Polisi Myanmar: Saya Disuruh Tembak Pengunjuk Rasa, Saya Tolak

SiswantoBBC Suara.Com
Kamis, 11 Maret 2021 | 10:58 WIB
Polisi Myanmar: Saya Disuruh Tembak Pengunjuk Rasa, Saya Tolak
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Beberapa anggota polisi dari Myanmar mengatakan kepada BBC bahwa mereka melarikan diri melintasi perbatasan ke India setelah menolak untuk melaksanakan perintah militer yang merebut kekuasaan dalam kudeta bulan lalu.

Dalam beberapa wawancara, lebih dari selusin pembelot memberi tahu kami bahwa mereka melarikan diri karena takut dipaksa untuk membunuh atau mencelakai warga sipil.

"Saya diberi perintah untuk menembak para pengunjuk rasa. Saya jawab mereka bahwa saya tidak bisa."

Selama sembilan tahun, Naing - yang namanya telah kami ubah demi keselamatannya - menjabat sebagai polisi di Myanmar.

Baca Juga: Mengenal Detail Sosok Bobon Santoso, Youtuber Dari Bali Yang Sering Berbagi Ribuan Porsi Makanan Gratis

Sekarang, laki-laki berusia 27 tahun itu bersembunyi di negara bagian Mizoram, India timur laut.

Baca juga:

Saya bertemu dengannya, dan sekelompok polisi berusia dua puluhan, yang mengatakan bahwa mereka melarikan diri dari pekerjaan mereka di kampung halaman, setelah menolak untuk melaksanakan perintah.

"Saya takut akan dipaksa untuk membunuh atau melukai orang-orang tak bersalah yang memprotes militer," kata seorang anggota polisi.

"Kami merasa militer salah telah menggulingkan pemerintah terpilih."

Baca Juga: Mengapa Perempuan Myanmar Pakai Kain Sarung Melawan Kudeta Militer?

Sejak militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw, merebut kekuasaan pada 1 Februari, ribuan pengunjuk rasa pro-demokrasi turun ke jalan.

Pasukan keamanan dituduh telah menewaskan lebih dari 50 orang.

Naing, seorang perwira berpangkat rendah dari sebuah kota di bagian barat negara itu, mengatakan unjuk rasa di daerahnya mulai memanas pada akhir Februari.

Dia mengatakan dia kabur, setelah dua kali menolak untuk menembaki para demonstran.

"Saya bilang pada bos saya bahwa saya tidak bisa melakukan itu, dan bahwa saya akan berpihak pada rakyat.

"Militer gelisah. Mereka menjadi semakin brutal."

Saat kami berbicara, Naing mengeluarkan ponselnya untuk menunjukkan kepada saya foto-foto keluarga yang ditinggalkannya - seorang istri, dan dua anak perempuan yang baru berusia lima dan enam bulan.

"Saya khawatir tidak mungkin bertemu mereka lagi," katanya kepada saya.

Saya bertemu dengannya dan mantan anggota lain di lokasi yang dirahasiakan, menghadap ke bukit dan lembah di negara bagian Mizoram, sementara negara asal mereka Myanmar berjarak kurang dari 16 kilometer dari tempat kami mengobrol.

Petugas yang kami ajak bicara adalah di antara para pembelot pertama yang berbagi kesaksian tentang apa yang menurut mereka terjadi di dalam negeri.

Mereka mengatakan bahwa mereka adalah bagian dari semakin banyak pejabat pemerintah yang bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil (civil disobedience movement, CDM) pro-demokrasi di negara itu.

BBC tidak dapat memverifikasi secara independen klaim apa pun yang dibuat oleh petugas polisi yang berbicara kepada kami.

PBB, AS dan sejumlah negara lain mengutuk pembunuhan warga sipil dalam tindakan keras terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta di Myanmar, dan meminta pihak berwenang untuk menahan diri.

Militer menepis kritik atas tindakannya dan mengatakan siap menahan sanksi dan isolasi setelah merebut kekuasaan.

Menurut pejabat setempat, lebih dari 100 orang telah melarikan diri dari Myanmar ke Mizoram sejak kudeta militer.

Htut - bukan nama sebenarnya - mengenang malam junta militer menggulingkan pemerintah, setelah internet diblokir dan sebuah pos militer didirikan di dekat posnya.

"Beberapa jam kemudian kami mengetahui bahwa militer telah melancarkan kudeta."

Htut, yang berusia 22 tahun, mengatakan dia dan polisi lainnya dipasangkan dengan anggota militer saat berpatroli di jalan. Para pengunjuk rasa yang dengan damai memukul-mukul peralatan masak untuk mendukung gerakan pro-demokrasi diancam akan ditangkap.

Htut, yang berasal dari satu kota besar di Myanmar, mengatakan dia juga diminta untuk menembaki pengunjuk rasa, perintah yang dia tolak.

"Petugas militer yang bertanggung jawab memerintahkan kami untuk menembaki orang yang keluar rumah dalam kelompok lebih dari lima. Saya tahu bahwa orang-orang dipukuli. Saya tidak bisa tidur pada malam hari.

"Ketika saya melihat orang yang tidak bersalah berdarah-darah, hati nurani saya tidak mengizinkan saya untuk ambil bagian dalam tindakan jahat seperti itu."

Htut mengatakan dia adalah satu-satunya petugas dari kantornya yang melarikan diri, menempuh perjalanan dengan sepeda motor. Dia mengatakan dia ketakutan saat pergi dari desa ke desa untuk mencapai perbatasan dengan India.

Mereka yang kami ajak bicara menyeberang ke India melalui sungai Tiau, yang kami kunjungi. Bentangan sungai sepanjang 250 mil (402 km) merupakan bagian dari batas antara India dan Myanmar.

Kelompok-kelompok yang telah kami ajak bicara mengatakan mereka mengharapkan lebih banyak polisi yang menempuh perjalanan berat tersebut ke India dalam beberapa hari mendatang.

Grace, yang namanya telah kami ubah, adalah salah satu dari dua polisi wanita yang membelot yang kami temui.

Dia mengatakan dia melihat militer menggunakan tongkat dan peluru karet untuk menangkap pengunjuk rasa, dan pada satu kesempatan gas air mata ditembakkan ke sebuah kelompok yang di antaranya ada anak-anak.

"Mereka ingin kami membubarkan orang banyak, dan menangkap teman-teman kami, tetapi kami tidak bisa melakukannya," katanya.

"Kami mencintai polisi, tetapi sekarang sistemnya telah berubah, kami tidak dapat melanjutkan pekerjaan kami."


Perempuan berusia 24 tahun itu mengatakan dia juga kesulitan meninggalkan keluarganya di rumah, khususnya ibunya yang memiliki kondisi jantung yang serius.

"Bapak ibu saya sudah tua, dan mereka juga takut. Tapi kami kaum muda tidak punya pilihan selain melarikan diri dan meninggalkan mereka."

Pihak berwenang di Myanmar telah meminta India untuk memulangkan setiap pembelot, untuk "menjaga hubungan persahabatan".

Kepala Menteri Mizoram Zoramthanga mengatakan mereka yang telah tiba harus diberi perlindungan sementara, sementara pemerintah nasional memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Kelompok-kelompok lokal telah memberi tahu kami bahwa mereka memperkirakan lebih banyak pembelot akan menempuh perjalanan ke India dalam beberapa hari mendatang.

Bukan cuma petugas polisi yang melarikan diri.

Kami bertemu dengan seorang penjaga toko yang lari ke Mizoram, setelah pihak berwenang di Myanmar mengeluarkan surat perintah penangkapannya karena membuat ajakan di internet untuk bergabung dengan gerakan pro-demokrasi.

"Saya tidak melarikan diri dengan egois," katanya, menjelaskan mengapa dia mempertaruhkan segalanya untuk pergi.

"Semua orang di negara ini khawatir.

"Saya di sini untuk keselamatan, dan akan terus melakukan apa yang saya bisa untuk mendukung gerakan, dari sisi ini."

Pelaporan tambahan: Aakriti Thapar, Sanjay Ganguly, HC Vanlalruata

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI