Suara.com - Sri Lanka melarang pemakaian burqa dan berencana menutup lebih dari seribu sekolah Islam yang dianggap tidak sesuai dengan aturan pemerintah.
Menyadur Straits Times, Sabtu (13/3/2021) Menteri Keamanan Publik Sarath Weerasekera mengatakan pada konferensi pers bahwa dia telah menandatangani sebuah makalah pada hari Jumat untuk persetujuan Kabinet.
Makalah tersebut berisi aturan untuk melarang pemakaian penutup wajah penuh yang dikenakan oleh beberapa wanita Muslim dengan alasan "keamanan nasional".
"Pada masa-masa awal kami, wanita dan gadis Muslim tidak pernah mengenakan burqa," jelas Sarath Weerasekera.
Baca Juga: Menkes Sri Lanka Minum Obat Anti-Corona dari Dukun, Malah Positif Covid-19
"Itu adalah tanda ekstremisme agama yang muncul baru-baru ini. Kami pasti akan melarangnya." tegas Sarath Weerasekera.
Pemakaian burqa di negara mayoritas Buddha tersebut sempat dilarang pada 2019 setelah insiden pemboman gereja dan hotel oleh militan Islam yang menewaskan lebih dari 250 orang.
Pasca insiden pemboman tersebut, Gotabaya Rajapaksa, mantan menter pertahanan Sri Lanka, terpilih sebagai presiden dan berjanji akan menindak tegas terhadap ekstremisme.
Rajapaksa terkenal karena menghancurkan pemberontakan selama puluhan tahun di utara negara itu saat menjabat menteri pertahanan.
Rajapaksa dituduh melakukan pelanggaran hak yang meluas selama perang, tuduhan yang dia bantah.
Baca Juga: Minum Ramuan Anti-Corona dari Dukun, Menkes Sri Lanka Positif Covid-19
Weerasekera mengatakan pemerintah juga berencana menutup lebih dari seribu sekolah madrasah Islam yang menurutnya melanggar kebijakan pendidikan nasional.
"Tidak ada yang bisa membuka sekolah dan mengajarkan apa pun yang Anda inginkan kepada anak-anak," kata Weerasekera.
Langkah pemerintah pada burqa dan sekolah mengikuti perintah tahun lalu yang mengamanatkan kremasi untuk semua korban Covid-19.
Kebijakan tersebut bertentangan dengan keinginan warganya yang memeluk agama Islam untuk menguburkan jenazah sesuai dengan ajarannya.
Larangan ini dicabut awal tahun ini setelah mendapat kritik dari Amerika Serikat dan kelompok hak asasi internasional.