Suara.com - Terdapat kekosongan perlindungan hukum pada kasus kekerasan seksual sehingga Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual perlu segera dituntaskan dan disahkan, kata pakar hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Sri Wiyanti Eddyono.
"Saat ini hanya ada beberapa jenis kekerasan seksual yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan delik dan unsur yang masih terbatas," kata Sri dalam seminar daring yang diadakan Badan Keahlian DPR, Selasa (9/3/2021).
Selain itu, Sri mengatakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang disusun pada tahun 1981 lebih berorientasi pada hak-hak tersangka atau terdakwa daripada hak-hak korban.
Menurut dia, pada saat KUHAP disusun, memang dinilai penting untuk mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa.
Baca Juga: Mendikbud Nadiem Makarim Siapkan Aturan Cegah Kekerasan Seksual di Kampus
KUHAP hanya mengatur hak korban kekerasan seksual dalam dua pasal, yaitu tentang ganti rugi dan proses praperadilan. Sama sekali tidak ada yang mengatur tentang hak korban untuk mendapatkan layanan kesehatan, konseling, dan lain-lain.
"Peraturan perundang-undangan yang ada belum menyediakan skema pelindungan, penanganan, dan pemulihan korban yang komprehensif, terintegrasi, dan berkelanjutan," tuturnya.
Dalam penanganan kasus kekerasan seksual, terutama bila korbannya perempuan, kata Sri, terjadi judicial stereotyping yang menyebabkan aparat penegak hukum menjadi bias gender dalam menjalankan tugasnya.
"Proses peradilan menjadi tidak independen, menyangkal keterangan dari korban, bahkan menstigma dan menyalahkan. Budaya patriarki lebih mempercayai keterangan dari pihak laki-laki daripada perempuan," katanya.
Selain itu, selalu ada upaya untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual di luar peradilan melalui upaya perdamaian secara kekeluargaan atau adat.
Baca Juga: Kakak Adik Korban Perkosaan Kakak Ipar di Sumbang Terungkap
Menurut Sri, praktik-praktik seperti itu tidak melindungi korban, tetapi justru melegitimasi perbuatan pelaku kekerasan seksual.
"Hanya 10 persen kasus kekerasan seksual yang terjadi diproses di kepolisian dan tidak lebih dari setengahnya yang diproses hingga ke pengadilan," katanya.
Sementara itu, anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan Maria Ulfah Anshor menyebutkan Catatan Tahunan 2021 Komnas Perempuan mencatat terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 4 persen dibandingkan Catatan Tahunan 2020.
"Kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah domestik, yaitu kekerasan dalam rumah tangga, ranah publik, hingga ranah negara," katanya. [Antara]