Kisah Penjaga Lahan Sengketa: Tak Cuma Modal Berani, Tapi Juga Kecerdikan

Siswanto Suara.Com
Selasa, 16 Maret 2021 | 11:20 WIB
Kisah Penjaga Lahan Sengketa: Tak Cuma Modal Berani, Tapi Juga Kecerdikan
Ilustrasi hukum. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menjaga lahan sengketa bukan pekerjaan enteng. Risiko yang dihadapi, mulai dari benturan dengan kelompok lawan yang disewa pengusaha yang terlibat sengketa, konflik dengan warga sekitar yang merasa terganggu, hingga berurusan dengan penegak hukum.

Menekuni jenis pekerjaan tersebut, tak hanya dibutuhkan mental baja serta fisik prima, melainkan juga kecerdikan, dan semua itu diceritakan seorang penjaga lahan yang sudah banyak makan asam garam dunia keras kepada saya baru-baru ini.

Sebelum memutuskan terjun ke pekerjaan menjaga lahan sengketa, seperti umumnya motivasi orang-orang yang sedang mencari pekerjaan, yaitu untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik.

Demikian pula dengan Brader -- nama samaran untuk melindungi keamanan -- ketika baru mau menceburkan diri, dia membayangkan menjadi penjaga lahan akan dapat memberikannya “uang besar.”

Baca Juga: Tumpukan Alat Tes Covid-19 yang Terbengkalai di Gudang

Dorongan yang lainnya, biasanya ingin mendapatkan pekerjaan yang dalam melakoninya penuh warna persaudaraan tinggi serta “rasa bangga.”

Bangga bisa membesarkan nama kelompok mereka dan bangga di mata orang yang telah memberikan proyek -- jika pekerjaan selesai sesuai rencana semula.

Menjaga lahan bersatus sengketa pada umumnya hanya bisa dikerjakan secara berkelompok, entah kelompok kecil maupun kelompok besar.

Kebanggaan kelompok umumnya dirasakan setiap kali proyek pengamanan dapat diselesaikan. Dapat diselesaikan di sini berarti sampai tuntas atau sampai terjadi transaksi pembayaran jasa.

“Kalau dapat satu proyek jaga lahan, kita bangga kalau bisa jaga sampai selesai, sampai ada pembayaran, clear,” kata Brader.

Baca Juga: Doni Monardo: Kalau Saya Tak Ambil Keputusan, Mau jadi Apa Negara Kita?

Brader sebenarnya agak kesulitan untuk menggambarkan bagaimana kebanggaan itu terjadi.

Dia kemudian menyebut, “Semacam kayak, bonus. Di mata orang yang kasih proyek, itu kalau bisa dijalankan dengan baik, ada bangga.”

“Biasanya tanah sengketa kan berbenturan dengan beberapa kelompok lain. Misalnya sampai ke pengadilan, dan kemudian menang. Kebanggaan di situ. Bisa jaga nama kelompok kita.”

Pendidikan itu penting

Umumnya, latar belakang pendidikan para penjaga lahan sengketa di Jabodetabek minimal pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah tingkat atas.

Menurut informasi yang disampaikan Brader -- sepanjang yang dia ketahui -- tak sedikit pula penjaga lahan memiliki titel sarjana. Brader sendiri seorang sarjana ilmu sosial dan ilmu politik di salah satu kampus di Jakarta.

Latar belakang pendidikan banyak membantu mereka, terutama dalam menghadapi suatu masalah yang ditemukan di lapangan.

Kasus perselisihan lahan sudah barang tentu bersinggungan dengan masalah hukum. Walaupun posisi mereka sebagai kelompok yang disewa untuk menjaga lahan agar tak direbut pihak lain, pengetahuan tentang hukum mesti mereka pahami.

Pengetahuan tersebut dibutuhkan untuk menjadi pertimbangan dalam mengambil langkah-langkah di lapangan.

“Kita juga punya kedekatan dengan lawyer. Mereka jadi teman diskusi. Mereka tempat minta pertimbangan, saran-saran. Kalau ambil langkah ini seperit apa risikonya, dan lain-lain. Untuk bisa diskusi kan mesti paham hukum juga kita,” kata Brader.

“Sengketa lahan, kan nggak semua orang bisa handle. Misal kita kuasai lahan ini, dari segi hukumnya gimana, dan lain-lain.”

Seorang pemimpin kelompok tak cukup hanya bermodal mental pemberani, tetapi dia mesti punya kemampuan komunikasi massa atau “menguasai psikologi massa.”

Mental pemberani seorang pemimpin tanpa diimbangi kemampuan menguasai psikologi massa bisa saja merugikan kelompok sendiri atau kelompok lain yang memiliki satu tujuan.

Suatu kali pernah kejadian di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Ketika itu beberapa kelompok sedang disewa salah satu pengusaha kaya raya dan bermasalah, untuk mengamankan sebuah lahan pabrik agar tak diambil alih pihak lain.

Di tengah ketegangan, beredar isu kelompok preman dalam skala besar yang disewa pengusaha lawan akan didatangkan hari itu untuk menduduki lahan pabrik.

Situasi di lokasi sengketa semakin tegang, sebagian anggota kelompok bahkan sampai panik. Di tengah situasi panas, pada tengah malam, tiba-tiba beberapa unit mobil terburu-buru mendekati pabrik.

Kelompok yang lebih dulu berada di lahan sengketa sudah dalam posisi siap menyerang orang-orang yang berada di mobil.

Ternyata orang di dalam mobil tadi bukan lawan, melainkan kawan.

“Saking paniknya ketika itu. Hampir terjadi penyerangan terhadap kelompok sendiri. Bayangkan kalau seandainya pimpinan tidak bisa kuasai psikologi massa, bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Brader.

“Kalau seorang pepimpin nggak bisa handle, bisa dia sendiri malah kena, dari anggota sendiri. Pemimpin memang harus benar-benar dihormati dan ditakuti, entah dari cara berpikir, keberanian atau banyak macamnya. Karena inikan dunia yang keras.”

Syarat jadi penjaga lahan sengketa

Bermacam-macam alasan mereka terjun ke dalam dunia penjaga lahan sengketa. Sebagian karena memang sejak awal memiliki ketertarikan, sebagian lagi karena diajak oleh “senior,” seperti pengalaman Brader.

“Gara-gara kumpul-kumpul, akhirnya dapat iming-iming uang besar yang nggak biasa didapat kalau kerja di tempat kerja umum. Bayangan yang kita dapat besar, dan memang besar (setelah menekuni). Kalau berhasil memang besar.”

Barangkali sebagian orang berpikir untuk menjadi anggota kelompok penjaga lahan harus melewati semacam ujian. Ternyata tidak selalu begitu.

Bahkan, menurut pengalaman Brader, syaratnya cuma harus siap menerima apapun risiko yang kelak dihadapi di lapangan. Misalnya, yang paling parah bentrok dengan kelompok lain, tetapi pada umumnya kasus semacam ini bisa dihindari lewat komunikasi antar pimpinan kelompok.

Pada awal sekali masuk kelompoknya, Brader mengatakan: “Risiko kita sudah paham. Sebelum beta masuk sudah tahu gambaran dunianya. Yang terparah pun sudah tahu.”

Pekerjaan pertama Brader ketika itu disewa untuk menjadi pengawal seorang pengusaha yang punya banyak masalah dengan rekan bisnis. Pengusaha tersebut mendapat ancaman akan dibunuh oleh seseorang.

Brader sudah siap dengan segala risiko, termasuk jika sewaktu-waktu berhadapan dengan orang-orang keras yang disewa lawan bisnis bosnya. Tidak ada rasa ngeri sama sekali padanya karena sejak awal memang sudah punya komitmen untuk bekerja sebaik-baiknya agar memetik hasil yang baik pula.

“Karena jiwa muda, pekerjaan ini kita ambil, kita butuh sesuatu yang lebih. Risiko apapun kita ambil, kita dampingi bosnya. Walaupun itu (risiko) di depan mata. Tapi karena beta butuh sesuatu yang lebih ya beta ambil,” kata Brader.

Ada yang terorganisir, ada yang tidak

Di Jabodetabek ada berbagai kelompok penjaga lahan sengketa. Ada kelompok besar, ada juga kelompok kecil yang jumlahnya sulit dipastikan.

Sejumlah kelompok memiliki organisasi atau struktur organisasi, misalnya kelompok yang menggunakan identitas kedaerahan.

Tetapi sebagian lagi tidak “terorganisir secara manajerial.” Kelompok Brader, termasuk kelompok model itu.

Kelompok yang tidak terorganisir, misalnya anggota mereka hanya berpatokan pada instruksi atau gambaran yang disampaikan oleh senior.

“Misalnya, ini ada lahan yang begini-begini (kasus) butuh penjagaan. Pemilik lahan ini bersengketa dengani orang ini, dan kemungkinan dari kelompok ini yang back up. Lalu kita masuk. Cuma digambarkan seperti itu kira-kira,” katanya.

Berbekal gambaran dari senior, anggota kelompok menjalankan tugas di lokasi yang sedang disengketakan.

