Rumah DP 0 Rupiah Jakarta, Realistis atau Dalih Politik?

SiswantoBBC Suara.Com
Kamis, 18 Maret 2021 | 10:07 WIB
Rumah DP 0 Rupiah Jakarta, Realistis atau Dalih Politik?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Langkah pemerintah DKI Jakarta meningkatkan batas maksimal gaji bulanan bagi warga yang berminat atas program rumah dengan uang muka (DP) nol rupiah, dari 7 juta rupiah menjadi hampir 15 juta rupiah, disebut sebagai rapor merah bagi Gubernur Anies Baswedan.

Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyatakan warga Jakarta perlu mempertimbangkan ulang bila Anies maju lagi karena janji ini adalah umbarannya pada kampanye 2017 lalu.

Sementara, anggota DPRD dari Gerindra, partai yang mengusung Anies, menekankan perubahan skema atas program itu karena pandemi Covid-19.

Pengamat tata kota menyebut kebijakan rumah dengan uang muka nol rupiah ini sejak awal tidak realistis bila sasarannya masyarakat berpenghasilan rendah.

Baca Juga: Sepi Peminat, Alasan Anies Naikkan Batas Gaji Miliki Rumah DP 0 Rupiah

Langkah Gubernur Anies Baswedan mengubah target capaian program rumah dengan down payment atau uang muka, nol rupiah dinilai sebagai ketidakseriusan dalam mengeksekusi kebijakan tersebut. Program ini adalah salah tahu janji politik Anies saat berkampanye. Hal itu diutarakan oleh Eneng Malianasari, yang merupakan anggota Komisi B di DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI.

Menurut PSI, Anies telah memangkas target Rumah DP 0 Rupiah dari 232 ribu menjadi hanya 10 ribu unit rumah susun, atau turun sekitar 95 persen. Hal itu terungkap dari draf perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah  yang diajukan Anies ke DPRD.

Di sisi lain, kriteria penerima manfaat dari program juga berubah hingga batasan penghasilan tertinggi menjadi Rp14,8 juta dari sebelumnya Rp7 juta. Padahal, program ini ditargetkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Eneng mengatakan bahwa inkonsistensi ini menjadi rapor merah kinerja Anies.

"Menurut saya kalau memang gubernur mau maju lagi, mau kampanye baik itu sebagai gubernur lagi ataupun misalnya posisi yang lain, ini jadi citra yang buruk buat dia sendiri karena sudah ketahuan hasil kerjanya. Sudah ketahuan janji kampanyenya itu bisa dia kerjakan atau tidak. Jadi si orang ini udah ketahuan kapasitas atau kualitas kerjanya sejauh mana," kata Eneng kepada BBC News Indonesia, Rabu (17/3).

Baca Juga: Kasus Rumah DP 0 Rupiah, Anies Siap Hadir Jika Dipanggil KPK

"Ini kan jadi tolak ukur nanti untuk masyarakat mengukur sejauh apa, misalnya, janji-janji kampanye itu bisa direalisasikan. Dan, ternyata, ya janji kampanye bisa aja semanis madu. Tetapi ketika itu harus direalisasikan, harus mengkrucut dengan banyak alasan, ini menurutku lapor merah.

"Harus dipertimbangkan oleh warga Jakarta untuk memilih dia," kata dia.

Program Rumah DP Nol Rupiah merupakan salah satu janji kampanye Anies Baswedan ketika mengikuti Pilkada DKI 2017 lalu. Ia menjanjikan skema tersebut karena menurut dia, penduduk Jakarta yang memiliki hunian masih tersbatas. Program seperti itu, ia sebutkan perlu untuk memberikan keringanan bagi warga untuk memiliki rumah.

Dikatakan program tersebut menyasar kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak dapat mengakses mekanisme pasar hunian milik, dengan syarat batasan penghasilan tertinggi awalnya ditetapkan pada Rp7 juta.

Pemprov DKI pekan in mengumumkan bahwa penerima manfaat dari program ini menjadi lebih luas, karena batasan penghasilan tertinggi ditingkatkan menjadi Rp14,8 juta.

"Ketentuan ini sudah tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 588 Tahun 2020. Naiknya harga ini akan memperluas penerima manfaat dari DP Nol. Mengingat, mereka yang berpenghasilan 14,8 juta merupakan pekerja yang juga membutuhkan hunian di DKI Jakarta," kata Plt. Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Provinsi DKI Jakarta, Sarjoko, dalam sebuah pernyataan, (17/3).

Tantangan pandemi

Sementara itu, Syarif, Sekretaris DPRD DKI Jakarta Komisi D, atau bidang Pembangunan, dan juga anggota dari Fraksi Gerindra, menampik kritikan PSI terkait turunan capaian program Rumah DP 0 Rupiah. Ia mengkonfirmasi bahwa memang ada penurunan capaian, namun tidak sebesar klaim PSI.

Ia tidak merinci jumlah targetnya namun menambahkan bahwa perubahan itu disebabkan oleh tantangan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

"Keadaan darurat bencana non alam ini yang secara langsung mempengaruhi pendapatan asli daerah. Beban keuangan daerah kita itu sangat nggak mampu karena akibat dari pandemi ini," tutur Syarif via telpon pada (17/3).

"Kalau ada yang mengatakan koreksi itu tidak konsisten, akal-akalan, ya bagaimana caranya mendudukkan argumentasi kalau tidak ada pandemi? Kalau ada pandemi terus kemudian dibuat tidak ada revisi kan kemudian justru mengawang-awang, mengada-ada.

"Kan realistis, karena ada tantangan pandemi ini, programnya tetap jalan, kemudian ada revisi capaian," ujar Syarif.

Ia menambahkan bahwa perubahan ini tidak terkait masa jabatan Gubernur Anies Baswedan yang akan berkahir 2022.

"Soal ada anggapan, ada opini karena mendekati masa jabatan gubernur, ya kita hormati. Namanya pendapat. Kita hormati. Kita hargai. Tapi itu tidak benar," imbuhnya.

'Siapa yang menjadi sasaran?'

Di sisi lain, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, berpendapat bahwa rancangan kebijakan program Rumah DP Nol Rupiah pada dasarnya sudah keliru jika sasarannya adalah memberikan keringanan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah.

Apalagi, tambah Yayat, ambang batas penghasilan dinaikan menjadi Rp14,8 juta. Sementara, ambang batas sebelumnya di 7 juta saja, dia katakan, sudah tidak realistis.

"Jadi ini memang dilema. Artinya apa? Apa yang dijanjikan pada saat kampanye itu harusnya hitung-hitungannya jelas - siapa sebetulnya yang menjadi sasaran?

"Dan ternyata fakta menunjukkan bahwa tidak mungkin lah orang gaji 7 juta kemudian cicilan rumah itu, minimal, menurut OJK adalah 30 persen dari pendapatan, Kalau misalnya 7 juta dibagi 3 aja, itu berapa rata-rata? 2 juta-an. Berapa harga cicilan rumah yang paling murah? Itu bisa 3-4 juta, 4 juta-an lebih," kata Yayat, (17/3)

"Dengan itu artinya sudah nggak masuk nilai tersebut. Nggak realistis. Artinya ini sudah komersial. Kalau misalnya 14.8 juta, itu sudah menengah pendapatannya."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI