Suara.com - Ratusan ribu alat tes Covid-19 dari seluruh Indonesia ramai-ramai dikembalikan ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 169,1 miliar. Alat-alat itu disebut tidak dapat digunakan. Lalu apa kata Satgas Covid-19 terkait kejadian ini?
Tim Satgas Penanganan Covid-19 (2020), Suryopratomo menjelaskan bahwa situasi di awal pandemi sangat keotik. Bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun tidak punya pegangan yang baku untuk menangani virus corona.
"Kita betul-betul dihadapkan pada kondisi yang sangat menakutkan apalagi di minggu-minggu pertama. Saya masih ingat sembilan dokter harus wafat," kata Suryopratomo dalam video yang diunggah ke YouTube, Senin (15/3/2021).
Menurutnya, satu-satunya cara untuk menangani pandemi covid-19 dimulai dengan tes PCR.
Namun satgas pun mengaku kesulitan mencari reagen tes PCR. Pasalnya, hanya ada dua negara dapat menghasilkan tes PCR saat itu, yaitu China dan Korea.
Suryopratomo enggan disebut bahwa Tim Gugus Tugas melakukan pengadaan tes PCR secara sembrono. Sebab, situasinya saat itu tidak jelas dan Gugus Tugas telah berusaha agar deteksi penularan virus dapat cepat diketahui.
"Lembaga internasional seperti WHO dan UNICEF di awal-awal pandemi tidak pernah mengetahui bagaimana langkah terbaik dalam penanganan Covid-19. Yang dilakuakn oleh Tim Gugus Tugas berorientasi pada bagaimana secepat mungkin kita bisa mengendalikan penularan, mengetahui warga masyarakat yang tertular, sehingga bisa dilakukan isolasi atau karantina," ujar Suryopratomo.
Sementara itu, Tenaga Ahli Ketua Satgas Penangangan Covid-19, dr. M Nasser menjelaskan bahwa reagen Sansure dipilih karena stabil dan lebih cepat.
Nasser mengakui memang ada laporan dari sejumlah laboratorium yang tidak dapat menggunakan reagen Sansure. Penyebabnya, persoalan metode pengerjaan ekstraksi RNA kering dan basah yang tidak dapat dikombinasikan dengan baik.
Baca Juga: BNPB: Reagen Sansure Dibeli Karena Situasi Genting Awal Pandemi
"Pada bulan April-Mei 2020 telah dilakukan distribusi pada 88 laboratorium di 31 provinsi. Ternyata dari sekian laboratorium itu ada sejumlah laboratorium yang tidak dapat mengerjakan," tutur Nasser dalam video klarifikasinya.