Dialog dan percakapan bathinpun segera berlangsung. Tak ada emosi, tak ada kegaduhan dan tak ada pula fitnah serta pertengkaran. Teduh, tulus dan jujur....
"Kenapa kau harus bersedih? Tidakkah cobaan dan ujian begini telah engkau alami berpuluh-puluh kali. Aku tahu, hari-harimu memang sungguh berat dan seolah awan hitam menyelimuti hidupmu. Aku tahu di usiamu yang telah memasuki masa senja ini, engkau tak pernah membayangkan bahwa hal begini bakal terjadi. Hatimu pasti luka, sedih dan terhina. Betapa partai politik yang kau gagas berdirinya, serta pernah kau pimpin dan besarkan, kini harus mendapatkan perlakuan seperti ini. Sesuatu yang ketika kuasa ada dalam dirimu, ada dalam tanganmu, perlakuan tak terpuji seperti itu tak pernah kau lakukan. Tapi, itulah hidup. Itulah takdir. Itulah dunia kita. Namun, kau tak perlu berkecil hati. Tidakkah kau telah melalui berbagai cobaan dan ujian, dan kau mampu mengatasinya? Ingat bersama kesukaran ada kemudahan. Setiap masalah ada solusinya"
Kuyakini ini tuntunan yang pertama.
Aku masih khusyuk dalam perenungan diri. Dialog dalam bathinku yang sunyi terus berlangsung. Bisikan nurani juga terus berlanjut..
"Bagaimana dan langkah seperti apa yang patut engkau lakukan? Kalau itu yang kau tanyakan, sebenarnya kau telah menemukan jawabannya. Tidakkah para pemimpin partai yang tengah diobok-obok sekarang ini telah berketetapan hati untuk berjuang, guna mempertahankan kedaulatan, kehormatan dan eksistensi perserikatan yang sama-sama kalian cintai. Langkahmu sudah benar. Itu misi yang suci. Itu juga tanggung jawab terhadap jutaan anggota partai yang sangat tidak adil jika mereka kehilangan masa depannya. Apalagi kau sendiri telah mengatakan bahwa misi suci itu hendak dilaksanakan secara damai, berdasarkan konstitusi dan merujuk pada pranata hukum yang berlaku. Itulah jalan yang insya Allah akan senantiasa dirahmati Tuhan. Betapapun besarnya amarah kalian, kau memilih untuk tidak memerangi kemungkaran dengan cara-cara yang sama mungkarnya. Sebuah akhlak dan peradaban politik yang mendidik dan meneduhkan"
Kuyakini, inilah tuntunan yang kedua.
Aku makin khusyuk dalam kontemplasi yang kulakukan. Malam semakin larut. Seolah bumi berhenti berputar. Desiran angin dan pepohonan di depan rumahkupun tak lagi kudengar. Aku bersyukur, karena semua pertanyaan bathin yang kusimpan dalam hati sanubariku... satu-satu telah mendapatkan jawabannya.
"Era kini, adalah era politik pasca kebenaran. Artinya, politik tanpa disertai kebenaran. Banyak fitnah, pembunuhan karakter, berita bohong serta muslihat dan tipu daya. Banyak yang berduka dan menjadi korban. Terkadang uang dan kekuasaan menyatu, menjelma menjadi kekuatan maha dahsyat yang bisa melindas dan menggilas siapa saja. Menghalalkan segala cara bukanlah sebuah aib dan pertanda matinya etika. Di tengah suasana seperti itu, engkau dan para pemimpin partai yang saat ini tengah mencari keadilan, mesti berbangga karena kalian tak tergoda untuk mudah berburuk sangka. Menuduh sembarangan. Sifat yang tidak suudzon, adalah sifat yang terpuji. Sebagian orang memang mengatakan bahwa jika kita hidup di zaman edan, jangan bersikap dan bertindak waras karena pasti tidak mendapatkan apa-apa. Namun, jalan seperti itu bukan yang kau pilih. Akibatnya, kau hadapi satu keniscayaan... partai yang kau sayangi sering terguncang dan tersandung-sandung. Itu konsekuensinya. Namun, jika itu yang kau pilih, yakinkan semuanya kuat, tabah dan tegar, baik lahir maupun bathin. Hidup tak seindah bulan purnama. Hidup memerlukan kesabaran dan pengorbanan".
Inilah tuntunan ketiga yang aku yakini.
Baca Juga: SBY Curhat, Dilukai Sahabat Hingga Sebut Cikeas Bagai Kota Mati
Renunganku makin dalam. Aku tak ingat lagi, sudah berapa lama aku berada dalam dunia kalbu yang penuh keheningan itu. Alampun seakan menemani dan ikut berempati.