Suara.com - Sekelompok negara maju - termasuk Inggris - memblokir proposal untuk membantu negara-negara berkembang dalam meningkatkan kemampuan membuat vaksin, demikian ungkap bocoran dokumen di tayangan BBC Newsnight.
Sejumlah negara berkembang sebelumnya telah meminta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk membantu mereka terkait gagasan itu.
Namun negara-negara maju malah menolak sejumlah ketentuan di dalam hukum internasional yang bisa membantu negara-negara berkembang mewujudkannya.
Ini menurut salinan bocoran naskah perundingan resolusi WHO terkait isu tersebut.
Baca Juga: Jangkar Batu Usia 2.000 Tahun Ditemukan, Kemungkinan Sisa Pelabuhan Romawi
- Vaksin Covid-19: Bagaimana program vaksinasi Indonesia dan seperti apa perbandingannya dengan negara-negara lain?
- Vaksinasi Covid-19: Bagaimana pastikan penerima di tahap pertama benar-benar tenaga kesehatan?
- Polisi bongkar 'jaringan pemalsu vaksin', seberapa besar masalah vaksin palsu?
Di antara kelompok negara maju itu adalah Inggris, AS, dan yang tergabung dalam Uni Eropa.
"Kita bisa saja bersepakat untuk mempermudah negara-negara memproduksi lebih banyak vaksin dan obat di dalam negeri, termasuk inisiatif yang akan membiayai dan memfasilitasinya.
"Inggris dalam posisi yang menentang hal itu dengan berupaya menyingkirkan ide-ide progresif di dalam teks tersebut," kata Diarmaid McDonald dari Just Treatment, yaitu kelompok yang mendukung akses yang berkeadilan untuk obat-obatan.
Seorang juru bicara pemerintah Inggris mengatakan bahwa "pandemi global membutuhkan solusi global pula dan Inggris tengah memimpin upaya itu, untuk memastikan akses yang adil di seluruh dunia dalam mendapatkan vaksin dan perawatan Covid-19."
Juru bicara yang tidak disebutkan namanya itu juga menegaskan bahwa Inggris adalah salah satu donatur terbesar dalam upaya internasional untuk memastikan bahwa lebih dari satu miliar dosis vaksin virus corona dikirim ke negara-negara berkembang tahun ini.
Baca Juga: Mengenal CVST, Pembekuan Darah Langka pada 5 Orang Inggris Usai Vaksin!
Bila dan kapan pemerintah harus campur tangan untuk memastikan pasokan obat-obatan yang terjangkau, merupakan masalah yang sudah berlangsung lama.
Namun kemampuan negara-negara yang berbeda untuk mendapatkan vaksin dan obat-obatan terus menjadi sorotan selama pandemi.
Banyak pakar menyatakan bahwa akses vaksin yang berkeadilan merupakan faktor kunci dalam mencegah penambahan kasus baru dan kematian, serta bahwa terwujudnya kekebalan populasi.
Namun, kapasitas memproduksi vaksin di tingkat global baru mencapai sepertiga dari yang dibutuhkan, ungkap Ellen t'Hoen, pakar kebijakan obat-obatan dan hukum kekayaan intelektual.
"Ini adalah vaksin-vaksin yang diproduksi di negara-negara maju dan pada umumnya disimpan oleh negara-negara maju pula."
"Negara-negara berkembang sudah menyatakan butuh pembagian peran, bukan hanya dapat jatah vaksin, namun juga hak untuk memproduksi vaksin," lanjutnya.
Untuk membuat vaksin, tidak hanya diwajibkan punya hak untuk memproduksi substansi aktual dari bahan pokoknya (yang dilindungi oleh hak paten), namun juga harus punya pengetahuan mengenai pembuatannya karena teknologinya rumit.
WHO tidak memiliki kewenangan untuk mengabaikan hak paten, namun organisasi itu tengah berupaya membuat negara-negara untuk bisa bersama-sama mencari cara untuk mendongkrak pasokan vaksin.
Pembicaraan yang tengah berlangsung di WHO tersebut menggunakan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional untuk menyiasati hak paten dan membantu negara-negara untuk memiliki kemampuan teknis membuat vaksin.
Apa reaksi pihak industri obat?
Namun kalangan industri obat menyatakan bahwa mengabaikan hak paten akan menghambat kemampuan mereka untuk berinvestasi lebih lanjut terkait Covid-19 dan penyakit-penyakit lain.
Awal bulan ini, perwakilan industri obat-obatan AS menulis surat kepada Presiden Joe Biden dan menyatakan keprihatinan mereka.
"Menghapuskan proteksi [atas hak paten] itu akan menghambat respons global atas pandemi," tulis mereka. Ini termasuk upaya dalam mengatasi varian-varian baru Covid-19.
Selain itu, lanjut argumen mereka, akan menciptakan kebingungan yang berpotensi merusak kepercayaan publik atas keamanan vaksin dan menghambat berbagi informasi," lanjut kalangan industri obat-obatan itu.
"Lebih penting lagi, menghilangkan proteksi itu tidak akan mempercepat produksi [vaksin]," tambah mereka.
Kalangan pakar lainnya setuju. Anne Moore, pakar imunologi vaksin, khawatir mengenai dampak mengabaikan hak paten bagi penelitian di masa depan.
"Seiring berjalannya waktu, kita melihat makin sedikit organisasi dan perusahaan komersial yang bergerak di bidang vaksin karena keuntungannya sangat kecil," ujarnya.
Perusahaan-perusahaan obat mengungkapkan bahwa mereka telah memberi sumbangan keuangan maupun obat-obatan untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Namun, kalangan pegiat menyatakan bahwa sekitar £90 miliar (atau lebih dari Rp1.700 triliun) uang publik telah disalurkan untuk pengembangan perawatan Covid-19 dan vaksin, sehingga publik pun seharusnya juga punya bagian. Begitu pandemi berakhir, akan ada banyak uang yang dihasilkan, demikian argumen mereka.
"Jelas bahwa ada rencana yang berjangka lebih lama lagi untuk meningkatkan harga vaksin-vaksin ini, begitu fase paling darurat dari pandemi ini usai. Jadi itu alasan lain mengapa negara-negara berkembang menyatakan kami perlu mendapatkan kemampuan untuk memproduksi vaksin secara mandiri," kata t'Hoen.