Suara.com - Sejumlah negara memutuskan menunda penggunaan vaksin Oxford-AstraZeneca. Mereka menyebutnya sebagai upaya pencegahan setelah muncul laporan bahwa beberapa orang mengalami pembekuan darah setelah menerima vaksin itu.
Tapi apakah negara-negara itu terlalu berhati-hati? Apakah pemerintah ini luput melihat persoalan lebih besar yang mungkin akan muncul?
Sejumlah penundaan diambil berdasarkan prinsip kehati-hatian. Ini adalah pendekatan mapan dalam bidang sains dan kedokteran yang menekankan perlunya menghentikan langkah sejenak dan meninjau ulang ketidakpastian.
Namun dalam masa pandemi yang berlangsung cepat, saat setiap keputusan bisa menimbulkan konsekuensi besar, pendekatan itu terkadang lebih merugikan daripada menguntungkan.
Baca Juga: Ada Apa Dengan Vaksin AstraZeneca Sampai Ditunda di Banyak Negara?
- Kemenkes RI tunda distribusi vaksin AstraZeneca, tapi imbau publik tidak cemaskan efek penggumpalan darah
- Uji klinis vaksin Anhui: Apa bedanya dengan Sinovac?
- Setahun Covid-19: Vaksinasi masih jauh dari target dan ancaman '20.000' kasus per hari
Dipicu vaksin atau sebuah kebetulan?
Merujuk data AstraZeneca, terdapat 37 laporan pembekuan darah dari total 17 juta orang yang telah menerima vaksin mereka di Eropa.
Tapi pertanyaan kunci yang harus ditanyakan, apakah kasus-kasus itu disebabkan vaksin atau muncul secara kebetulan? Apakah penggumpalan darah akan tetap terjadi tanpa pengaruh vaksin AstraZeneca?
Kejadian buruk seperti pembekuan darah kini sedang dipantau secara hati-hati. Regulator berharap dapat menilai apakah peluang penggumpalan darah itu lebih besar dari yang seharusnya.
Seluruh 37 laporan berada di bawah tingkat yang Anda harapkan. Terlebih lagi, tidak ada penjelasan biologis yang kuat tentang mengapa vaksin dapat menyebabkan penggumpalan darah.
Itulah mengapa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Regulator Obat-obatan Eropa (EMA) dan Badan Pengawas Obat Inggris menyatakan tidak ada hubungan antara pembekuan darah dan vaksin.
Baca Juga: Ditunda Banyak Negara, Bagaimana Nasib Vaksin AstraZeneca di Indonesia?
Dan itu juga alasan mengapa banyak ahli vaksinasi mempertanyakan langkah penundaan tadi.
Profesor Adam Finn, anggota kelompok kerja WHO untuk vaksin Covid-19, menyebut penghentian peluncuran vaksin seperti ini "sangat tidak diinginkan", dapat menggangu proyek vaksin bahkan dapat mengorbankan nyawa.
"Membuat keputusan tepat dalam situasi seperti ini tidak mudah, tapi kemampuan menguasai persoalan sangat dibutuhkan," ujarnya.
Apakah Eropa bermasalah dengan vaksin itu?
Ini bukan pertama kalinya negara-negara di Eropa berhati-hati terhadap vaksin AstraZeneca.
Jerman, Prancis dan beberapa negara Eropa lainnya telah menerapkan prinsip kehati-hatian ketika pada awalnya mereka tidak merekomendasikan penggunaan vaksin itu untuk orang-orang berusia di atas 65 tahun.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, bahkan menggunakan terminologi quasi-ineffective atau hampir tidak efektif.
Sikap mereka itu telah berubah, namun terlanjur merusak kepercayaan terhadap vaksin itu.
Sebagian persediaan vaksin tersebut di Jerman dan Prancis akan terbuang percuma. Dua negara itu baru menggunakan kurang dari setengah persediaan mereka sejauh ini.
Fakta itu memiliki konsekuensi yang mematikan. Prancis, Jerman, dan negara-negara besar Eropa lainnya memiliki tingkat infeksi yang lebih tinggi daripada Inggris.
Sebelum pandemi berangsur mereda, situasi di negara-negara tadi berpotensi memburuk.
Jika melihat kembali keputusan vaksinasi untuk orang di atas 65 tahun, Anda dapat melihat bagaimana kebijakan itu dibuat.
