Suara.com - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) akan memulai pembangunan pusat peluncuran roket atau bandar antariksa di Biak, Papua, sebagai langkah awal membangun bandar antariksa internasional. Namun, langkah ini mendapat penolakan dari masyarakat setempat.
Sementara pengamat teknologi dan komunikasi dari ICT Institute berpendapat langkah awal ini baik bagi penelitian antariksa di Indonesia, namun perlu diawali dengan kajian risiko dan penyampaian yang transparan ke masyarakat.
- Elon Musk kirim tim ke Indonesia Januari 2021, Jokowi tawarkan tempat peluncuran roket SpaceX
- Dirancang membawa wisatawan, roket milik pendiri Amazon diluncurkan untuk uji sistem pendaratan manusia di Bulan
Kenapa LAPAN baru sekarang membangun pusat peluncuran roket di Biak?
Kepala Biro Kerja Sama, Hubungan Masyarakat dan Umum, LAPAN, Chris Dewanto, mengatakan rencana pembangunan pusat peluncuran roket di Biak, Papua, bukan pertama kali diwacanakan.
Kata Chris, sejak 1980an, LAPAN sudah memiliki tanah di Desa Saukobye, Distrik Biak Utara seluas 100 hektar yang sudah siap dijadikan pusat peluncuran roket. Rencana ini akan direalisasikan tahun ini karena masuk dalam rencana strategi LAPAN, juga merupakan amanat Undang Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.
Baca Juga: Lapan: Yang Meledak di Langit Banggai Adalah Meteor Kecil
"Diturunkan menjadi rencana induk keantariksaan nasional, kita harus menyiapkan bandar antariksa," kata Chris kepada BBC News Indonesia, Senin (22/3).
Saat ini LAPAN hanya memiliki satu-satunya tempat peluncuran roket di Pantai Cilauteureun Cikelet Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Namun, lokasi ini sudah padat penduduk, "Sehingga tidak memungkinan untuk roket-roket yang lebih besar."
"Oleh karena itu, kita mengembangkan roket sonda, dan nantinya ada roket peluncur satelit ke depannya, kita harus menyiapkan lokasi yang lebih pas, lebih strategis, lebih cocok, lebih sepi, tidak ada penduduknya dan segala macam," kata Chris.
Fasilitas seperti apa yang akan dibangun?
Tahun ini, LAPAN akan memulai pembangunan dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Saat ini tanah yang diklaim milik LAPAN masih berupa hutan produksi yang masih bisa dialih fungsikan.
Targetnya pembangunan ini selesai pada 2023 atau 2024 mendatang.
Baca Juga: Waspada Bulan Maret Ini Jawa Potensi Dilanda Cuaca Ekstrem, Banjir, Longsor
"Kalau di Biak ini (arahnya) langsung ke pantai. Jadi setelah tempat peluncuran sama laut, tidak ada apa-apa. Jadi sudah aman," kata Chris.
Lebih lanjut Chris mengatakan pembangunan infrastruktur di lahan seluas 100 hektar ini "tidak terlalu kompleks". LAPAN hanya mendirikan bangunan permanen yang tidak terlalu banyak, dan perlengkapan yang bisa berpindah tempat.
"Semua pakai mobile system. Jadi tracking-nya pakai mobile. Nanti bentuknya kayak truk membawa container di dalamnya ada komputer-komputer, ada antena," kata Chris.
"Saat ini kita sudah diskusi dengan PUPR, soal sarana dan prasarana infrastruktur, karena nggak mungkin kita mendatangkan roket, tapi tanahnya nggak siap, atau jalannya nggak siap."
Proyek pusat peluncuran untuk roket sonda tingkat dua ini akan dibiayai oleh pemerintah. Peluncuran roket dilakukan 1-2 kali setahun.
Apakah ini bagian dari proyek SpaceX?
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menjajaki Indonesia menjadi tempat investasi dari perusahaan bos perusahaan mobil listrik Tesla, Elon Musk. Salah satunya adalah penawaran terkait dengan pembuatan pusat peluncuran roket.
Juru bicara LAPAN, Chris Dewanto, tak menampik hal ini. Akan tetapi, pihak SpaceX belum tertarik untuk membangun pusat peluncuran roket di Indonesia. "Dia (SpaceX) tidak akan melakukan investasi di bidang peluncuran satelit. (Tapi) mulai membahas soal launch site untuk transportasi manusia dari kota ke kota," katanya.
Apa langkah selanjutnya?
Proyek pembangunan di Biak ini akan menjadi langkah awal untuk menarik investasi pembangunan pusat peluncuran roket internasional.
Disebut Chris, saat ini Turki dan konsorsium dari sejumlah negara sudah tertarik untuk berinvestasi membuat bandar antariksa internasional yang kemungkinan di Biak.
"Itu sedang kita jajaki. Belum ada hal defitinitf di atas kertas, proposalnya belum ada. Baru intensi saja," katanya.
Kenapa sebagian masyarakat Biak menolak?
Koordinator Forum Peduli Kawasa Byak, Maichel Awom, mengklaim rencana pembangunan ini dilakukan secara sepihak. Menurutnya, masyarakat khawatir pembangunan nantinya akan menggusur masyarakat, mengundang konflik horizontal dan merusak lingkungan.
"Karena belum ada kajian-kajian, sosialisasi mengenai dampak dari pembangunan itu," kata Maichel Awom kepada BBC News Indonesia, Senin (22/03).
Penolakan ini bukan pertama kali, tapi sudah dilakukan pada 2006. Sejak lama LAPAN berniat untuk membangun fasiltias peluncuran roket, tapi langkah ini dinilai sebagai "langkah sepihak".
"Sehingga di dalam itu, kalau pemerintah mau bangun ini buka ruang duduk dengan semua masyarakat biak, baik dewan adat, semua komponen, baru kita bicara. Tidak bisa ambil keputusan sepihak," tambah Maichel.
Apa tanggapan LAPAN?
Sejauh ini LAPAN tidak melihat adanya penolakan yang dilandasi alasan yang kuat dari sebagian warga. "Kalau ada penolakan secara politis saya tidak berhak menanggapi itu," kata Chris.
Sejauh ini Chris mengklaim pemerintah daerah sudah setuju pada rencana pembangunan fasilitas peluncuran roket, termasuk DPRD setempat.
Sementara itu, Kepala Balai Kendali Satelit, Pengamatan Antariksa dan. Atmosfer, dan Penginderaan Jauh di Biak, Dian Yudistira mengatakan, pihaknya sudah "sosialisasi sebanyak 3 kali kepada masyarakat."
"Memang ada beberapa kepala keluarga yang belum mendukung, mungkin harus ada pendekatan dari pemda setempat," kata Yudistira.
Seberapa besar risiko keberadaan pusat peluncur roket?
Umumnya, bandar antariksa internasional harus memiliki tempat yang cukup besar. Sebagai gambaran, Pusat Antariksa Tanegashima di Jepang yang memiliki luas 8,64 kilometer persegi.
Pengamat teknologi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan jarak aman pusat peluncuran roket itu ke pemukiman masyarakat sejauh 30 kilometer.
Ia menilai Biak menjadi tempat yang strategis sebagai lokasi pembangunan pusat peluncuran roket. Lokasinya di khatulistiwa yang mempersingkat jarak orbit, juga dekat dengan laut sebagai tempat pembuangan sisa roket.
Akan tetapi, semua itu harus dikaji terkait standar keselamatan bagi lingkungan sekitar, termasuk manusia. Hasil kajian ini, kata dia, perlu disampaikan kepada masyarakat.
- Perangkat luar angkasa Rusia dan China 'tidak jadi tabrakan', tapi bagaimana dengan sampah luar angkasa lainnya?
- Wahana antariksa China mengirim foto berwarna dari Bulan
- Upaya bersih-bersih sampah antariksa di orbit Bumi
"Dibutuhkan satu lingkungan yang memang kosong. Agar ketika sesuatu yang hal yang tidak diinginkan terjadi, ini tidak menimbulkan dampak ke lingkungan, dampak ke manusia," kata Heru kepada BBC News Indonesia, Senin (22/03).
Dampak yang tidak diinginkan itu antara lain ketika roket meledak di darat, atau terjadi persoalan ketika dalam perjalanan menuju angkasa. "Harus dikaji secara mendalam dampaknya seperti apa, kemudian kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bangaimana mengatasinya? Mitigasi seperti apa? Baru menyimpulkan akan di sana," lanjut Heru.