Suara.com - Seorang trangender Pakistan mendirikan sebuah madrasah khusus transgender menggunakan tabungannya sendiri demi mengajarkan agama untuk komunitasnya.
Menyadur Al Jazeera, Rabu (24/3/2021) Rani Khan mendirikan madrasah transgender pertama di Pakistan menggunakan tabungan hidupnya.
Dengan syal putih panjang di kepalanya, salah satu aktivis trangender tersebut memberikan pelajaran Alquran setiap hari di sekolahnya.
Sekolah ini menjadi tonggak penting bagi komunitas LGBTQ di negara mayoritas Muslim tersebut, di mana para transgender menghadapi pengucilan, meski tidak ada larangan resmi bagi mereka untuk bersekolah di sekolah agama atau beribadah di masjid.
Baca Juga: Setelah 2 Hari Divaksin, PM Pakistan Malah Positif Covid-19, Kok Bisa?
Menahan air mata, Khan ingat bagaimana dia tidak diakui oleh keluarganya pada usia 13 tahun dan dipaksa untuk mengemis.
Pada usia 17 tahun, ia bergabung dengan kelompok transgender, menari di pesta pernikahan dan acara lainnya.
Namun suatu ketika ia memutuskan untuk berhenti ketika seorang teman transgender dan sesama penari memohon padanya untuk melakukan sesuatu untuk komunitas.
Khan kemudian belajar Alquran di rumah dan bersekolah di sekolah-sekolah agama. Akhirnya, ia membuka madrasah dua kelas pada bulan Oktober.
"Saya mengajar Alquran untuk menyenangkan Tuhan, untuk membuat hidup saya di sini dan di akhirat," jelas Khan.
Baca Juga: Dideportasi ke Pakistan, Rasa Takut Membayangi Keluarga Jemaah Ahmadiyah
Khan menjelaskan madrasahnya menawarkan tempat bagi orang-orang transgender untuk beribadah, belajar tentang Islam dan bertobat atas tindakan masa lalunya.
Ia mengatakan sekolah tersebut belum menerima bantuan dari pemerintah, meski beberapa pejabat berjanji akan membantu para siswanya mendapatkan pekerjaan.
Khan juga mengajari siswanya cara menjahit dan menyulam, dengan harapan dapat mengumpulkan dana untuk sekolah dengan menjual pakaian, selain dari sejumlah sumbangan.
Parlemen Pakistan mengakui jenis kelamin ketiga pada tahun 2018, memberikan individu hak-hak dasar seperti kemampuan untuk memilih dan memilih jenis kelamin mereka secara resmi.
Meskipun demikian, komunitas transgender tetap terpinggirkan di Pakistan, dan seringkali terpaksa mereka mengemis, menari, dan terjerumus ke prostitusi untuk mencari nafkah.
Wakil Komisaris Islamabad Hamza Shafqaat mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa madrasah dapat membantu para trangender berasimilasi dengan masyarakat.
"Saya berharap jika Anda meniru model ini di kota lain, semuanya akan membaik," kata Hamza.
Sebuah madrasah untuk transgender telah dibuka di Dhaka, ibu kota Bangladesh, dan tahun lalu, kelompok transgender Kristen memulai gerejanya sendiri di kota pelabuhan selatan Pakistan, Karachi.
Sensus Pakistan 2017 mencatat sekitar 10.000 transgender, meskipun kelompok hak trans mengatakan jumlahnya sekarang bisa lebih dari 300.000 di negara berpenduduk 220 juta itu.
"Hati saya damai ketika saya membaca Alquran," kata siswa sekolah berusia 19 tahun, Simran Khan, yang juga ingin belajar keterampilan hidup.
"Ini jauh lebih baik daripada hidup yang penuh hinaan." ungkapnya.