Merujuk uji klinis yang digelar, ada bukti terbatas tentang penggunaan vaksin terhadap kelompok usia yang lebih tua.
Penyelenggara uji klinis ingin merekrut orang dewasa yang lebih muda pada tahap awal untuk alasan keamanan.
Jadi saat hasil uji klinis sampai ke tangan pihak regulator yang menilai tingkat infeksi, data itu tidak cukup untuk mempertimbangkan dampaknya pada orang yang lebih tua.
Namun ada bukti dari sampel darah bahwa vaksin AstraZeneca mendorong respons kekebalan yang kuat pada kelompok usia yang lebih tua.
Jadi, tidak ada alasan yang masuk akal mengapa vaksin itu tidak akan berhasil di kalangan usia lanjut. Akan tetapi, waktu yang sempit tidak cukup untuk mengumpulkan bukti penggunaannya secara faktual.
Ada juga persoalan menafsirkan hasil uji klinis.
Muncul sejumlah hal tidak konsisten di berbagai situs yang digunakan selama uji coba. Pada dasarnya, berarti ada empat uji coba berbeda dalam satu uji klinis.
Protokol dan praktik yang diterapkan juga bervariasi di masing-masing tempat uji klinis, termasuk penggunaan setengah dalam satu dosis.
Hal-hal tadi menciptakan kumpulan data yang berantakan untuk ditafsirkan.
Pengambilan keputusan yang berani mungkin jadi kebijakan yang terbaik
Inggris melihat melewati tahap uji klinis dan mengambil lompatan besar.
Dalam beberapa bulan saja, Inggris mencatatkan hasil "spektakuler" untuk menurunkan tingkat penyakit serius di kelompok umur lebih dari 80 tahun.
Pendekatan pragmatis dalam pengambilan keputusan inilah yang juga menyebabkan Inggris merekomendasikan jeda hingga tiga bulan antardosis.
Keputusan Inggris soal jeda ini menimbulkan banyak kontroversi ketika diumumkan akhir Desember silam.
Vaksin Pfizer tidak diuji seperti itu dalam tahap uji klinis. Interval pemberian antardosisnya pun hanya tiga pekan.
Namun, sekali lagi, ketiadaan bukti bukan berarti langkah tersebut tidak akan berhasil atau tidak berdasarkan logika.
Uji coba AstraZeneca memang memiliki interval yang lebih lama untuk beberapa peserta, yang tampaknya membuatnya lebih efektif.
Sementara itu, vaksin Moderna, yang merupakan jenis vaksin yang mirip dengan Pfizer, juga menunjukkan bahwa vaksin itu dapat bekerja efektif.
Ada juga bukti kuat bahwa dalam vaksin dua dosis, sebagian besar perlindungan diberikan oleh dosis pertama. Dosis kedua berperan meningkatkan dan memberikan perlindungan yang lebih tahan lama.
Dengan kasus yang meningkat pesat pada saat kebijakan itu diambil, Inggris jelas ingin memaksimalkan pasokan vaksin yang tersedia. Tujuannya, memberikan perlindungan kepada lebih banyak orang. Itu pilihan logis meski bukti uji klinis tidak secara langsung mendukungnya.
Profesor David Spiegelhalter, seorang pakar yang mendalami risiko dari Universitas Cambridge, menyebut bahwa terkadang Anda harus berani mengambil keputusan.
'Prinsip kehati-hatian bisa menjadi cara yang masuk akal untuk membuat keputusan dalam menghadapi ketidakpastian ilmiah.
"Prinsip ini menyebut kelambanan sebagai cara mengurangi risiko. Tapi, masalahnya, ini bukan waktu yang normal dan kelambanan bisa lebih berisiko daripada pengambilan tindakan," kata dia.
Yang dibutuhkan dalam keadaan seperti ini, menurut Sir David, adalah mencari tahu yang paling mungkin terjadi pada keseimbangan probabilitas.
Proses itu membutuhkan bukti yang dilihat secara langsung dan tidak langsung serta konteks pengambilan keputusannya.
"Membuat keputusan ketika ada ketidakpastian seperti itu sangatlah sulit, tapi terkadang berbahaya untuk menunggu kepastian. Tidak memvaksin orang akan mengorbankan nyawa," ujarnya.