Suara.com - Para penyandang down syndrome seringkali disebut akan selalu tergantung pada orang tua atau orang dekatnya di sepanjang hidupnya. Tetapi sejumlah anak dan remaja penyandang down syndrome mampu berprestasi di bidang yang ditekuninya.
Namun muncul pertanyaan berikutnya: bagaimana orang-orang dengan down syndrome — kelainan kromosom yang dampak utamanya adalah keterlambatan pertumbuhan fisik dan mental — dapat disebut mandiri ketika mereka memasuki usia dewasa?
Haruskah mereka dituntut bekerja, menikah, dan memiliki nafkah sebagai bagian dari kemandirian?
Di dunia saat ini diperkirakan ada 3.000-5.000 anak terlahir sebagai penyandang down syndrome tiap tahun. Sementara di Indonesia diperkirakan ada sekitar 300.000 orang penyandang down syndrome.
Baca Juga: Kelainan Kromosom Jadi Penyebab Paling Umum Keguguran di Trimester Pertama
Melalui kesaksian kedua orang tuanya, BBC Indonesia menampilkan Aswin Nugroho dan Namira Zania Siregar, dua sosok dewasa muda penyandang down syndrome, bertepatan peringatan Hari Down Syndrome Internasional,
Aswin Nugroho, 29 tahun, bisnis kue kering
Herawati Kartawinata, ibunda Aswin membuka percakapan siang itu dengan kalimat ini, "Anak saya sudah hampir usia 30 tahun dan saya sudah 70-an. Saya sekarang single parent, karena suami saya baru meninggal 40 hari lalu. Saya sempat syok karena sekarang saya harus mendidik anak saya sendiri," kata Herawati.
Namun ibu dari tiga anak ini tak menunjukkan kesedihannya. Tak ada air mata yang tumpah.
Ia melanjutkan penuturannya lalu mengatakan, "Jangan berkecil hati, asal kita sabar kita pasti bisa. Selalu ada tangan Tuhan yang membantu."
Sejak kecil, Aswin telah dididik untuk bisa mandiri sesuai tahapan usianya. Demikian cerita ibunya. Meski awalnya Herawati tak mengerti tentang makna down syndrome yang disandang putranya.
Baca Juga: Haru Banget, Kakak dan Adik Nyanyi Bareng di Hari Down Syndrome Sedunia
"Ah, tidak apa-apa, saya pikir. Waktu itu [saat melahirkan Aswin] saya tak seberapa mengerti. Saya pikir, ya oke, paling butuh waktu lama. Masih berpengharapan suatu saat nanti Aswin bisa seperti anak-anak pada umumnya," tutur Herawati.
Namun waktu bergulir dan kenyataan tak seperti yang dipikirkannya. Dengan bertambahnya pengetahuan, Herawati lalu tahu apa yang dialami anaknya. Penuh tekad, ia akhirnya mulai memikirkan bagaimana mendidik Aswin agar mandiri.
Herawati menjelaskan, "Dulu saya pikir dia harus baca tulis, saya masukkan ia ke tempat pelatihan anak-anak autis dan pada usia sembilan tahun, Aswin bisa baca tulis. Itu mempengaruhi perkembangannya.
Lalu dia harus sehat, saya ikutkan kursus berenang dan dia bisa masuk Soina (Special Olympics Indonesia) ikut tim renang."
Olahraga yang akhirnya menjadi hobi Aswin bahkan menghantarkannya pada prestasi internasional, salah satunya di Special Olympics (olimpiade tunagrahita) Athena 2011.
Aswin juga mengikuti les piano sejak 20 tahun lalu. Menurut Herawati, bermain musik akan membantu stimulasi otak penyandang down syndrome.
Kini menjelang ulang tahunnya yang ke-30, Aswin juga memiliki usaha kue kering. Usaha yang berawal dari perkataan orang tentang Aswin yang disebut tak akan bisa cari duit yang membuat Herawati berpikir.
https://www.instagram.com/p/CEQu308DTuI/
Ia lalu mencarikan Aswin dan dua orang temannya guru les masak. Pencarian yang tak mudah, sejumlah guru les masak menolak dengan alasan 'susah mengajari' remaja spesial itu.
Akhirnya didapatlah guru yang bersedia walau beda kota. Guru itu mondar-mandir dari tempatnya di Mojokerto ke Surabaya, kota tempat tinggal Aswin.
Kini dua tahun Aswin telah melakoni aktivitasnya, yang antara lain ditandai upaya pemasaran dari mulut ke mulut. Kastengels dan kue kacang jadi dua menu yang paling banyak terjual.
"Dia kan tidak bisa lakukan pekerjaan lain, kan susah. Bikinnya kue kering sehingga tidak kejar-kejaran waktu untuk menjualnya," jelas Hera.
Selama pandemi, penjualan kue sempat terhenti, yang membuat Hera khawatir Aswin akan lupa caranya.
Sang ibu bahkan sempat terpikir untuk mendorong Aswin tetap membuat kue kering, kalau perlu diberikan saja pada orang dan tak dijual, yang penting anaknya tetap ingat dan terbiasa.
Selayaknya pemuda pada usianya, Aswin juga beberapa kali suka terhadap lawan jenis.
"Dia tak bicara tapi tingkah polahnya jelas. Biasanya dia langsung dekati perempuan yang dia suka. Kalau laki-laki lain tak berani, anak saya berani karena dia tak paham konsep malu. Ya, bagaimana. Biasanya Aswin suka yang rambut panjang," cerita Herawati sambil tertawa.
Namun suara Herawati berubah serius ketika bicara soal kemungkinan putranya menikah.
"Saya tidak punya pikiran untuk dia nikah, karena kan tanggung jawabnya tidak ada, karena ini anak orang lho. Mungkin Aswin ada pikiran 'orang lain menikah tapi saya kok tidak ya', tapi sampai sekarang tak pernah kami seriusi," jelas Hera.
Di penghujung wawancara, Herawati yang tahun ini genap berusia 71 tahun menyampaikan, "Harapan saya, saya bisa tetap sehat untuk Aswin dan kalau nanti saya meninggal, Aswin bisa mandiri dan tidak merepotkan kakak-kakaknya."
Namira Zania Siregar, 23 tahun, model dan dancer
Namira terlihat beberapa kali membenahi rambut saat ibunya tengah berbagi cerita dalam acara daring peringatan Hari Down Syndrome Internasional hari itu.
Namira yang hadir bermake up memiliki talenta di bidang tari dan modeling, demikian menurut ibunya.
"Memasuki usia remaja, saya coba lihat di mana talentanya. Saya menemukannya pada tari dan model. Alhamdulillah ada sekolah tari khusus untuk anak down syndrome sehingga bakat Namira makin terasah," tutur Nini Andrini, ibunda Namira.
Sejak taman kanak-kanak sebetulnya Namira suka ikut lomba-lomba model, tapi Nini baru tersadar akan bakat menari putrinya beberapa tahun kemudian.
"Waktu itu kalau tidak salah Namira kelas 6 SD dan ada acara pentas di sekolahnya. Namira waktu itu baru masuk selama seminggu, tapi dia minta tampil menari. Saya sempat larang karena saya pikir dia belum latihan. Tapi saat tampil, dia bisa hafal satu lagu beserta semua gayanya," cerita Nini.
Usut punya usut, ternyata Namira suka mempelajari gerakan tari dan dance dari youtube. Sejak itulah, Nini mencarikan sekolah tari yang bisa menerima anak berkebutuhan khusus dan bisa mengarahkan putrinya untuk jadi penari profesional.
Tahun 2013, Namira memulai dunia barunya.
"Sekarang sudah memasuki tahun ke-8 dan kepercayaan dirinya makin meningkat karena dia sering diajak tampil. Dia sudah dibayar dan punya penghasilan. Bahkan sekarang dia dipercaya jadi asisten guru tari untuk kelas anak-anak kerkebutuhan khusus," tutur Nini.
Sedangkan di dunia modeling, debut perdana Namira adalah saat ia terpilih mewakili anak down syndrome di gelaran Jakarta Fashion Week 2018
"Harapan saya terhadap Namira sudah melebihi dari harapan. Dulu saya hanya ingin dia jadi anak down syndrome mandiri. Tapi ketika kemudian dia menjadi seperti ini, saya anggap ini adalah bonus dari Tuhan buat Namira dan saya," kata Nini.
Namun semua itu bukan tanpa perjuangan.
"Tidak usah bicara soal perasaan. Dari mereka lahir pasti ada penolakan. Sebuah perjalanan panjang yang penuh air mata dan ujian kesabaran. Bahkan ada keraguan, kelak anak kita bisa jadi apa," kata Nini.
Beberapa penolakan akan putrinya terpatri dalam ingatan Nini, misalnya saat Namira duduk di bangku taman kanak-kanak (TK). Namira sempat dirundung teman-temannya, disebut gila sampai ia tak mau sekolah.
"Aku kan nggak gila, Bunda," tutur Nini menirukan putrinya saat itu.
Momen lain yang membekas, ketika Nini mengajak Namira ke tempat bermain games di pusat perbelanjaan.
" Ada seorang perempuan yang tengah hamil melihat Namira lalu mengelus perutnya sambil bilang 'amit-amit'. Tapi kita kan tak bisa marah. Orang memandang sebelah mata seperti itu.
Saya jadi bertekad untuk mengajari anak saya mandiri. Kalau saya dipanggil Tuhan lebih dulu... bagaimana," kata Nini.
Titik penting lain yang dirasakan Nini dalam membesarkan dan mendidik Namira, ketika putrinya memasuki usia puber.
"Tuhan tetap kasih Namira rasa sayang, rasa cinta, dan keinginan berpacaran. Saya khawatir rasa suka dia dan kepolosannya dimanfaatkan orang yang tidak baik.
"Anak down syndrome kan polos, cenderung melihat semua orang baik. Itu, saya sangat sulit ngejagainnya. Namira itu punya beberapa akun media sosial dan dia menggunakan password untuk telepon genggamnya. Suatu waktu terbuka, saya menemukan ada percakapan dia dengan lelaki yang kita bisa bilang kurang baik," cerita Nini.
https://www.instagram.com/p/CLZjTPQD8nN/
Atas saran psikolog, Nini akhirnya lebih banyak mengajak Namira bicara ketimbang bersikap keras.
Sekarang kalau Namira bertanya akankan dia mendapatkan jodoh nantinya, Nini menjawab," Semua diciptakan berpasangan, kalau Namira salat, berdoa sama Allah untuk minta jodoh yang baik."
Dari pengalamannya Nini menyimpulkan orang tua lah yang berperan banyak bagi kemandirian anak down syndrome. Jika ada terapis, itu hanya berlangsung beberapa jam sehari. Sedangkan anak bersama orang tuanya 24 jam sehari tanpa putus.
"Jadi terus semangat untuk melatih anak-anak kita. Suatu saat mereka pasti akan jadi orang hebat dan kita akan bangga. Ketika mereka diberi kesempatan dan dipercaya, mereka bisa melakukan itu semua. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan," pungkasnya.
Cerita ketiga orang dewasa muda penyandang down syndrome ini merupakan bagian dari acara peringatan hari down syndrome internasional yang digelar Komunitas Peduli Down Syndrome (KPDS) pada Sabtu (20/03).
Acara dikemas dalam bentuk kelas memasak bersama melalui pertemuan daring sebagai bagian dari cara untuk membekali para penyandang down syndrome dengan ketrampilan yang bisa mereka manfaatkan untuk masa depan.
Menu yang dipilih pun sengaja menu yang unik tapi berbahan sederhana dan mudah dibuat: Loukoumades, donat tanpa ulen. Harapannya menu tak biasa ini bisa berdaya jual bila penyandang down syndrome mau menekuninya.
Acara memasak ini sebetulnya rutin pula digelar KPDS bergandengan dengan sebuah perusahaan alat memasak selama beberapa tahun terakhir. Di baliknya ada makna tersendiri. "Down syndrome itu sejajar dan kuncinya anak down syndrome itu harus mandiri."
"Demikian tujuan aktivitas memasak ini, agar anak-anak mandiri sekaligus membangun kepedulian serta pengertian masyarakat sehingga penyandang down syndrome diperlakukan sejajar," kata Yennie Kusuma, vice director dari perusahaan tersebut.
Puluhan remaja dan anak bersama keluarga mereka ikut serta dalam acara. Mereka berasal dari berbagai kota di Indonesia.
Ketua KPDS, Maria Yustina, yang juga membesarkan seorang putri down syndrome, Stephanie Handojo, mengatakan, "Tugas orang tualah untuk menyiapkan anaknya. Pendampingan dari kecillah yang menentukan kemandirian.
"Ketika mereka berprestasi, punya ketrampilan, bahkan punya usaha... itu sebetulnya bukan untuk ambisi, tapi penting untuk diri mereka sendiri. Mereka akan merasa bangga dan lebih dihargai."