Kisah Pasangan yang Dituduh Rusak Tatanan Keluarga Seluruh Jepang

SiswantoBBC Suara.Com
Senin, 08 Maret 2021 | 14:21 WIB
Kisah Pasangan yang Dituduh Rusak Tatanan Keluarga Seluruh Jepang
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mari Inoue adalah seorang profesor ilmu bahasa Inggris di Tokyo, Jepang. Perempuan ini sudah bertunangan dengan kekasihnya tiga tahun lalu. Namun Inoue berkata, mungkin mereka tidak akan pernah menikah.

Bukan pandemi Covid-19 yang menghalangi pernikahan itu, tapi regulasi kuno di Jepang yang mengharuskan pasangan menggunakan satu nama keluarga yang sama.

Secara teori, satu dari dua orang yang menikah dapat menghapus nama keluarga mereka. Biasanya, perempuanlah yang hampir selalu melakukan itu.

Merujuk sebuah kajian di Jepang tahun 2017, 96% orang yang merelakan nama keluarga saat hendak menikah adalah perempuan.

Baca Juga: Atta Halilintar Salah Sebut Namanya saat Latihan Ijab Kabul, Aurel Kesal

"Menurut saya ini tidak adil. Saya dan pasangan saya seharusnya punya pilihan untuk tetap mempertahankan nama keluarga," kata Inoue.

Dan tunangan Inoue, Kotaro Usui, sependapat dengannya. Usui sempat mempertimbangkan menggunakan nama keluarga Inoue, tapi keluarga besarnya berang.

"Saya tidak mau membuat anggota keluarga saya kecewa," kata Usui.

"Kami berharap bisa memilih apakah akan mengganti atau mempertahankan nama keluarga kami," tuturnya.

Jepang adalah satu dari sedikit negara maju yang tidak membiarkan pasangan suami-istri menggunakan nama keluarga berbeda. Kebijakan itu digulirkan melalui peraturan yang mendiskriminasi perempuan, menurut PBB.

Baca Juga: Menikah Tanpa Restu Orangtua, Pinki Tewas Dibunuh Ayah

Enam tahun lalu, dua gugatan yang diajukan untuk mengubah regulasi itu menemui jalan buntu.

Namun gerakan untuk merevolusi peraturan lama tersebut, yang turut diikuti Inou dan Usui, akan terus bergulir.

Pertarungan ratusan tahun

Nama keluarga sejak lama menjadi perihal yang diperebutkan.

Di Inggris, menurut Sophie Coulombeau, akademisi University of York, keinginan perempuan mempertahankan nama belakang dikaitkan dengan "ambisi" yang tidak pantas sejak tahun 1605.

Para perempuan yang menentang tradisi patriarki ini menghadapi amukan dan resistensi. Namun lewat putusan pengadilan, sejak akhir tahun 1800-an beberapa perempuan akhirnya memenangkan hak untuk menggunakan nama mereka.

Pergulatan serupa dilakukan para aktivis hak suara perempuan di Amerika Serikat. Baru tahun 1972 serangkaian keputusan pengadilan memastikan bahwa perempuan dapat menggunakan nama belakang sesuka mereka.

Lebih dari 40 tahun sejak tonggak hukum di AS tadi, banyak orang di Jepang menyongsong momen penting dalam pergulatan mempertahankan nama keluarga.

Kaori Oguni adalah satu dari lima penggugat yang menggugat pemerintah Jepang. Dia menyebut undang-undang tentang nama keluarga tidak konstitusional dan melanggar hak asasi manusia.

Namun tahun 2015, Mahkamah Agung Jepang memutuskan bahwa menggunakan satu nama keluarga dalam sebuah keluarga adalah hal yang masuk akal dan menjunjung tinggi aturan abad ke-19.

"Rasanya seperti ada guru arogan yang memarahi kami," kata Oguni yang masih menggunakan nama lahirnya secara informal.

"Saya berharap pengadilan menghormati hak-hak individu," ujarnya.

Namun pengadilan menyatakan bahwa parlemenlah yang harus memutuskan apakah mereka akan mengesahkan peraturan baru terkait hal ini.

Perpolitikan Jepang, seperti kebanyakan lingkungan pekerjaan di negara itu, didominasi laki-laki.

Di Jepang terdapat budaya yang secara mengakar memandang pengasuhan anak dan urusan rumah tangga sebagai tugas perempuan, bahkan jika sang perempuan bekerja di luar rumah. Seksisme mendarah daging.

Tidak mengherankan jika Jepang memiliki catatan kesetaraan gender yang buruk. Mereka ada di peringkat ke-121 dari 153 negara dalam kajian Forum Ekonomi Dunia terakhir.

Pemerintah Jepang menyebut menginginkan lebih banyak perempuan memasuki angkatan kerja yang menyusut. Tapi ketimpangan gender mereka tampaknya semakin besar. Jepang tergelincir 11 peringkat dari riset kesetaraan gender sebelumnya.

'Kematian sosial'

Sejak 2018, Naho Ida, seorang praktisi komunikasi publik di Tokyo, mengambil tantangan untuk mengubah sudut pandang parlemen Jepang. Dia melobi anggota parlemen untuk mendukung pasangan memiliki nama belakang berbeda.

Naho bergerak melalui kelompok kampanyenya yang bernama Chinjyo Action.

Naho, yang lebih suka menggunakan nama depannya pada referensi kedua, menilai aturan tentang penamaan merupakan bukti subordinasi perempuan.

Ida adalah nama mantan suaminya. Ketika mereka menikah pada tahun 1990-an, suaminya merasa sangat malu untuk mengambil nama belakang Naho.

Baik orang tuanya maupun ayah-ibu suaminya setuju bahwa perubahan nama belakang itu harus ditanggung olehnya. "Saya merasa seperti diserang oleh nama keluarga baru saya," katanya.

Naho yang kini berusia 45 tahun berhenti menggunakan nama belakang Ida untuk urusan profesional. Nama itu menyertai nama depannya selama beberapa dekade terakhir.

Kini pernikahan kembali menghadapkan Naho pada nama belakang resmi ketiga yang tidak dia inginkan.

"Beberapa orang dengan senang hati menghadapi perubahan, tapi saya menganggapnya sebagai kematian sosial," kata Naho kepada BBC.

Tanda-tanda perubahan

Munculnya Yoshihide Suga sebagai perdana menteri baru Jepang tahun lalu dengan cepat meningkatkan harapan di antara aktivis seperti Naho.

Penyebabnya, Suga secara terbuka mendukung reformasi aturan nama belakang.

Namun Desember lalu pemerintah Jepang mengingkari cita-cita pemberdayaan perempuan. Mereka memperlemah program kesetaraan gender dengan tidak mencantumkan masalah nama keluarga.

"Ini dapat menghancurkan struktur sosial yang berbasis rumah tangga," kata Sanae Takaichi, mantan menteri urusan dalam negeri, Desember lalu.

Pekan kemarin, menteri baru Jepang untuk bidang pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, Tamayo Marukawa, menentang perubahan hukum yang memungkinkan perempuan tetap dapat menggunakan nama lahir mereka.

"Bagi banyak kalangan di Jepang, perempuan yang tidak ingin memakai nama keluarga suaminya tidak hanya mengganggu keluarga inti, tapi juga seluruh gagasan tentang keluarga", kata Linda White, profesor kajian Jepang di Middlebury College, AS.

White memaparkan bagaimana sistem tradisional koseki—daftar keluarga yang didasarkan pada marga tunggal—turut melestarikan kendali patriarki, dari pemerintah hingga bisnis besar.

Masyarakat Jepang sendiri sepertinya membuka diri terhadap perubahan. Survei baru-baru ini menunjukkan dukungan mayoritas sikap yang menerima pasangan suami-istri dengan nama keluarga berbeda.

Jajak pendapat oleh Chinjyo Action dan Waseda University bulan Oktober lalu mencatat, 71% responden mereka mendukung pemberian hak terhadap setiap individu untuk menentukan nama belakang.

Dalam lanskap yang sedang berubah ini, sembilan gugatan hukum baru sedang diajukan. Tidak seperti sebelumnya, ketika semua, kecuali satu penggugat, adalah perempuan, hampir setiap gugatan baru ini melibatkan laki-laki.

Tampaknya ini adalah strategi yang secara sadar disusun dalam sebuah gerakan. Banyak tokoh terkemuka membingkai perdebatan ini dalam sudut pandang hak asasi manusia, bukan semata-mata hak perempuan atau feminisme.

"Ini lebih merupakan masalah identitas dan kebebasan individu ketimbang feminisme," kata pengacara yang memimpin gugatan ini, Fujiko Sakakibara.

"Kami ingin menunjukkan bahwa tradisi itu juga berdampak pada pria dalam tingkat yang sama seperti wanita," tuturnya.

Dari 18 penggugat yang sekarang terlibat dalam sengketa nama keluarga, setengahnya adalah laki-laki.

Salah satunya adalah figur terkemuka dari perusahaan perangkat lunak yang berbasis di Tokyo. Dia secara resmi mengambil nama belakang istrinya setelah menikah.

Penggugat lainnya adalah Seiichi Yamasaki. Pensiunan pegawai negeri sipil itu sudah menjalin hubungan dengan pasangannya selama 28 tahun. Mereka tidak meresmikannya dalam bentuk pernikahan karena menganggap keharusan mengubah nama belakang tidak adil.

Yamasaki yang kini berumur 71 tahun berharap generasi mendatang memiliki pilihan. Keterlibatan laki-laki lanjut usia ini juga menunjukkan bahwa ada keinginan serupa di antara orang-orang berumur lebih tua.

Desember lalu tiga gugatan, termasuk yang diajukan Yamasaki dirujuk ke Mahkamah Agung. Ini adalah sebuah langkah yang dipandang positif oleh tim pengacara penggugat karena mengindikasikan pengadilan akan membuat keputusan baru terkait aturan nama keluarga.

"Suara laki-laki telah membuat perbedaan besar," kata Naho. Dia mengakui pentingnya peran laki-laki dalam mengakhiri tradisi patriarki.

Tapi apa sebenarnya arti sebuah nama?

Dampak negatif pergantian nama terhadap karier adalah pendorong besar banyak perempuan mendambakan perubahan regulasi.

Prosedur pergantian nama yang berbelit merupakan salah satu pendorong lainnya.

Mereka yang memilih untuk tidak menikah karena regulasi ini juga menyebut konsekuensi buruk yang mereka hadapi. Di antaranya adalah sistem keperawatan rumah sakit di mana hanya pasangan yang menikah secara sah yang dapat membuat keputusan atas nama satu sama lain.

Dan faktor yang benar-benar menjadi perhatian banyak perempuan adalah identitas.

Izumi Onji, seorang ahli anestesi di Hiroshima, mengambil langkah tidak biasa dengan menceraikan suaminya untuk mendapatkan kembali nama belakangnya.

Langkah yang dilakukan Onji Ini disebut "perceraian kertas" karena setelah bercerai mereka masih hidup bersama.

"Nama itu menunjukkan siapa saya. Itu identitas saya," kata perempuan berusia 65 tahun itu dengan lugas.

Onji, yang juga menggugat aturan nama keluarga ke pengadilan, tahu dia adalah satu dari segelintir orang yang akan menggunakan regulasi baru.

Mayoritas perempuan Jepang, seperti banyak perempuan di Inggris dan AS, masih tetap akan menghapus nama keluarga mereka setelah menikah.

Hal itu setidaknya dikatakan Mihiko Sato (nama samaran). Ibu dua anak ini mengadopsi nama belakang suaminya. Ia menilai itu keputusan "alami" agar merasa "lebih bersatu" dengan pasangannya sebagai sebuah keluarga.

Banyak perempuan Inggris yang sudah menikah mungkin sependapat dengan Sato. Hampir 90% dari mereka meninggalkan nama belakang setelah menikah, menurut sebuah survei tahun 2016.

Kebiasaan mengubah nama belakang yang terus berlanjut mengejutkan para peneliti, terutama pada era kesadaran gender dan saat lebih banyak perempuan mengidentifikasi dirisebagai feminis.

Bahkan para perempuan yang tidak menganggap dirinya feminis, seperti banyak perempuan di Jepang, menilai tradisi lama tidak boleh digunakan untuk mengekang pilihan.

"Setiap orang berhak memilih nama belakangnya sendiri," kata Sato.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI