Suara.com - Kasus bunuh diri Byun Hee-soo, seorang tentara transgender, picu seruan reformasi legislatif Korea Selatan. Para advokat mendesak perlindungan yang lebih besar bagi kaum LGBT+, baik di militer maupun masyarakat.
Kasus kematian Byun Hee-soo, seorang prajurit transgender Korea Selatan berusia 23 tahun telah memicu aksi protes dan seruan untuk perlindungan hak-hak LGBT+.
Byun ditemukan tewas di rumahnya di Cheongju pada 3 Maret lalu. Byun bergabung dengan kesatuan militer pada 2017 dan naik pangkat menjadi sersan staf, dengan tugas utama mengemudikan tank.
Namun, dia dipulangkan secara paksa pada tahun 2020 setelah menjalani operasi penggantian kelamin.
Baca Juga: Uni Eropa Deklarasikan Jadi Zona Kebebasan Komunitas LGBT+
Upaya bandingnya untuk pemulihan hak ditolak pada akhir tahun lalu. Atasan langsung Byun dan rekan-rekannya telah mengetahui keputusannya untuk menjalani prosedur tersebut, yang dia jalani di Thailand pada tahun 2019.
Namun, pimpinan militer yang lebih tinggi mempermasalahkan operasi tersebut dan Kementerian Pertahanan menganggapnya cacat fisik dan mental karena Byun memiliki kekurangan pada organ seksual pria.
Menyusul pemecatan tersebut, Byun menggelar konferensi pers dan mengatakan: "Saya ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa saya bisa menjadi prajurit yang hebat ... Tolong beri saya kesempatan itu."
PBB kecam keputusan militer Korsel
Tahun lalu, Byun memenangkan putusan pengadilan yang mengakui dia sebagai perempuan.
Baca Juga: Bikin Unggahan Dukung LGBT, Eks Persib Bandung Diserang Warganet
Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan pernyataan kepada pemerintah Korea Selatan, bahwa pemecatan tersebut merupakan pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional.
Byun kemudian mengajukan gugatan terhadap militer karena diberhentikan secara tidak sah.
Sidang pertama dijadwalkan berlangsung pada bulan April mendatang.
"Sulit membayangkan bagaimana rasanya ditinggalkan, bahkan dikhianati," kata Cho Kyu-suk, anggota Pusat Hak Asasi Manusia Militer, yang telah bekerja sama dengan Byun.
Cho mengatakan diskriminasi terhadap orang LGBT+ lazim di masyarakat Korea Selatan, tetapi diskriminasi tersebut diekspresikan secara berbeda di militer.
"Diskriminasi lebih kuat di militer, karena kami memiliki sistem wajib militer di mana semua laki-laki muda [bertugas] sekitar satu setengah tahun," kata Cho kepada DW.
Diskriminasi militer juga dia sebutkan tidak terbatas pada kelompok transgender.
Kebijakan homofobia yang tersebar luas
Pada tahun 2017, setelah sebuah video tersebar secara online yang menunjukkan dua tentara pria berhubungan seks, kesatuan militer Korea Selatan melakukan penyelidikan, menyita, dan secara forensik memeriksa ponsel serta menginterogasi pasukan.
"AS mengkriminalisasi hubungan sesama jenis dalam kode keadilan militernya pada 1950-an, dan itu diimpor ke Korea Selatan," tambah anggota pusat HAM militer Cho.
Politisi Korea Selatan pada umumnya lambat melindungi komunitas LGBT+ dari diskriminasi dan sering kali menyatakan kebalikan dari hal tersebut.
Bahkan Presiden Moon Jae-in dilaporkan mengatakan, dia menentang diskriminasi, tetapi di saat yang sama juga "menentang homoseksualitas."
Sebuah tugu peringatan didirikan setelah Byun bunuh diri, meski hanya sedikit politisi dan tokoh terkemuka yang berkunjung.
Komunitas harus 'membentuk suara kolektif'
"Komunitas perlu membentuk suara kolektif, yang sejauh ini belum benar-benar didengar, kecuali di akhir pekan atau festival parade queer."
Parade dan festival quer tidak hanya menciptakan kesempatan untuk merayakan pembebasan identitas seksual, tetapi juga menjadi titik nyala bagi penentang hak beragama Korea Selatan.
Pada Festival Budaya Aneh 2018 di Incheon, kota tetangga yang berbatasan dengan Seoul, pengunjuk rasa homofobia melebihi jumlah peserta festival dengan lima banding satu.
Para pengunjuk rasa secara fisik menghalangi dan melontarkan hinaan ke penyelenggara, sementara ada juga yang melakukan tindak kekerasan.
"Umat Kristen adalah musuh utama hak-hak kaum gay," kata Lee Joo-Hyung, seorang gay.
Lee mula-mula mengungkapkan bahwa dia gay kepada teman-temannya dan kemudian ke keluarganya beberapa tahun yang lalu.
Ibunya yang beragama Kristen, sangat dipengaruhi oleh pengkhotbahnya, "menangis selama berhari-hari, mengatakan kepada saya bahwa saya akan sengsara, sakit dan masuk neraka," katanya kepada DW.
"Keluar itu tidak mudah."
Namun, sama seperti yang lainnya, dia juga berharap bahwa banyak hal dapat berubah dengan disahkannya undang-undang anti diskriminasi.
Diskriminasi tersembunyi
Diskriminasi di Korsel sangat tersembunyi dan banyak sekali diskriminasi yang terjadi "di bawah permukaan", kata Lee menambahkan.
"Politisi Korea Selatan sangat berhati-hati karena Gereja Korea dan jumlah pemilihnya yang besar.
Mereka tidak ingin mengambil risiko terhadap karir politik mereka."
Gereja Kristen Bersatu Korea, yang mewakili 50 ribu anggota paroki di seluruh negeri menentang setiap undang-undang anti-diskriminasi yang diusulkan.
Setelah kematian Byun, anggota parlemen progresif juga mengatakan mereka akan meningkatkan upaya untuk mengesahkan "Undang-Undang Kesetaraan".
Namun, RUU anti-diskriminasi tetap terhambat oleh anggota parlemen yang masih ragu terhadap reaksi keras kelompok agama.
"Itulah kekuatan suara Kristen," kata Lee.
Jika Anda mengalami ketegangan emosional atau pikiran untuk bunuh diri, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Anda dapat menemukan informasi tentang bantuan semacam itu, di mana pun Anda tinggal di dunia, di situs web ini: https://www.befrienders.org/ (ha/as)