Suara.com - "Jadi dari Jatam kami usul Pak Presiden dan juga yang di Istana, coba berkantor di dekat PLTU batu bara, coba hirup abu batu bara apakah itu limbah B3 atau bukan. Lalu, lihat juga masyarakat sekitarnya mengalami sesak napas, dan paru-parunya ada yang bolong karena abu ini."
Demikian yang disampaikan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) saat merespons keputusan Presiden Joko Widodo yang mengeluarkan limbah abu terbang dan abu dasar hasil pembakaran batu bara, yang disebut FABA (fly ash and bottom ash) dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), seperti yang terlampir dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan disahkan awal Februari 2021.
Ini termasuk Peraturan Turunan dari Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja. Sebelumnya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 masih menggolongkan FABA sebagai limbah B3.
Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi menjelaskan, ketika FABA masuk dalam kategori limbah B3 maka akan sulit dimanfaatkan di tengah biaya pengelolaan yang besar.
Baca Juga: Jatam: 269 Warga Jadi Korban Kriminalisasi Kasus Tolak Tambang
Penghapusan abu batu bara dari limbah B3 merupakan usulan dari 16 asosiasi yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Tahun 2021, pemerintah memperkirakan terdapat 17 juta ton FABA yang dihasilkan dan pada 2050 diperkirakan mencapai 49 juta ton.
- Pertambangan di Pulau Wawonii, Jatam: 'Kami khawatir dalam jangka panjang pulau-pulau ini bisa lenyap'
- Limbah plastik bisa dimanfaatkan menjadi bahan bangunan, bagaimana caranya?
- Amonium nitrat di Indonesia: Limbah bau 'terpesing' yang menyengat, manfaat untuk manusia, dan mengapa bisa menjadi bahan peledak
Namun, Jatam menyatakan FABA memiliki dampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan karena mengandung arsenik, merkuri, kromium, timbal dan logam berat lainnya.
Ahli kesehatan paru juga menyebut abu batu bara dapat menyebabkan penyakit disebut coal workers pneumoconiosis yang beresiko menimbulkan kematian.
Ilusi pemanfaatan limbah
Dalam bagian penjelasan Pasal 459 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, abu hasil pembakaran batu bara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan kegiatan lainnya tak termasuk sebagai limbah B3.
Baca Juga: Konflik Tambang Menewaskan 168 Orang Selama 6 Tahun Jokowi Berkuasa
Padahal menurut Koordinator Jatam, Merah Johansyah, FABA memiliki beragam partikel beracun, mulai dari arsenik, merkuri, kromium dan logam berat lainnya.
"Dampaknya jika terbang di udara akan mengganggu kesehatan pernapasan manusia yang menghirup, lalu kalau mengalir ke air akan merusak biota laut, sungai dan pesisir, dan air juga menjadi asam," kata Johansyah kepada BBC News Indonesia, Kamis (11/03).
Johansyah menjelaskan, saat FABA masuk dalam limbah B3 saja perusahaan telah abai, apalagi jika dikeluarkan.
Ia mencontohkan, 14 orang meninggal dunia akibat FABA yang ditimbulkan PLTU batu bara di Palu.
"Mayoritas meninggal karena kanker nasofaring, paru-paru hitam, dan kanker paru-paru. Lalu di Kalimantan Timur, abunya masuk ke sumber air warga saat hujan, dan terbang masuk ke rumah saat musim kering," kata Johansyah.
"Perusahaan PTLU akan ugal-ugalan mengelola limbah, terjadi polusi di mana-mana, masyarakat sekitar sakit, dan perusahaan lepas tangan karena tidak termasuk B3 dan bukan tanggung jawab perusahaan. Lalu terjadi konflik." tambahnya.
- Ibu kota baru: Tuduhan dan bantahan Yusril serta nama-nama anyar yang disebut akan meraup untung
- Dari sampah jadi produk jutaan rupiah: Cara masyarakat Pulau Lombok mengatasi limbah plastik
- UU Cipta Kerja: Lebih dari seribu orang di berbagai provinsi ditangkap usai unjuk rasa menentang omnibus law, polisi dituding antidemokrasi
- Pandemi Covid-19 menghasilkan rekor penurunan tingkat emisi pada 2020
Ia juga menegaskan, alasan nilai ekonomis FABA menjadi bahan konstruksi dan bangunan, seperti batako, dan semen hanyalah ilusi.
"Itu diciptakan untuk menyembunyikan kepentingan sesungguhnya, yaitu mengurangi biaya perusahaan yang besar dalam mengelola limbah dan melepas tanggung jawab sosial dan kesehatan ke masyarakat,," katanya.
Alasannya adalah pertama, ujar Johansyah, penggunaan FABA sangat berbahaya karena memiliki kandungan racun jika digunakan untuk bahan bangunan yang akan menguapkan saat musim kering.
"Kedua, jumlah FABA yang digunakan itu kecil presentasenya, karena harus dicampur pasir, air, dan unsur lain. Selama ini sudah dijalankan juga tapi tidak berhasil. Jadi ini hanyalah alasan dan ilusi pura-pura hijau dan peduli lingkungan," kata Johansyah.
Menurut Johansyah, jika FABA memiliki nilai ekonomis harusnya dikeluarkan regulasi yang memperkuat pemanfaatan, bukan malah mengeluarkannya dari kategori limbah B3.
"Jadi sangat politis mementingkan pengusaha, investor dan oligarki batu bara, lalu tidak ilmiah alasannya serta menimbulkan beban lingkungan, kesehatan dan sosial," katanya.
"Jadi dari Jatam kami usul Pak Presiden dan juga yang di Istana, coba berkantor di dekat PLTU batu bara, coba hirup abu batu bara apakah FABA itu bukan limbah B3. Lalu, lihat juga bagaimana masyarakat sekitar sesak nafas, dan paru-parunya ada yang bolong karena abu ini," kata Johansyah.
Senada dengan itu, peneliti dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung mengatakan, keputusan ini merupakan "jalan pintas" yang diambil untuk melepaskan tanggung jawab pengolahan limbah FABA demi efisiensi biaya.
"Di aturan limbah B3 jelas kok, dari pengelolan hingga pemanfaatan. FABA itu banyak unsurnya dan tidak bisa disamaratakan, ada tingkatannya. Jadi harus dites. FABA bisa dimanfaatkan tanpa perlu dikeluarkan dari B3 cuma perusahaan mau ambil jalan singkat dan murah," katanya.
Penyakit pernafasan pneumokoniosis
Guru besar pulmonologi dan ilmu kedokteran respirasi dari Universitas Indonesia, Faisal Yunus, menjelaskan abu batu bara dapat menciptakan penyakit pernapasan yang disebut pneumokoniosis pekerja tambang (coal worker pneumoconiosis), karena terjadi endapan elemen dari abu batu bara yang bersifat anorganik (tidak hidup) dalam paru-paru.
"Abu batu bara masuk ke tubuh bisa langsung bereaksi dan bisa juga butuh waktu lama 10-15 tahun karena bersifat 'jinak', tergantung beberapa syarat," katanya.
Abu batu bara berbahaya jika memiliki konsentrasi yang tinggi, mengandung silikon bebas, masyarakat sekitar PLTU memiliki kesehatan yang rendah, dan memiliki penyakit tuberkolosisi.
"Abu batu bara akan menjadi jahat karena terjadi komplikasi. Gejalanya, batuk-batuk, dahak warna hitam, sesak nafas, hingga gagal pernafasan yang menyebabkan kematian," katanya.
Apindo sambut baik
Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani, menyambut baik keputusan pemerintah yang mengeluarkan FABA dari kategori limbah B3.
"FABA dari kajian akademik itu bukan B3, malah bisa didaur ulang dan mempunyai nilai ekonomis, ditimbang ditumpuk jadi hamparan yang akan mencemari tanah dan timbul masalah baru," kata Hariyadi.
Hariyadi menjelaskan, negara lain mendaur ulang FABA untuk dijadikan bahan bangunan dan konstruksi.
"Jadi saya tidak tahu kalau ada aktivis lingkungan yang mempersalahkan itu, ya bagaimana, kita lihat saja kenyatannya, di negara lain justru diolah dan menjadi berfungsi karena punya nilai komersil," katanya.
Pertengahan tahun lalu, 16 asosiasi di Apindo mengusulkan penghapusan abu batu bara dari daftar limbah B3. Industri Indonesia menghasilkan FABA sebanyak 10-15 juta ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan hanya 0%-0,96% untuk pemanfaatan fly ash dan 0,05%-1,98% untuk pemanfaatan bottom ash.
https://mobile.twitter.com/TrendAsia_Org/status/1369622308017508353
Organisasi peduli energi dan lingkungan, Trend Asia, menyebutkan dalam akun Twitter-nya bahwa penghapusan itu tidak terlepas dari desakan simultan Apindo dan Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI-ICMA) yang menjadi bagian di dalamnya sejak pertengahan tahun 2020.
"Keputusan pemerintah menghapus limbah batu bara dari kategori limbah berbahaya dan beracun (B3) adalah keputusan bermasalah dan sebuah kabar sangat buruk bagi kelestarian lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat," twit Trend Asia.
https://mobile.twitter.com/TrendAsia_Org/status/1369680315220955142
Abu dari proses pembakaran batu bara pada PLTU, boiler, dan tungku industri tersebut selama ini tercantum pada Tabel 4 Lampiran I Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3.
Pemerintah mendorong pemanfaatan FABA
BBC News Indonesia telah mencoba mengkonfirmasi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait dengan dasar penghapusan FABA dari kategori limbah B3. Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK, Rosa Vivien Rahmawati, hanya mengatakan akan ada penjelasan mengenai hal tersebut kepada media. "Besok [Jumat] ya ada media briefing," jawabnya.
Sementara itu dilansir dari website Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Nani Hendiarti, mengatakan pemerintah mendorong pemanfaatan limbah FABA untuk berbagai keperluan namun harus tetap menerapkan prinsip kehati-hatian.
"Sebelum terbitnya PP 22 Tahun 2021, Kemenko Marves telah mendorong adanya revisi Permen LHK Nomor 10 tahun 2020 tentang Uji Karakteristik Limbah B3 untuk mengakomodasi penyederhanaan prosedur uji limbah FABA agar bisa dikecualikan dari status B3. Ini sebenarnya sudah dibahas secara detail dan sudah diakomodir upaya pengecualian FABA sebagai B3 dan dapat memanfaatkan FABA sambil menunggu hasil uji karakteristik toksikologi sub kronis yang memerlukan waktu cukup lama" kata Nani secara virtual pada Lokakarya Pemanfaatan Fly Ash Bottom Ash (FABA) Selasa (02/03).
Dengan regulasi ini, tambah Nani, PLTU yang banyak menghasilkan FABA sudah bisa begerak cepat dalam menyiapkan skenario dan peta jalan pemanfaatannya.
Dalam acara yang sama, penasihat khusus Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Yohanes Surya, mengatakan dengan keputusan itu maka bisa menurunkan biaya produksi listrik dan mendapatkan keuntungan dari pemanfaatanya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan KESDM pada tahun 2018, proyeksi kebutuhan batu bara hingga 2027 sebesar 162 juta ton. Prediksi potensi FABA yang dihasilkan sebesar 16,2 juta ton, dengan asumsi 10% dari pemakaian batubara.
Cara penanganan limbah abu batu bara hingga saat ini masih terbatas pada penimbunan lahan sehingga jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan pencemaran.
Aplikasi pemanfaatan FABA yang sudah diterapkan di lapangan sebagian besar terkait dengan bidang konstruksi dan infrastruktur.
PLTU Paiton 1-2, PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) telah memanfaatkan 100 persen fly ash sebagai green pozzolan untuk material pembangunan jalan tol Manado - Bitung, di Provinsi Sulawesi Utara.
PLTU Asam Asam memanfaatkan FABA sebagai lapisan jalan dalam pembuatan akses jalan.
PLTU Suralaya memanfaatkan FABA sebagai bahan baku batako dan bahan baku di industri semen.