Pakar: Terdapat Kekosongan Perlindungan Hukum Kasus Kekerasan Seksual

Siswanto Suara.Com
Selasa, 09 Maret 2021 | 14:54 WIB
Pakar: Terdapat Kekosongan Perlindungan Hukum Kasus Kekerasan Seksual
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak di bawah umur. [SuaraJogja.com / Ema Rohimah]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Terdapat kekosongan perlindungan hukum pada kasus kekerasan seksual sehingga Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual perlu segera dituntaskan dan disahkan, kata pakar hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Sri Wiyanti Eddyono

"Saat ini hanya ada beberapa jenis kekerasan seksual yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan delik dan unsur yang masih terbatas," kata Sri dalam seminar daring yang diadakan Badan Keahlian DPR, Selasa (9/3/2021).

Selain itu, Sri mengatakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang disusun pada tahun 1981 lebih berorientasi pada hak-hak tersangka atau terdakwa daripada hak-hak korban.

Menurut dia, pada saat KUHAP disusun, memang dinilai penting untuk mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa.

KUHAP hanya mengatur hak korban kekerasan seksual dalam dua pasal, yaitu tentang ganti rugi dan proses praperadilan. Sama sekali tidak ada yang mengatur tentang hak korban untuk mendapatkan layanan kesehatan, konseling, dan lain-lain.

"Peraturan perundang-undangan yang ada belum menyediakan skema pelindungan, penanganan, dan pemulihan korban yang komprehensif, terintegrasi, dan berkelanjutan," tuturnya.

Dalam penanganan kasus kekerasan seksual, terutama bila korbannya perempuan, kata Sri, terjadi judicial stereotyping yang menyebabkan aparat penegak hukum menjadi bias gender dalam menjalankan tugasnya.

"Proses peradilan menjadi tidak independen, menyangkal keterangan dari korban, bahkan menstigma dan menyalahkan. Budaya patriarki lebih mempercayai keterangan dari pihak laki-laki daripada perempuan," katanya.

Selain itu, selalu ada upaya untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual di luar peradilan melalui upaya perdamaian secara kekeluargaan atau adat.

Baca Juga: Mendikbud Nadiem Makarim Siapkan Aturan Cegah Kekerasan Seksual di Kampus

Menurut Sri, praktik-praktik seperti itu tidak melindungi korban, tetapi justru melegitimasi perbuatan pelaku kekerasan seksual.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI