Suara.com - Debt collector di Indonesia pernah menjadi sorotan tajam ketika terjadi kasus kematian seorang nasabah perusahaan pembiayaan pada Maret 2011. Muncul beberapa versi penyebab kematian sang nasabah kala itu: dia punya riwayat hipertensi dan karena dianiaya.
Belum selesai polemik penyebab kematian nasabah tersebut, sebulan kemudian terjadi kasus yang baru: seorang debt collector meninggal dunia secara mengenaskan di sebuah rumah sakit di Jakarta. Sebelum itu, dia diculik oleh nasabah bermasalah.
Tak berhenti di situ, kasus debt collector menjadi korban keganasan massa beberapa kali terjadi di sejumlah daerah.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa menjadi juru tagih utang nasabah bermasalah, memiliki risiko besar. Hanya orang-orang yang tabah yang sanggup menjalaninya. Mereka mesti siap menghadapi segala macam ancaman, dari orang-orang suruhan nasabah bermasalah sampai proses hukum jika terjadi sesuatu hal di lapangan.
Baca Juga: Kisah Penjaga Lahan Sengketa: Tak Cuma Modal Berani, Tapi Juga Kecerdikan
Debt collector profesional selalu menaati rambu-rambu agar tak terjadi sesuatu hal yang merugikan bersama.
DEBRO sedang bersiap-siap berangkat ke rumah bosnya ketika saya hubungi melalui telepon siang hari itu. Dia tak keberatan menerima wawancara ini dan dia menyatakan akan menunda dulu keberangkatan.
Debro -- bukan nama sebenarnya demi melindungi keamanan -- menjadi debt collector tak lama setelah selesai kuliah di salah satu universitas di Jakarta. Kalau dihitung-hitung, sampai sekarang sudah belasan tahun menjalani pekerjaan di sektor jasa penagihan utang.
Seperti pada umumnya debt collector, pekerjaan ini sebenarnya bukan yang paling dicita-citakan pemuda asal Indonesia Timur itu. Dia memasuki dunia juru tagih utang pada waktu itu karena pekerjaan inilah yang ada di depan mata.
Pertama-tama, dia mendapat surat kuasa dari sebuah perusahaan leasing mobil untuk menagih nasabah-nasabah yang tidak patuh untuk membayar angsuran tepat pada waktunya.
Baca Juga: Panas, Aksi Debt Collector Coba Menyita Mobil Datsun Ini Bikin Tepuk Jidat
Dari situ kemudian dia malang melintang di berbagai perusahaan.
Risiko menemui nasabah
Beberapa risiko yang biasanya dijumpai debt collector di lapangan, di antaranya mengalami penolakan nasabah, dimaki-maki, bahkan dikepung orang-orang suruhan nasabah bermasalah.
Para debt collector pada umumnya sudah siap dengan reaksi semacam itu karena mereka sadar betul orang-orang yang mereka hadapi memiliki masalah serius dengan keuangan, dan karena itu mereka memiliki kecenderungan ingin berkelit dari kewajiban melunasi utang.
Pengalaman dikepung massa pernah dialami Debro dan kawan-kawannya. Suatu kali, mereka pernah mendatangi rumah seorang nasabah yang belakangan ternyata tokoh setempat dan masih bersaudara dengan lurah.
Warga kampung dengan cepat dapat dikumpulkan di sekitar rumah nasabah tadi karena mereka mendapat isu yang menyebutkan kelompok Debro datang untuk mengganggu ketertiban dan mengancam keselamatan.
“Jadi kita dianggap mau mengganggu yang didatangi. Atau melakukan tindakan yang keras atau mengancam keselamatan. Debt collector dianggap kejam, beringas,” kata Debro.
“Kita sempat khawatir juga. Kan kita berada di lingkungan yang bukan lingkungan kita.”
Dalam menghadapi situasi yang demikian panas, debt collector tidak boleh terpancing dengan ikut-ikutan panas. Sikap yang ditunjukkan harus sebaliknya demi menghindari bentrok fisik.
Kepada warga, Debro dan kawan-kawannya menjelaskan posisi mereka, terutama tujuan kedatangan ke rumah nasabah. Walaupun sulit memberikan pengertian kepada warga yang sedang meledak-ledak, akhirnya kekerasan bisa dihindarkan.
“Respons kita, kita coba luruskan. Kita lakukan ini karena tugas, karena pekerjaan. Bukan untuk ancam bukan untuk teror. Kita nagih kewajiban yang nggak dipenuhi sama orang yang kita datangi sesuai SK itu, akhirnya dengan penjelasan itu agak sedikit mengerti,” kata Debro.
Debro dan kawan-kawannya hari itu berhasil keluar dari kampung. Perkembangan selanjutnya, penagihan dilakukan dari luar wilayah tersebut.
“Akhirnya bisa ditarik mobil yang jadi sengketa antara leasing sama nasabah itu,” kata Debro.
Menurut cerita Debro, penagihan utang menggunakan jasa debt collector atau eksternal collector biasanya setelah tiga bulan jatuh tempo, sebelum masa itu umumnya penagihan masih ditangani sendiri oleh internal perusahaan.
Syarat menjadi debt collector
Umumnya, tidak ada persyaratan khusus untuk bergabung menjadi debt collector.
Dari pengalaman Debro, yang terpenting sejak awal mereka harus siap berhadapan dengan keadaan apapun di lapangan.
Persiapan mental amat dibutuhkan. Di lapangan, mereka berhadapan dengan berbagai macam karakter nasabah. Ada nasabah yang kooperatif, tetapi banyak pula yang tidak kooperatif: memiliki kecenderungan menolak untuk memenuhi komitmen pembayaran.
“Karena kita mendatangi orang-orang yang kebanyakan bermasalah dari segi kewajiban pembayaran, entah kredit, entah apa, kebanyakan bermasalah,” kata Debro.
“Syarat pendidikan atau fisik nggak ada. Modal mental (salah satu yang paling utama) kalau jadi debt collector.”
Kemampuan lain yang mesti dimiliki adalah bernegosiasi dan berargumentasi dengan nasabah. Tetapi biasanya keterampilan ini lambat laun akan terbentuk dengan sendirinya seiring dengan pengalaman yang dijumpai di lapangan.
“Kebanyakan nasabah pintar berdalih. Licin juga,” katanya.
Jika nasabah terus menerus berkelit, terkadang mereka terpaksa menggunakan strategi tekanan psikologis. Misalnya, debt collector bilang kepada nasabah tersebut jika tetap tidak mau memenuhi kewajiban sesuai komitmen, akan dibawa ke ranah hukum.
Ada yang resmi dan tak resmi
Otoritas Jasa Keuangan mengizinkan perusahaan pembiayaan bekerjasama dengan pihak ketiga untuk mengurus penagihan, tetapi dengan persyaratan yang ketat.
Syaratnya, di antaranya pihak ketiga mesti memiliki badan hukum, mempunyai izin dari instansi berwenang serta SDMnya telah tersertifikasi.
Tetapi semenjak muncul pandemi Covid-19, penggunaan jasa debt collector tidak diizinkan, terutama untuk sejumlah bidang yang diberikan keringanan penangguhan pembayaran kredit: pekerja sektor informasi, UMKM, ojek daring sampai penerima KUR.
Dari pengalaman Debro, debt collector yang tidak resmi (tidak tersertifikasi) akan menemui kesulitan dalam menjalankan kewajiban mereka.
Debt collector legal selalu dibekali dengan kartu identitas dan dokumen-dokumen penunjang yang dikeluarkan oleh instansi berbadan hukum.
“Jadi ketika dia menagih, orang yang ditagih tahu, tahu namanya siapa, dari PT mana. Dan kalau nanti ada pelanggaran hukum (dalam proses menagih) bisa cepat ditindak orang (debt collector) yang nakal itu,” kata Debro.
Di lapangan, menurut cerita Debro, ada kalanya terjadi praktik penggunaan jasa penagih utang ilegal dan karena dalam menjalankan tugas dengan cara yang “sembarangan,” nama baik debt collector resmi menjadi ikut tercemar.
Pengguna juru tagih utang, selain perusahaan pembiayaan leasing, juga pengusaha-pengusaha yang ingin menyelesaikan tagihan. “Misalnya ada kerjasama antar perusahaan, terus perusahaan yang satunya tidak memenuhi kewajiban untuk pembayaran, lalu pakai jasa kita.”
Persiapan menagih utang dan respons nasabah
Berbagai persiapan dilakukan sebelum mereka mendatangi rumah atau tempat usaha nasabah bermasalah.
Mulai dari surat kuasa, menghubungi nasabah untuk janjian hingga pemberitahuan kepada RT/RW tempat domisili nasabah.
Kebanyakan nasabah yang akan didatangi debt collector, sulit dihubungi. Sebagian tidak mengaktifkan nomor telepon yang tercantum dalam surat kuasa. Ada juga yang sudah pindah rumah atau alamat rumah tak sesuai yang tercantum dalam surat yang dibawa debt collector.
Tapi debt collector tidak pernah kehilangan akal. Mereka akan melacak keberadaan nasabah tersebut dengan berbagai cara.
Pemberitahuan mengenai maksud dan tujuan datang ke rumah nasabah ke RT/RW setempat penting dilakukan agar kedatangan debt collector nanti tidak dianggap sebagai gangguan warga dan menimbulkan konflik.
“Sebelum masuk ke wilayah tersebut, kita koordinasi dengan RT/RW untuk menjelaskan duduk masalahnya, misalnya orang itu (nasabah) bermasalah dengan pembayaran ini itu.”
“Jadi warga lingkungan mengetahui. Kalau terjadi hal-hal yang bagaimana gitu, lingkungan sudah tahu. Itu selalu kita lakukan.”
Ketika mendatangi nasabah atau debitur bermasalah, bisa satu orang atau beberapa orang debt collector yang turun: tergantung situasi dan kondisi.
Kebiasaan nasabah saat ditagih
Kebanyakan nasabah bermasalah akan berkelit ketika ditagih debt collector agar segera melunasi utang mereka.
Alasan nasabah yang biasa dipakai untuk berkilah, misalnya saat ditagih sedang tidak memiliki uang, janji akan membayar utang beberapa hari lagi, atau bisnis sedang mengalami kebangkrutan.
Alasan-alasan seperti itu biasanya tak lekas dipercaya debt collector.
“Tapi kita lihat keadaan situasi kondisi rumahnya juga, kita lihat. Kalau misalkan kita lihat dari kondisi rumahnya yang kita yakini masih bisa bayar, kita tekan suruh bayar hari itu juga.”
Sebelum mendatangi rumah nasabah bermasalah, biasanya debt collector melakukan survei lokasi terlebih dahulu dan sekaligus menghimpun keterangan mengenai profil nasabah dari lingkungan sekitar.
Langkah tersebut amat penting dilakukan dengan tujuan, antara lain agar tidak mudah teperdaya alasan yang akan dikatakan nasabah pada waktu pertemuan.
“Yang membuat kita nggak percaya, keterangan yang kita dengar dari dia berbeda dengan keadaan. Contohnya, dia bilang udah nggak pekerjaan lagi, padahal sebetulnya masih kerja. Usaha bangkrut, tapi dari info lingkungan ternyata usaha masih jalan. Intinya dia mau beralasan.”
Lamanya proses penagihan di tempat nasabah tidak bisa ditentukan: bisa lama, bisa cepat, tergantung penilaian debt collector terhadap nasabah.
Setelah terjadi pembicaraan dengan nasabah, penagih utang pada umumnya dapat langsung menimbang, apakah yang bersangkutan akan memenuhi komitmen pembayaran utang atau tidak pada saat itu.
Jika nasabah diyakini tidak akan bisa membayar hari itu juga, langkah yang diambil biasanya akan diminta membuat pernyataan secara tertulis mengenai kapan pembayaran akan dilaksanakan.
“Kita lihat orang ini, misal sudah kita tekan bagaimanapun (sepertinya) nggak akan bisa bayar hari itu, jatuhnya kita tekan dia di komitmen berapa lama mau bayar, pakai surat pernyataan. Kita kasih waktu sampai berapa lama dia lakukan pembayaran.”
“Kalau mobilnya ada di situ (di tempat tinggal nasabah), langsung kita bawa. Tapi biasanya sih unitnya sudah nggak ada sama dia, bisa disembunyikan.”
Menghadapi nasabah
Ketika menghadapi kedatangan debt collector untuk menjalankan tugas dari perusahaan pembiayaan atau pengusaha yang jadi korban pelanggaran komitmen, rata-rata nasabah menggunakan logika yang terbalik.
“Kebanyakan merasa jadi korban, padahal sebetulnya mereka bukan korban. Mereka pelaku pelanggaran komitmen perjanjian keuangan.”
“Kalau mereka nggak melanggar komitmen perjanjian, ya kita nngak akan (ditugaskan) datang ke dia. Mereka pelaku, bukan korban. Kita datang untuk menagih hak atas kewajiban yang dia nggak penuhi.”
Menghadapi nasabah atau debitur licin, banyak strategi yang digunakan, di antaranya sudah disinggung di atas.
Strategi lainnya, kata Debro, dengan “mengintimidasi secara halus.” Debro menyebut intimidasi secara halus, karena tidak dilakukan dengan memelototkan mata atau menggemeretakkan gigi.
Strategi intimidasi secara halus di depan nasabah licin atau selalu berusaha berkelit, misalnya dengan cara membuka profil yang bersangkutan. Cara mendapatkan profil nasabah seperti yang sudah dijelaskan tadi, di antaranya dengan menghimpun dari lingkungan sekitar rumah atau lingkaran nasabah.
“Saya tahu kantor anda, saya tahu anda di sini atau di mana,” kata Debro menyontohkan kalimat intimidatif seraya menjelaskan, yang intinya bertujuan untuk membuat nasabah bermasalah itu tidak berdalih terus.
Semakin banyak profil tentang nasabah diceritakan di hadapannya, biasanya lama-lama mental mereka akan ciut.
Debt collector rata-rata tabah menggunakan strategi menekan secara psikologis semacam itu.
“Karena kita tahu dia lagi bersandiwara ya kita justru malah tidak kasihan. Jadi kelucuan. Dia melakukan itu kan supaya kita merasa iba. Tapi, justru kita lihat itu lucu.”
“Karena bagaimanapun, sebelum kita datang dia sudah menikmati apa yang dia dapat dari komitmen itu. Tapi ketika dia harus melakukan kewajiban (pembayaran), dia tidak bayar dan ketika ditagih malah bersandiwara. Itu lucu bagi kita.”
“Apalagi kalau logikanya dibalik, dia merasa jadi korban, itu nggak masuk diakal. Pinjam uang atau kredit mobil tidak dibayar, kewajiban tidak dipenuhi. Kita datangi.”
Tapi pernah juga ada pengalaman debt collector gagal menjalankan misi penagihan utang.
Nasabah bermasalah yang mereka hadapi ternyata orang penting di sebuah lembaga.
“Kita sampai dapat ancaman, sampai senjata api dikeluarin pernah.”
Sama seperti ketika menghadapi massa, menghadapi nasabah yang menggunakan kekuasaan dan senjata harus dengan ketenangan.
“Kita berusaha tenang. Jangan sampai membuat dia tambah emosi, itu situasi akan kacau lagi. Kita coba berdiplomasi. Endingnya, nggak ada pembayaran apa-apa.”
Yang dilakukan debt collector kemudian adalah membuat laporan ke perusahaan pengguna jasa kalau telah terjadi permasalahan.
Belakangan, nasabah tersebut ternyata tidak hanya bermasalah dengan satu pihak, tetapi beberapa pihak karena yang pernah menagih utang kepadanya bukan hanya satu kelompok debt collector.
“Waktu itu yang datang bukan beta saja. Ternyata beberapa debt collector. Beliau banyak bermasalah juga ternyata dalam pembayaran. Banyak yang tagih beliau.”
Akhirnya, nasabah tersebut dilaporkan ke bagian kedisiplinan tempat dia bertugas bahwa dia telah melakukan pengancaman, selain itu dilaporkan juga bahwa dia memiliki masalah dengan pembayaran utang.
Ada banyak sekali cara nasabah bermasalah untuk berkelit.
Ada nasabah yang menggunakan ancaman seperti kasus orang penting tadi, ada juga yang berpura-pura kesurupan, ada yang berpura-pura depresi yang tujuannya membuat misi penagihan utang gagal.
Ada pula nasabah yang dengan sengaja berusaha memancing emosi debt collector supaya lepas kontrol sehingga bisa dilaporkan ke polisi.
Misalnya, pengalaman Debro dengan salah satu nasabah. Debro didorong-dorong supaya dia memukul nasabah. Dia menekankan pentingnya self control ketika berhadapan dengan nasabah bermasalah.
“Kita dipancing supaya bertindak fisik supaya misi kita gagal. Kita akan salah kalau sampai kepancing. Jadi, segala bentuk pancingan yang tujuannya untuk membuat kita bereaksi, harus kita kontrol. Jangan sampai kita ikut permainan dia.”
“Kita sangat hindari mengumbar emosi, karena kita sudah jauh-jauh temui nasabah, kalau kepancing permainan dia malah bisa kenapa pasal hukum. Dia bisa lapor polisi dan kita kena pasal. Sudah nggak dapat uang, malah dapat laporan.”
“Jangankan kita sentuh debitur, makian atau ucapan keras saja kita sudah bisa kena itu.”
Jika terjadi kesalahan perilaku di lapangan, tak hanya merugikan debt collector itu sendiri, melainkan juga perusahaan.
Debt collector memilikir rambu-rambu yang telah disepakati bersama perusahaan, dalam menjalankan tugas
“Perusahaan kan juga nggak mau namanya jelek dengan kelakuan kita di lapangan. Kalau kita jelek di lapangan bisa dilaporkan. Kita rugi, misi gagal, kena kasus hukum.”
Ada lagi cara lain lagi yang kadang dilakukan nasabah bermasalah untuk berkelit ketika ditagih utangnya.
Pernah kejadian seorang ibu muda demi membuat debt collector tidak nagih-nagih utang terus, dia menjual sensualitas untuk meluluhkan hati mereka.
“Dia berpakaian super seksi. Pakai simbol-simbol seksualitasnya supaya kita terpengaruh dan tidak terlalu tekan dia,” kata Debro.
Menurut pengalaman Debro, kasus semacam itu banyak kejadian. Sikap debt collector berbeda-beda ketika menghadapi godaan nasabah genit.
Ada yang memiliki prinsip bahwa profesionalitas tetap nomor satu, seperti yang dipegang Debro selama belasan tahun menekuni pekerjaan debt collector.
“Karena tujuan kita cari uang, bagaimanapun dia (nasabah_ mau pengaruhi kita lewat simbol seksualitas, kita tetap fokus,” katanya.
Tak semua debt collector kuat, sebagian lagi memiliki iman yang lemah sehingga tergoda dan konsekuensinya, mereka tidak dapat bekerja secara profesional lagi.
“Tapi kebanyakan kepengaruh. Itu banyak terjadi di lapangan. Ya sudah akhirnya mereka (debt collector dan nasabah genit) buat komitmen. Akhirnya tugas nagih nggak dilakukan karena mereka menjalin hubungan,” katanya.
“Kalau bicaranya sudah unsur kayak begitu. Kalau sudah teratarik ya secara psikologi beda lagi, nggak bisa profesional kerja. Itu sudah selesai, tutup buku sudah.”
Kantor tempat debt collector bekerja akan mengetahui jika terjadi kejadian-kejadian melenceng dari jalur dan tim penagihan akan digantikan oleh tim yang lain. “Tapi debt collector yang pertama back up biasanya.”
Pandangan negatif
Debro tak terusik oleh pandangan miring sebagian masyarakat terhadap keberadaan debt collector.
“Biasa saja, yang penting kita jalanin pekerjaan dengan betul saja. Apapun kita jalani dengan lurus.”
Kepada nasabah disarankan untuk memegang komitmen pembayaran supaya tidak didatangi juru tagih utang.
Debt collector akan datang berapa kali pun dan dengan berbagai strategi, sampai misi penagihan utang membuahkan hasil positif.
“Bisa lima kali atau enam kali, kita akan datangi terus sampai misi berhasil. Bahkan bisa ditongkrongin juga depan rumahnya, untuk nongkrongin ini kita biasanya tetap memberikan pemberitahuan ke lingkungan sekitar dulu sebelumnya supaya tidak terjadi kesalahpahaman dengan warga,” kata Debro.