuat aparat keamanan sewenang-wenang.
Eddy berkata, BNPT menganggap status kelompok teror perlu segera diberikan pada OPM atau yang biasa disebut pemerintah sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB). Salah satu alasannya, OPM kerap menyerang polisi dan tentara.
"KKB dalam dua tahun ini sangat meresahkan. Ada masukan dari beberapa pihak agar KKB ini dimasukkan ke organisasi teror," kata Eddy, mantan pimpinan di Detasemen Khusus 88 Antiteror.
"Seluruh pihak, baik pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan, termasuk tokoh Papua akan dilibatkan dalam membahas usulan ini.
"Usulan ini perlu karena sudah banyak korban yang jatuh di pihak TNI dan Polri. Ini menghambat kesejahteraan masyarakat Papua," ucapnya.
Apa tanggapan OPM?
OPM tidak pernah menyerang warga Papua, kata Linus Hiluka. Linus adalah petani di Wamena. Dia merupakan sosok senior OPM di kawasan pegunungan Papua.
Pada November 2015 Linus mendapatkan grasi dari Presiden Joko Widodo dalam kasus makar. Menurut Linus, yang disuarakan oleh OPM selama ini adalah aspirasi masyarakat Papua.
"OPM adalah masyarakat Papua. Organisasi ini milik orang-orang Papua berkulit hitam, jadi kami tidak menyerang mereka, organisasi ini justru milik mereka," kata Linus.
"Harus dipahami, OPM dan rakyat Papua itu satu. Indonesia mau berikan cap teroris seperti itu agar dunia internasional beri dukungan untuk menghantam Papua.
"OPM bukan teroris. Kemarin pemerintah sebut OPM adalah KKB, pengacau keamanan, gerombolan. Belum puas, sekarang mau sebut OPM teroris," ujarnya.
Definisi terorisme?
Tindak pidana terorisme adalah perbuatan yang secara sengaja menggunakan kekerasan untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas dan menimbulkan korban massal.
Definisi itu tertuang dalam pasal 6 UU 5/2018 Antiterorisme. Menurut pasal itu, tindak pidana terorisme merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda atau mengakibatkan kerusakan objek vital, lingkungan hidup, atau fasilitas publik.
Dalam beberapa tahun terakhir, cap kelompok teror ditetapkan pengadilan Indonesia untuk Jamaah Anshor Daulah.
Status itu juga dinyatakan kepada beberapa kelompok yang berafiliasi dengan ISIS, antara lain Mujahidin Indonesia Timur.
Sebelumnya, status kelompok teroris juga disempatkan aparat keamanan kepada Jamaah Islamiyah.
Soal pasokan senjata
Linus balik menuduh bahwa yang menciptakan konflik di Papua selama ini justru aparat keamanan. Ia merujuk kasus dugaan jual-beli senjata yang melibatkan polisi dan tentara.
Selama awal 2021, dua polisi di Maluku dan seorang tentara dari Kodam Pattimura XVI ditindak oleh lembaga mereka dalam tuduhan menjual senjata kepada kelompok bersenjata di Papua.
Sementara November 2020, seorang anggota Brimob di Papua dijerat dalam kasus penjualan senapan serbu kepada kelompok bersenjata di Papua, yang merujuk ke OPM.
Selain soal perdagangan senjata, Gustaf Kawer menyebut sejumlah kasus penembakan di Papua belakangan ini diduga dipicu aksi aparat keamanan.
"Dalam pemeriksaan beberapa kasus kepemilikan amunisi yang dituduhkan kepada anggota OPM, ada anggota TNI/Polri yang disebut sebagai pemasok.
"Polisi sudah tahu tapi mereka tidak buka dan tangkap yang terlibat. Ini ada dalam Berita Acara Pemeriksaan.
"Merujuk fakta itu, jadi sebenarnya siapa yang bisa disebut sebagai teroris?" kata Gustaf.
Hingga wacana soal cap kelompok teror ini mencuat, peristiwa baku tembak masih terus terjadi di Papua. Korban luka maupun tewas juga terus bermunculan.
Pada 6 Maret lalu misalnya, TNI menyebut satu anggota OPM tewas dalam baku tembak dengan personel mereka di Intan Jaya.
Sementara sekitar sebulan sebelumnya, di kabupaten yang sama, seorang anggota TNI dikabarkan tewas ditembak kelompok bersenjata.
Adapun, penyelidikan komprehensif terakhir dilakukan pada kasus kematian pendeta di Intan Jaya, bernama Yeremia Zanambani. Dalam peristiwa yang sama, dua tentara juga tewas.
Salah satu kesimpulan Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk pemerintah adalah adanya dugaan peran aparat dalam kematian Pendeta Yeremia.