Suara.com - Akademisi sekaligus peneliti Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Januarti Jaya Ekaputri mengapresiasi keputusan pemeritah, yang secara resmi mencabut FABA dari daftar limbah B3 atau bahan berbahaya dan beracun. FABA merupakan limbah padat hasil pembakaran batu bara di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan industri bahan baku konstruksi.
“Ini adalah hadiah terbesar buat Indonesia. Saya melihat dari kacamata bangsa dan negara ini, dari sisi infrastruktur. Kalau FABA bisa dimanfaatkan, alangkah hebatnya Indonesia,” demikian ujarnya, dalam Program Spesial Polemik Radio MNC Trijaya, Jatim, Selasa (16/3/2021).
Menurut Januarti, keputusan ini tetap perlu diawasi dan dikontrol dari segi regulasi, agar FABA bisa digunakan sebaik mungkin. Selain itu, Januarti yang pernah melakukan penelitian terkait FABA menuturkan, limbah jenis ini memang bisa dinilai berbahaya, ketika dalam jumlah yang sangat banyak.
“Misalnya kita anggapannya nasi. Nasi kan tidak berbahaya. Ttapi kita dipaksa makan sekali duduk 50 kilogram, nah itu kan jadi berbahaya. Sekarang pertanyaannya, apakah nasi itu beracun? Nasi itu tidak beracun. Tetapi kalau dalam jumlah besar mungkin berbahaya,” jelas Januarti.
Baca Juga: Jokowi Cabut Abu Batu Bara dari Daftar Limbah Berbahaya dan Beracun
Dosen ITS Surabaya tersebut tidak memungkiri bahwa jumlah limbah yang dihasilkan memang besar, sehingga perlu ada pengawasan dan regulasi dari pemerintah. Namun dia menegaskan, limbah FABA tidak beracun dan bisa dimanfaatkan dengan baik.
Sementara itu, pakar kebijakan publik, Agus Pambagio menilai, pencabutan FABA dari daftar limbah B3 juga bisa mempersempit ruang gerak mafia yang “bermain” dalam pengelolaan limbah, sehingga berpotensi merugikan pengelola PLTU.
“Tempat pengelolaan limbah itu, seluruhnya ada di Pulau Jawa. Jika PLTU-nya ada di Papua atau Sulawesi, maka harus diangkut ke Pulau Jawa, dengan menghabiskan ongkos yang banyak. Jika menimbun limbah terlalu lama, maka ada hukumannya, seperti denda berkisar Rp 1 miliar - Rp 3 miliar, sehingga PLTU harus selalu mencari tanah kosong yang baru untuk limbah agar tidak tertimbun tinggi. Sementara untuk mengelola FABA, dibutuhkan pembuatan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan biaya hingga 400 jutaan, disinilah timbulnya praktik mafia,” ujarnya.
Agus menambahkan, keputusan ini tepat karena FABA mempunyai banyak manfaat, sehingga bisa dijadikan sebagai teknologi baru.
“Sebelumnya, jumlah FABA banyak dan sulit dikendalikan, sehingga dimasukan ke dalam kategori limbah B3. Tetapi seiring berkembangnya teknologi, FABA ternyata bisa diolah kembali menjadi sesuatu yang berguna,” ujar Agus.
Baca Juga: Pemkot Bandar Lampung Ingin Buat TPA Pemusnahan Limbah B3