Di sekitar lahan sengketa biasanya, mereka tinggal di bedeng darurat atau rumah tinggal.

“Kita tidur situ atau kita ganti dengan rolling penjagaan,” kata Brader.

Umumnya, yang menyatukan kelompok mereka yang tidak memiliki organisasi resmi adalah “berangkat dari orang-orang yang sudah satu tujuan.”

Menurut pendapat Brader, organisasi yang membawa nama daerah mestinya tidak usah memasuki dunia penjagaan lahan sengketa.

Dunia penjagaan lahan sengketa sangat rawan benturan antar kelompok. “Kan riskan berbenturan yang akhirnya jadi isu sukuismenya. Mestinya kalau mau pyur ke dunia preman nggak usah bawa nama kedaerahan.”

Patuhi senior

Selama wawancara berlangsung, Brader sering menyebut “senior.” Senior merupakan seorang tokoh dalam suatu kelompok yang punya pengaruh kuat.

Seorang bisa dianggap senior karena punya banyak pengalaman dan biasanya lebih dulu memasuki dunia jaga lahan sengketa. Dia juga seorang yang harus pintar dan hal itu biasanya dibuktikan dari jaringan kuat ke kelompok lain maupun ke kekuasaan.

“Dunia ini kan perlu jaringan yang kuat. Misal kita berbenturan dengan masalah hukum atau masalah apa begitu, dia (senior) punya orang yang bisa dimintai pertimbangan supaya kita bisa mengatur langkah seperti apa. Biasanya dia (senior) punya orangnya.”

“Jadi jangan sampai justru malah kita nggak dapat apa-apa (dari pekerjaan yang sedang dijalankan, makanya setiap ada masalah, senior tahu kemana minta pertimbangan).”

Itulah sebabnya, dalam kelompok, seorang senior amat dipatuhi anggotanya.

Seorang senior harus benar-benar bisa diandalkan dan jadi pelindung. Biasanya dia tahu manfaat dan risiko ketika sebuah langkah diambil.

Suatu kali pernah kejadian salah perhitungan ketika menerima order dari pengusaha yang punya lahan di salah satu daerah di Jawa Barat.

Kelompok tersebut ternyata memasuki area di luar perhitungan mereka. Brader menyebutnya salah strategi, “kita main masuk, ternyata di luar koordinasi.”

Bobot risiko yang akan ditanggung lebih besar ketimbang hasil yang dipetik, akhirnya satu persatu anggota kelompok memutuskan untuk keluar (atau meninggalkan kawasan tersebut).

“Kan anggota kelompok bisa nimbang juga. Ternyata risiko hukumnya lebih besar. Karena di pihak kita di posisi yang kalah.”

Berapa biaya jasa mereka?

Nilai jasa para penjaga lahan sengketa secara resmi -- maksudnya standar yang disepakati oleh semua pihak -- belum pernah ada di Indonesia.

Itu sebabnya, setiap kelompok bisa jadi berbeda-beda jumlah pembayaran yang mereka terima, tergantung hasil negosiasi pimpinan dengan pengguna jasa.

Tapi dari cerita Brader, ada dua model pembayaran yang biasa dipraktikkan. Pertama, pembayaran dilakukan secara harian dan kedua diberikan setelah proyek selesai.

Untuk pembayaran harian, satu orang ada yang mendapatkan Rp300 ribu sampai Rp500 ribu.

Sedangkan untuk model pembayaran yang diberikan setelah proyek selesai, biasanya jumlahnya sekian persen dari total nilai lahan yang dijual pengusaha. Dari pengalaman Brader, kelompoknya biasanya mendapat 30 persen.

Misalnya lahan berhasil dijual dengan harga Rp1 miliar, kelompok penjaga lahan akan mendapat bagian Rp300 juta dan selanjutnya dibagi-bagikan lagi ke anggota penjaga. “Dan yang pasti senior yang lebih besar.”

Brader dan kelompoknya biasanya mendapatkan proyek lahan yang nilainya di atas Rp1 miliar.

Hubungan antar kelompok

Bentrokan antar kelompok penjaga lahan pada umumnya dapat dihindari. Sebab, di antara kelompok-kelompok itu, saling kenal atau minimal tahu jati diri satu sama lainnya.

Sebagai contoh ketika Brader disewa seorang pengusaha untuk menjadi pelindung keamanan. Pengusaha tersebut punya banyak sekali masalah dengan lawan bisnis.

Sementara pengusaha lawan bisnis juga bukan orang sembarang, dia diback up massa.

Kelompok Brader dan kelompok lawan kadangkala bersinggungan, tetapi tidak sampai berujung bentrok berdarah.

“Pas tahu dari pihak seberang mengenai siapa mereka dan latar belakangnya, persinggungan bisa diredakan. Yang bisa meredakan misalnya ada latar belakang yang sama. Misalkan, sama-sama dari kesukuan tertentu,” kata Brader.

Pada umumnya, setiap kelompok yang ada kemungkinan bakal bersinggungan dengan kelompok lain, di antara mereka menjalin komunikasi atau koordinasi untuk saling mencegah terjadi keributan.

“Di lapangan banyak hal positif yang didapat. Bisa tambah persudaraan baru,” kata Brader.

“Nggak semua kasus sengketa itu akan berbenturan, tergantung pimpinan, apakah dia bisa berkoordinasi. Kalau bisa koordinasi bagus, nggak akan bentrok. Misal lawan seberang, kalau kita bisa buka pembicaraan, itu nggak akan terjadi bentrokan.”

Menurut Brader, tergantung ego setiap kelompok. Kalau yang dikedepankan ego untuk saling mengalahkan, bentrokan bakal sulit dihindari.

“Tapi memang kebanyakan yang ujungnya bentrokan, karena itu tadi: gengsi kelompok.”

“Kadang kalau dari kita bisa tahan, dari sisi mereka kedepanin emosi, bisa terjadi (bentrok).”

Bentrokan yang terjadi selama ini, menurut pengalaman Brader, paling banyak terjadi bukan antar kelompok penjaga lahan sengketa, tetapi di tempat hiburan.

Siapa yang paling dikhawatirkan?

Umumnya, mereka tidak terlalu khawatir dengan keberadaan kelompok lawan.

Lalu, saya tanya kepada Brader, siapa sebenarnya yang paling penjaga lahan khawatirkan? Aparat penegak hukum, katanya, karena sewaktu-waktu bisa menghantam keberadaan mereka di lapangan.

Jika aparat diturunkan ke sebuah daerah yang sedang dijaga salah satu kelompok, Brader menyebut, “kita nggak dapat apa-apa. Berarti misi kita gagal. Malah bisa dibui.”

Biasanya, aparat keamanan diturunkan ke lokasi sengketa karena untuk mengantisipasi terjadi bentrokan antar kelompok penjaga lahan.

Ketika aparat turun tangan, kelompok yang sedang bertugas menjaga lahan sengketa hanya punya satu pilihan: meninggalkan lokasi.

“Kalau kita nggak mau bubar, mereka akan bubarkan. Berarti kita nggak dapat apa-apa (tidak dapat bayaran karena tugas tidak tuntas).”

Brader dan kelompoknya pernah mendapatkan pengalaman semacam itu. Keberadaan mereka di lokasi sengketa ketika itu dilaporkan warga sekitar kepada pihak berwajib karena warga khawatir terjadi onar.

Tetap jaga etika

Pada umumnya, kelompok penjaga lahan tetap mengedepankan etika ketika memasuki kawasan sengketa yang harus mereka amankan.

Pemberitahuan kepada RT dan RW selalu dilakukan.

“Kita harus lakukan itu, kalau tanpa izin, bisa memperparah itu. Kalau kita sudah beritahukan, misal polisi datang, minimal warga sekitar ngasih tahu bahwa mereka (kelompok) pernah minta izin. Etika itu kita kedepankan perihal kehadiran kita.”

Pandangan miring

Sebagian masyarakat memberi cap kepada kelompok penjaga lahan sengketa sebagai orang yang kasar. Tapi apakah stigmatisasi tersebut benar?

“Ada yang seperti itu, ada yang nggak juga. Kalau stigma kasar, ya memang kita bersinggungan dengan hal-hal yang kasar. Mungkin dari perawakan dan tampilan fisik sepertinya garang. Karena bukan orang kantoran, ini orang lapangan yang biasa berjemur sinar matahari dan kena debu,” kata Brader.

“Stigmatiasi itu manusiawi. Apalagi ada berita-berita tentang bentrokan-bentrokan itu kan kemudian muncul stigma.”

Pada umumnya, ekspresi kasar hanya mereka perlihatkan ketika sedang berhadapan dengan kelompok musuh yang juga menunjukkan ekspresi serupa.

“Tapi kalau urusan persaudaraan ya nggak kasar. Kalau sama lingkungan sekitar (tempat lahan sengketa) kita justru bersahabat. Kan kita masuk ke lingkungan orang, kita harus jaga sikap. Karena sehari-hari kan kita sama mereka.”

“Beda sikap kalau bertemu dengan kelompok seberang. Kita tunjukkan ekspresi kasar supaya bisa halau mereka.”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI