Suara.com - Juru bicara militer Myanmar, Zaw Min Tun menimpakan kesalahan aksi kekerasan di negaranya pada para demonstran. Menyadur Starits Times Rabu (24/03), hal ini diungkapkan saat jumpa pers di ibu kota Naypyidaw.
Dalam kesempatan itu, ia menyebut 164 korban tewas dalam aksi kekerasan semenjak kudeta militer 1 Februari. Jumlah ini dilaporkan lebih sedikit karena sebenarnya ada lebih dari 260 korban jiwa dalam aksi protes tersebut.
Banyaknya korban jiwa membuat militer Myanmar menuai kecaman dari berbagai pihak. Komunitas internasional juga memberikan sanksi bertubi-tubi atas hal ini.
"Saya sedih karena pelaku kekerasan teroris yang meninggal ini adalah warga negara kita," katanya.
Baca Juga: Sadis! Militer Myanmar Tembak Bocah 7 Tahun yang Sedang Dipangku Ayahnya
Pihak berwenang menggunakan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam untuk membubarkan demonstran yang menolak kudeta. Pakar senior HAM PBB menuduh mereka melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Zaw Min Tun membela tanggapan tersebut dengan mengatakan pasukan keamanan berurusan dengan pemberontak yang memegang senjata. Ia juga menyebut lima polisi dan empat tentara telah tewas.
"Kami harus menindak anarki. Negara mana di dunia yang menerima anarki?" dia berkata.
Selama jumpa pers hari Selasa, dia mengancam wartawan agar tidak berkomunikasi dengan pemerintah paralel yang dibentuk oleh anggota Liga Nasional untuk Demokrasi Suu Kyi.
Jika wartawan melanggar hal ini, militer mengancam akan melakukan tindakan hukum.
Baca Juga: Kudeta Myanmar: Aksi Protes Massa Gagal Raih Solidaritas Global
Dia juga mengatakan bahwa junta tidak berniat memulihkan konektivitas internet penuh di Myanmar dalam waktu dekat di tengah pemotongan yang terus-menerus dan meluas sejak kudeta.
"Orang-orang menggunakan internet seluler untuk memicu tindakan merusak," katanya.