Gagalnya RUU Menunjukan Pemilu Hanya Untuk Perebutan Kekuasaan

Jum'at, 05 Maret 2021 | 05:34 WIB
Gagalnya RUU Menunjukan Pemilu Hanya Untuk Perebutan Kekuasaan
Ilustrasi politik.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Partai Politik yang Inklusif, Relevan, dan Responsif menilai, gagalnya rancangan undang-undang (RUU) Pemilu untuk dibahas lebih jauh menjadi wujud dari pergelutan antar partai politik demi kekuasaan semata.

Penyelenggaraan pemilu selama ini dianggap mereka mengabaikan nilai-nilai demokrasi demi suara rakyat.

Pembahasan soal revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di DPR RI mendadak hangat diperbincangkan pada awal Februari 2021. Itu disebabkan karena pecahnya pendapat antar fraksi mengenai urgensi RUU Pemilu.

Mayoritas fraksi yang notabene merupakan partai politik pendukung pemerintah mendadak menginjak rem untuk pembahasan revisi UU Pemilu.

Baca Juga: Hasil Survei NSN: Jika Pemilu Digelar Saat Ini, PDIP dan PSI Kuasai Jakarta

"Fraksi-fraksi di DPR (kecuali non-koalisi pemerintah) yang awalnya mendukung wacana revisi lantas merubah haluannya dengan ikut menolak revisi UU Pemilu," kata Peneliti The Indonesian Institute (TII), Rifqi Rachman dalam keterangan tertulisnya, Jumat (5/3/2021).

Kemudian menurut Titok Hariyanto selaku Direktur Atmawidya Alterasi Indonesia, kegagalan revisi UU Pemilu itu memperlihatkan adanya masalah dalam komunikasi politik antar politisi serta reduksi dalam memahami ideologi partai politik, ketika para politisi lintas partai saling berinteraksi dalam isu-isu strategis.

Titok memandang kondisi yang terjadi di parlemen itu justru membuatnya memahami kalau partai politik lebih memikirkan kepentingan politik sesaatnya, ketimbang kepentingan strategis yang dihadapi dan menjadi tantangan bangsa di masa depan.

"Gagalnya revisi UU Pemilu mengisyaratkan bahwa penyelenggaraan Pemilu di Indonesia hanya mengedepankan nilai kekuasaan semata tanpa mempertimbangkan esensi nilai demokrasi lain, kesetaraan dan akuntabilitas," ungkap Titok.

Keadaan tersebut dikatakannya bakal menurunkan kepercayaan dan ikatan antara partai politik dengan pemilih menjadi sangat rendah. Padahal, revisi UU Pemilu dapat menjadi kesempatan yang strategis untuk memasukkan pewacanaan keterlibatan masyarakat, terutama generasi muda, baik partisipasi politik secara umum dan kontestasi elektoral secara khusus.

Baca Juga: Wagub Lampung Nunik Bantah Terima Uang Mahar Politik Pilgub Lampung

Melihat persoalan di atas, maka penguatan partai politik menjadi sebuah keharusan jika ingin tetap relevan dan tidak ditinggal para pemilihnya, terutama generasi muda.

Dengan begitu itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Partai Politik yang Inklusif, Relevan dan Responsif, yang terdiri dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Atmawidya Alterasi Indonesia (AAI), AVERROES, Daya Riset advokasi Untuk Perempuan dan Anak Di Indonesia (Droupadi), dan Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP), berkomitmen untuk bersama-sama mendorong penguatan partai politik dengan sejumlah agenda.

Agenda yang dimaksud ialah:

  1. Mendorong partai agar lebih inklusif, terutama bagi generasi muda;
  2. Mendorong partai agar lebih relevan, termasuk ke kelompok akar rumput dan marjinal;
  3. Memperkuat demokrasi internal partai;
  4. Meningkatkan kelembagaan partai, termasuk pengelolaan partai, serta
  5. Meningkatkan kinerja partai dalam menjalankan fungsinya.

Berdasarkan agenda awal di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Partai Politik yang Inklusif, Relevan dan Responsif mengusulkan beberapa rekomendasi awal yang perlu diperhatikan dan dilakukan oleh partai politik untuk kebutuhan reformasi internal partai dan inklusi kaum muda dalam partai politik.

Berikut beberapa rekomendasi tersebut:

  1. Membuka proses rekrutmen keanggotaan yang lebih luas dan terbuka, termasuk untuk generasi muda;
  2. Memperkuat peran dan posisi kader muda melalui peningkatan kapasitas dan pelibatan dalam hal-hal substantif partai politik;
  3. Memperbaiki model komunikasi dan intensitas komunikasi dengan aktor-aktor demokrasi yang lain;
  4. Mempromosikan partai demokrasi yang dibangun di atas ideologi, platform, dan kode etik, bukan didasarkan pada personalisasi atau dinasti politik;
  5. Penguatan kelembagaan partai, khususnya melalui internalisasi dan implementasi ideologi, platform, dan program partai serta memaksimalkan fungsi penelitian dan pengembangan untuk mendorong kebijakan berbasis data;
  6. Memperbaiki tata kelola organisasi partai, terutama tentang merit dan sistem demokrasi, pembiayaan partai yang transparan dan akuntabel, dan penyelesaian konflik, serta
  7. Melakukan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan berkala tentang pelaksanaan fungsi partai.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI