Nawal El Saadawi, Tokoh Feminis yang Berani dan Berbahaya Tutup Usia

SiswantoBBC Suara.Com
Senin, 22 Maret 2021 | 15:18 WIB
Nawal El Saadawi, Tokoh Feminis yang Berani dan Berbahaya Tutup Usia
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nawal El Saadawi, yang meninggal dunia pada usia 89 tahun, mengundang kemarahan sekaligus kekaguman di negara asalnya yang konservatif.

"Mereka bilang, 'Kamu perempuan kurang ajar dan berbahaya.'

"Saya mengatakan kebenaran. Dan kebenaran itu kurang ajar dan berbahaya."

Demikian tulis Nawal El Saadawi, yang meninggal pada usia 89 tahun, menurut laporan media Mesir.

Baca Juga: A Feminist Manifesto: Sebuah Anjuran untuk Menjadi Feminis

Sang dokter, feminis, dan penulis Mesir selama puluhan tahun membagi kisah dan perspektifnya sendiri - dalam novel, esai, otobiografi, dan gelar wicara yang dihadiri banyak orang.

Kejujurannya yang brutal dan dedikasinya yang tak tergoyahkan untuk memperbaiki hak-hak politik dan seksual perempuan menginspirasi berbagai generasi.

Tetapi karena keberaniannya berbicara, dia juga menjadi sasaran kemarahan, ancaman kematian, dan penjara.

"Dia lahir dengan semangat juang," kata Omnia Amin, teman dan penerjemahnya, kepada BBC pada 2020.

"Orang seperti dia jarang."

Baca Juga: Mengapa Patung Ikon Feminis harus Telanjang?

Lahir di sebuah desa di luar Kairo pada tahun 1931, anak kedua dari sembilan bersaudara, El Saadawi menulis novel pertamanya pada usia 13 tahun. Ayahnya adalah seorang pejabat pemerintah, dengan sedikit uang, sedangkan ibunya berasal dari latar belakang kaya.

Keluarganya berusaha menikahkannya pada usia 10 tahun, tetapi ketika dia menolak, ibunya membelanya.

Orang tuanya mendorong pendidikannya, tulis El Saadawi, tetapi dia menyadari sejak usia dini bahwa anak perempuan kurang dihargai daripada anak laki-laki.

Belakangan dia menceritakan bagaimana dia marah-marah ketika neneknya berkata kepadanya, "satu anak laki-laki berharga setidaknya 15 perempuan ... Perempuan adalah hama".

"Dia melihat ada yang salah dan dia bersuara," kata Dr Amin. "Nawal tidak bisa memalingkan dirinya."

Salah satu pengalaman masa kecil yang didokumentasikan El Saadawi dengan begitu jelas sehingga membuat pembacanya tidak nyaman adalah menjadi korban sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM) pada usia enam tahun.

Dalam bukunya, The Hidden Face of Eve (terbit di Indonesia dengan judul 'Perempuan dalam Budaya Patriarki'), dia menceritakan pengalamannya menjalani prosedur yang menyakitkan itu di lantai kamar mandi, sementara ibunya berdiri di sampingnya.

Dia berkampanye menentang sunat perempuan sepanjang hidupnya, dengan alasan bahwa praktik itu adalah alat yang digunakan untuk menindas perempuan.

Sunat perempuan resmi dilarang di Mesir pada tahun 2008, tetapi praktik tersebut masih berlanjut, dan El Saadawi terus mengutuknya.


El Saadawi lulus dengan gelar kedokteran dari Universitas Kairo pada tahun 1955 dan bekerja sebagai dokter, sebelum mengambil spesialisasi di bidang psikiatri.

Dia kemudian menjadi direktur kesehatan masyarakat untuk pemerintah Mesir, tetapi dia dipecat pada tahun 1972 setelah menerbitkan buku non-fiksi, Women and Sex (Perempuan dan Seks), yang mencela sunat perempuan dan penindasan seksual terhadap wanita.

Majalah Health, yang dia dirikan beberapa tahun sebelumnya, ditutup pada tahun 1973.

Namun dia tidak berhenti berbicara dan menulis. Pada tahun 1975, dia menerbitkan Woman at Point Zero (Perempuan di Titik Nol), sebuah novel berdasarkan kisah kehidupan nyata seorang perempuan terpidana mati yang dia temui.

Novel tersebut diikuti pada tahun 1977 oleh Hidden Face of Eve (Perempuan dalam Budaya Patriarki), yang di dalamnya El Saadawi mendokumentasikan pengalamannya sebagai seorang dokter desa yang menyaksikan pelecehan seksual, "pembunuhan demi kehormatan", dan prostitusi.

Buku itu menimbulkan kemarahan. Para pengkritik menuduh El Saadawi memperkuat stereotip perempuan Arab.

Kemudian, pada September 1981, El Saadawi ditangkap sebagai bagian dari penangkapan para pembangkang di bawah pemerintahan Presiden Anwar Sadat dan ditahan di penjara selama tiga bulan.

Di sana dia menulis memoarnya di atas kertas toilet, menggunakan pensil alis yang diselundupkan kepadanya oleh seorang pekerja seks yang juga dipenjara.

"Dia melakukan hal-hal yang tidak berani dilakukan orang, tetapi baginya itu normal saja," kata Dr Amin.

"Dia tidak berniat untuk melanggar aturan, tapi mengatakan kebenaran menurut dirinya."

https://twitter.com/TIME/status/1235545476432191489


Setelah Presiden Sadat dibunuh, El Saadawi dibebaskan. Tapi karyanya disensor dan buku-bukunya dilarang.

Pada tahun-tahun berikutnya, dia menerima ancaman pembunuhan dari kelompok fundamentalis agama, dibawa ke pengadilan, dan akhirnya diasingkan di AS.

Di sana dia terus melancarkan serangan terhadap agama, kolonialisme, dan kemunafikan Barat. Dia mencela jilbab, tetapi juga mengecam riasan wajah dan pakaian terbuka - bahkan membuat kesal sesama feminis.

Ketika presenter BBC Zeinab Badawi menyarankan dalam sebuah wawancara pada tahun 2018 agar dia memperhalus kritiknya, El Saadawi menjawab:

"Tidak. Saya harus lebih blak-blakan, saya harus lebih agresif, karena dunia menjadi lebih agresif, dan kami membutuhkan orang-orang untuk berbicara keras melawan ketidakadilan.

"Saya berbicara dengan keras karena saya marah."

Selain memicu kemarahan, El Saadawi mendapat banyak pengakuan internasional, dengan buku-bukunya diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa.

"Saya tahu orang tidak selalu setuju dengan politiknya, tapi yang paling menginspirasi saya adalah tulisannya, apa yang telah dia capai dan dampaknya bagi perempuan," kata penulis dan penerbit Inggris Kadija Sesay, yang berperan sebagai agennya di London.

"Terutama jika Anda seorang perempuan Afrika, atau perempuan kulit berwarna, Anda akan terpengaruh oleh pekerjaannya."

Dia menerima banyak gelar kehormatan dari universitas di seluruh dunia. Pada tahun 2020, majalah Time menobatkannya sebagai salah satu dari 100 Women of the Year dan mendedikasikan sampul depan untuknya.

Tetapi satu hal tetap berada di luar jangkauan.

"Satu-satunya impian atau harapannya adalah mendapatkan pengakuan dari Mesir," kata Dr. Amin. "Dia bilang dia telah menerima penghargaan di seluruh dunia, tapi tidak pernah mendapat apa pun dari negaranya sendiri."

El Saadawi kembali ke Mesir yang dicintainya pada tahun 1996 dan segera menimbulkan keributan.

Dia mencalonkan diri sebagai calon presiden pada pemilu 2004 dan berada di Lapangan Tahrir Kairo untuk pemberontakan tahun 2011 melawan Presiden Hosni Mubarak.

Dia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di Kairo, dekat dengan putra dan putrinya. Saat surat kabar Mesir melaporkan kematiannya, pesan sederhana (dalam bahasa Arab) "Nawal Al-Saadawi ........ selamat tinggal" muncul di halaman Facebook-nya.

"Dia telah melalui banyak hal," kata Dr Amin. "Dia telah mempengaruhi generasi.

"Generasi muda mencari panutan. Dia hadir."

Kadija Sesay mengingat sang penulis atas kesediaannya untuk mendengarkan cerita perempuan lain dan berbicara kepada mereka tentang pengalaman berat mereka.

"Saya tidak mengenal banyak orang, terutama ketika mereka begitu terkenal, yang memberi," katanya.

"Tapi dia tidak ingin menjadi pahlawan siapa pun - dia akan berkata, 'Jadilah pahlawanmu sendiri'."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI