Suara.com - Presiden Joko Widodo didesak mencopot Kepala Staf Presiden, Moeldoko, setelah dia ditetapkan sebagai ketua umum Demokrat versi Kongres Luar Biasa Deli Serdang, Sumatera Utara.
Ini agar nama Presiden Jokowi tidak terseret dalam konflik internal antarfaksi di tubuh partai.
Pasalnya, kisruh yang berujung pada penetapan Moeldoko sebagai ketua umum itu disebut pengamat memunculkan persepsi beragam di publik.
Selain demi kontestasi pilpres 2024, di sisi lain, pemerintahan Jokowi dianggap membungkam suara kritik dari kelompok oposisi seperti yang terjadi di era Orde Baru.
Baca Juga: Dijaga Ketat! Pendukung AHY-Moeldoko Dilarang Masuk ke Kemenkumham
Penyelenggara kongres luar biasa di Deli Serdang bakal melaporkan dan mendaftarkan kepengurusan baru Demokrat ke Kementerian Hukum dan HAM pekan ini.
- AHY jadi ketum Demokrat, antara bayang-bayang SBY dan 'ekspektasi yang terlampau besar'
- Dekati Anies hingga PKS : Nasdem 'cari peluang menguntungkan' untuk Pilpres 2024
- Politik 'dua kaki' Partai Demokrat: 'Batu loncatan AHY di Pilpres 2024'
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Sandra Luky menilai manuver yang dilakukan Moeldoko hingga akhirnya dipilih menjadi ketua umum Demokrat di kongres luar biasa pada Jumat (05/02) merupakan strategi untuk ikut dalam kontestasi pilpres 2024.
Sebab pada pemilu 2024 figur-figur yang akan maju adalah wajah baru lantaran tidak ada pesaing kuat berlatar petahana.
Untuk itu, Moeldoko, menurut Sandra, membutuhkan kendaraan politik yang mumpuni.
"Kebetulan terjadi konflik internal di Demokrat. Banyak pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil kongres terakhir dan mereka tidak diberi tempat. Karena mereka-mereka ini juga bukan orang sembarangan di Demokrat," ujar Sandra Luky kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (07/03).
Baca Juga: Ambisi Capres Cuma Mimpi, Demokrat Bakal Hancur di Bawah Moeldoko?
Moeldoko, kata dia, membidik kendaraan politiknya dengan tepat. Pasalnya, Demokrat sudah teruji menang di dua pemilu, yakni 2004 dan 2009.
Sementara jika mendirikan partai baru, membutuhkan biaya besar dan mahal.
Kendati elektabilitas Moeldoko sebagai capres di sejumlah survei kalah jauh dari Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto, tapi hal itu bisa dipoles dalam waktu tiga tahun.
Apalagi jika ia kerap tampil di media dan berhasil menggaet suara kelompok muda.
"Banyak nama-nama yang sebentar bisa melejit. SBY salah satu contoh, dulu ditanya Megawati Soekarnoputri bilangnya tidak akan maju. Begitu ada kendaraan (partai), maju dan menang."
"Kalau elektabilitas mudah dipoles dan ini masih panjang tiga tahun."
"Yang penting partai ada dan ada modal finansial. Nah partai-partai yang akan merapat dengan sendirinya."
Sandra juga meyakini keberadaan Moeldoko yang dekat dengan pemerintah saat ini akan mendapat dukungan dari Kemenkopolhukam untuk mendaftarkan kepengurusannya.
Bumerang bagi pemerintahan Jokowi
Tapi pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, menilai keputusan Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menerima pinangan Kongres Luar Biasa Deli Serdang, Sumatera Utara, bakal menjadi bumerang bagi Presiden Jokowi.
Sebab publik akan memandang pemerintah berupaya meredam suara kritik dari kelompok oposisi seperti di era Orde Baru.
"Bahwa ini mengingatkan kita pada Orde Baru di mana pemerintah mengintervensi PDI dan PPP hingga pemilihan ketua umum untuk meredam konflik," ujar Mada Sukmajati kepada BBC News Indonesia.
"Dia (Moeldoko) menyeret image publik yang tidak baik terhadap pemerintah."
Secara etika, menurutnya, apa yang dilakukan Moeldoko "tidak bagus" karena ia bagian dari pemerintahan Jokowi.
Karena itu ia mendesak Presiden Jokowi mencopot jabatannya sebagai Kepala Staf Presiden sampai ada keputusan yang final dari Kementerian Hukum dan HAM.
Apa kata pemerintah?
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM, Mahfud MD, membantah anggapan yang menyebut pemerintah "mengawal jalannya Kongres Luar Biasa".
Pemerintah, imbuhnya, tidak bisa melarang jalannya KLB. Sikap serupa juga dilakukan kala Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden.
Dasar sikap itu, merujuk pada Undang-Undang Partai Politik.
Hingga saat ini, katanya, pemerintah menganggap KLB Deli Serdang "tidak ada dan tidak tahu" karena belum dilaporkan secara resmi hasilnya.
Tapi jika sudah laporan maka pemerintah akan menanganinya secara hukum.
"Dasar penyelesaiannya adalah UU Parpol dan berdasarkan AD/ART yang diserahkan terakhir dan berlaku pada saat sekarang ini," ujar Mahfud Md dalam video yang diterima BBC News Indonesia, Minggu (07/03).
"Berdasarkan itu maka Ketua Umum Demokrat sampai saat ini adalah AHY."
Seperti apa konflik internal Partai Demokrat?
Penggagas Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang, Darmizal, mengatakan kisruh yang terjadi di tubuh partai berlambang mercy ini bermula dari kongres keempat pada Mei 2015 di Surabaya, Jawa Timur.
Di situ, katanya, Susilo Bambang Yudhoyono yang terpilih menjadi Ketua Umum mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) tanpa persetujuan peserta kongres.
Di antaranya mencabut wewenang di Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dalam memilih ketua. Yang mana DPC maupun DPD hanya bisa memilih tiga calon untuk diusulkan ke Dewan Pimpinan Pusat (DPP) yang kemudian menentukan.
"Ini enggak ada di AD/ART sebelumnya," ujar Darmizal kepada BBC News Indonesia.
Hal lain, katanya, seluruh seluruh DPC tingkat kabupaten dan kota wajib menyetor dana ke DPP setiap bulan.
"Sudahlah mereka dikebiri wewenang dan perannya ditarikin uangnya, kemudian mereka kehilangan hak-haknya untuk menyampaikan aspirasi."
Kemudian penentuan struktur jabatan tinggi partai yang diduduki oleh anak-anak SBY dengan posisi rangkap jabatan.
"Alangkah ribetnya arisan keluarga ini. Orang lain jadi apa?"
Kegelisahan itu, klaim Darmizal, diutarakan kepada kader senior partai termasuk kepada Moeldoko karena dianggap sebagai sosok yang terbuka dan mengayomi.
Tapi pertemuan tersebut, kata Darmizal, dianggap Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono sebagai kudeta. Pernyataan kudeta itu lantas menimbulkan gejolak besar.
"Kalau dia (AHY) tidak pidato soal kudeta Demokrat sampai hari ini saya yakin itu (partai) tentram. Tapi dia pidato atas satu hal kecil yang menimbulkan gejolak besar."
"Ketika kader-kader yang buntu jalannya bertemu dia (AHY) dibantu kita, dia punya persepsi lain. Meledaklah."
Dia mengatakan keputusan meminang Moeldoko sebagai Ketua Umum Demokrat baru muncul pada Kamis (04/03) atau sehari sebelum penyelenggaraan KLB.
Selanjutnya pihaknya akan segera mendaftarkan kepengurusan Partai Demokrat dalam Kongres Luar Biasa itu ke Kementerian Hukum dan HAM pekan ini.
"Lebih cepat, lebih baik."
Kendati demikian, dia belum mau bicara mengenai pencalonan Moeldoko sebagai capres 2024. Baginya yang terpenting saat ini melakukan konsolidasi dan menjalankan program-program jangka pendek dan panjang.
"Pilpres itu cita-cita setiap partai. Tapi kapan dimulai? Masih harus membuat perencanaan yang baik."
Presiden harus bertindak tegas kepada Moeldoko
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Demokrat, Imelda Sari, menyebut KLB Deli Serdang tidak sah dan ilegal. Pasalnya pihak yang menyelenggarakan bukan lagi kader Demokrat lantaran berdasarkan keputusan mahkamah partai pada akhir Februari lalu, tujuh anggota senior dipecat dengan tidak hormat.
Selain itu, KLB tersebut tidak didukung oleh 2/3 pengurus DPD dan setengah DPC sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
"93% pemegang hak suara enggak ada dan 34 DPC itu petugas plt semuanya. Sehingga tidak ada satupun ketua DPD dan DPC yang hadir dalam KLB."
Untuk itu partai, ujar Imelda, akan melaporkan pihak penyelenggara yang mengatasnamakan kader ke polisi atas sangkaan pemalsuan dokumen.
Ia juga meminta Presiden Jokowi agar bersikap tegas terhadap anak buahnya yakni Moeldoko yang menjabat sebagai Kepala Staf Presiden.
Bagi Imelda, ditetapkannya Moeldoko sebagai Ketua Umum tidak bisa lagi disebut masalah internal partai. Justru, katanya, orang di lingkaran Istana Presiden yang telah memicu guncangan politik di Demokrat.