Suara.com - Kasus dugaan suap benih lobster yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo terus bergulir di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Jakarta Pusat, Rabu (24/3/2021).
Dalam persidangan lanjutan ini, Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir dihadirkan sebagai saksi ahli untuk terdakwa Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito.
Saat persidangan, Suharjito memaparkan penjelasannya terkait perkara ini. Dia bercerita tentang masalah yang dialaminya sebagai pengusaha budidaya udang dan lobster untuk ekspor.
“Dalam perjalanan permohonan izin 4 Mei hingga 18 Juni baru ada (izin), kita ini sudah paham budidaya, tapi kita alami kesulitan dalam urusan izin yang notabane-nya saya tanyakan ke anak buah saya (bernama) Agus,” ujar Suharjito dalam persidangan.
Baca Juga: Tak Ada Dasar Aturan, Edhy Minta Setoran ke Ekportir Lewat Bank Garansi
“Kenapa masalahnya Gus? Coba tanyakan ke Dirjen Budidaya apa masalahnya, kalau untuk mendapat izin, dan kalau mendapat izin sudah berlomba-lomba, padahal Kementerian KKP yang bidangi budidaya paham tentang hal budidaya,” sambungnya.
Karena kesulitan itu, Suharjito mengaku diminta menyerahkan uang Rp5 miliar, untuk meloloskan perizinan ekspornya. Permintaan itu dikatakan Agus stafnya, dari Stafsus Edhy Prabowo.
“Dikemudian hari, Saudara Agus (staf Suharjito) nanya ke Dirjen Budidaya, (katanya) tanyakan Stafsus, di situ lah ada letak komitmen yang harus disampaikan ke saya (komitmen) uang. Disampaikan Saudara Agus kisaran Rp5 miliar bisa dicicil. Akhirnya saya membayar komitmen itu 77 ribu dolar Amerika Serikat yang disampaikan Agus. Saya cicil, 77 ribu dolar AS sama dengan Rp1 miliar," ujarnya.
Usai memaparkan penjelasannya itu, Suharjito lantas bertanya kepada Ahli hukum pidana UII, Mudzakir, apakah pemberian yang dilakukannya itu bersifat aktif atau pasif.
Mudzakir lantas menjawab, pihak yang bertanggung jawab atas pemberian itu adalah stafsus Edhy Prabowo.
Baca Juga: Kasus 'Lobster' Edhy Prabowo, KPK Kembali Sita 13 Sepeda Mahal
“Saya ingin sampaikan, perbuatan stafsus menteri tadi menurut ahli adalah komitmen yang dia lakukan perbuatan salah. Karena apa? Ini perusahaan ini sudah mengurus proses yang dilakukan, cuma tidak terbit-terbit, begitu staf (Suharjito) tanya harus buat komitmen suap, jadi suap itu bersumber stafsus,” jelas Mudzakir.
Oleh karena itu, terjadinya pemberian sesuatu ke stafsus bukan karena dari pihak yang mengurus izin, tapi justru stafsus yang membuat untuk terbit dengan memberikan sesuatu," sambungnya.
Mudzakir pun mengatakan Suharjito berperan sebagai pemeberi pasif. Terlebih tindakan stafsus dari Edhy Prabowo itu memperlambat terbitnya izin ekspor beni lobster.
“Kesimpulannya bahwa yang tanggung jawab atas pemberian itu adalah stafsus. Pengusaha ini adalah korban dari stafsus agar memberi sesuatu. Atas dasar itu, menurut ahli memberikan sesuatu itu bersifat pasif, dan yang tanggung jawab aktif yaitu stafsus. Kata kuncinya pengusaha itu korban, dan pasif," tegas Mudzakir.
Dalam perkara ini, Suharjito didakwa memberi suap ke Edhy Prabowo, saat menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan. Suap yang diberikan kepada Edhy sebesar Rp 2,1.
Jaksa KPK dalam persidangan, menyebutkan uang itu diberikan kepada Edhy melalui staf khususnya, Safri dan Andrau Misanta Pribadi.