Suara.com - Tim peneliti Universitas Padjadjaran (Unpad) mulai menggelar uji klinis vaksin rekombinan Covid-19 Anhui, pada Rabu (3/3). Namun, apa yang membuat vaksin Anhui ini berbeda dengan vaksin Sinovac?
Berikut beragam hal yang patut Anda ketahui soal vaksin Anhui.
Bagaimana pelaksanaan uji klinis?
Uji klinis vaksin Anhui akan berjalan paralel hingga enam bulan ke depan di enam rumah sakit di Kota Bandung dengan melibatkan 2.000 relawan. Uji klinis vaksin Anhui ini tidak hanya dilakukan di Kota Bandung, tapi juga di Jakarta dengan jumlah relawan yang sama. Sehingga total jumlah relawan uji klinis vaksin Anhui mencapai 4.000 orang.
Vaksin Covid-19 Anhui dikembangkan Anhui Zhifei Longcom Biopharmaceutical, perusahaan farmasi yang juga mengembangkan vaksin meningitis untuk jemaah haji dan umrah di Indonesia. Untuk uji klinis fase 3, Tim Uji Klinis Vaksin dari Fakultas Kedokteran Unpad disponsori PT. BCHT Bioteknologi Indonesia, selaku perusahaan penanaman modal asing dari Anhui.
Baca Juga: Lansia di Hongkong Meninggal Usai Divaksin Sinovac, Ini Penjelasannya
Uji klinis vaksin Anhui digelar pula di sejumlah negara, yakni Tiongkok sebagai negara produsen, Pakistan, Ekuador, dan Uzbekistan. Target relawan yang terlibat dalam uji klinis vaksin Anhui fase tiga ini sebanyak 29.000 orang di dunia.
Baca juga:
- Apa perbedaan vaksin China, Sinovac dan Sinopharm serta merek lain?
- Empat hal yang belum diketahui tentang vaksin Covid-19
- Vaksinasi massal Covid-19 tanpa tes dan telusur kontak yang memadai 'akan membiarkan virus corona leluasa menyebar'
Uji klinis vaksin Anhui telah melewati fase 1 dan 2 di China. Fase 1 melibatkan 50 orang dan fase 2 sebanyak 900 orang.
"Berdasarkan summary report yang kami dapat untuk fase 1 dan fase 2 (hasilnya) aman untuk vaksin rekombinan ini. Namun sama halnya dengan vaksin lain, kemungkinan terjadi reaksi di tiap orang atau muncul efek samping sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), bisa ada reaksi lokal, bisa reaksi sistemik. Untuk gejala lokal, sama seperti vaksin lainnya, gatal dan nyeri di lokasi suntikan, kalau sistemik demam atau pusing," kata juru bicara tim uji klinis vaksin rekombinan Covid 19 Anhui Universitas Padjadjaran (Unpad) fase 3, Muhammad Faisal, saat dihubungi, Rabu (03/03).
Apa bedanya dengan vaksin Sinovac?
Bandung kembali menjadi lokasi uji klinis vaksin Covid-19. Hanya saja, vaksin yang diteliti kali ini berbeda platform dengan Sinovac. Sinovac menggunakan platform inactivated virus atau virus SAR CoV-2 yang dimatikan, sedangkan Anhui berbasis rekombinan.
Baca Juga: Tim Uji Klinis Unpad Belum Pastikan Efektivitas Sinovac Lawan Corona B117
Rekombinan atau subunit protein adalah platform vaksin yang diambil dari spike glikoprotein atau bagian kecil virus yang akan memicu kekebalan tubuh saat disuntikan ke tubuh manusia.
"Vaksin rekombinan ini kita ambil subunit material protein dari Novel Corona Virus, bagian dari glikoproteinnya. Jadi ada protein permukaan yang kita ambil, kemudian kita gunakan dalam pembuatan vaksin rekombinan ini, sehingga kita harapkan ketika dimasukan vaksin yang berisi protein tersebut akan menginisiasi pembentukan imunitas atau antibodi. Materi protein glikoprotein ini berfungsi memediasi proses penempelan dan juga masuknya si virus untuk menginfeksi manusia," papar Faisal.
Secara teori, vaksin rekombinan menimbulkan daya tahan tubuh lebih lama dibanding virus yang dimatikan. Hal itu terbukti pada vaksin rekombinan Hepatitis B. Vaksin rekombinan Covid 19 ini diharapkan bisa memberikan kekebalan yang lebih lama.
"Kekebalan bisa sampai dua tahunan, tapi harus melihat lagi efikasi dari hasil uji klinis tahap 3 ini," ujar Faisal.
Apa kontroversi di balik pelaksanaan uji klinis vaksin Anhui?
Untuk mengikuti uji klinis vaksin Anhui fase 3 ini, relawan harus memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain berusia di atas 18 tahun, sehat, tidak terinfeksi dan kontak dengan pasien covid-19, subjek perempuan tidak hamil selama empat bulan pertama masa penelitian, bukan penerima vaksin, dan belum pernah jadi relawan uji klinis vaksin Sinovac.
Uji klinis vaksin Anhui ini bisa dikuti oleh lansia. Relawan yang memenuhi syarat akan diberikan vaksin sebanyak tiga dosis dengan interval satu bulan.
"Selama 12 bulan dari penyuntikan terakhir akan dipantau kesehatan relawan secara medis," kata Faisal.
Sama halnya dengan uji klinis vaksin Sinovac, sebagian relawan secara acak akan diberi placebo atau suntikan hampa.
"Jadi probabilitasnya 1 banding 1. Siapa yang dapat vaksin aslinya dan siapa yang dapat placebonya itu sudah diacak. Kami sebagai peneliti juga tidak tahu. Untuk kelompok yang mendapatkan placebo akan mendapatkan vaksin setelah penelitian ini selesai," kata Faisal.
Namun, pakar biologi molekuler, Ahmad Utomo, menilai penelitian cara konvensional dengan menyuntikkan placebo kepada relawan kurang tepat di saat program vaksinasi Covid-19 telah dimulai. Ahmad menyebutkan, vaksin Anhui terlambat jika menerapkan uji klinis dengan cara tersebut.
"Masalahnya sekarang sudah ada vaksin. Kalau dulu, ketika di awal-awal, ketika pengembangan vaksin masih di titik garis start yang sama, itu wajar pembandingnya adalah placebo. Tapi sekarang sudah ada vaksin,' ujar Ahmad.
Metode penelitian dengan placebo, menurut Ahmad, juga menimbulkan dilema etis lantaran relawan yang secara acak mendapat placebo berarti "melepaskan dirinya dari mendapatkan vaksin yang sebenarnya punya daya efikasi yang sudah teruji."
Terlebih lagi bila yang mendapat placebo itu relawan lansia, kelompok masyarakat yang semestinya mendapat prioritas karena rentan terkena Covid-19 dengan gejala berat, bahkan meninggal.
Ahmad menyarankan, sebaiknya uji klinis dilakukan tanpa membandingkan dengan placebo, tapi vaksin yang sudah ada.
"Ketika nanti harus merekrut lansia karena mereka ingin fokus juga ke lansia, saran saya, jangan dibandingkan dengan placebo, tapi bandingkan juga dengan lansia yang diberikan vaksin Sinovac. Jadi memang head-to-head apakah punya efikasi yang setara atau tidak. Karena kalau ternyata lebih buruk dari Sinovac berarti itu tidak layak untuk digunakan. Syukur kalau lebih bagus," katanya.
Sebab itu, lanjut Ahmad, relawan, termasuk relawan lansia, harus paham risikonya jika mereka ada peluang mendapatkan placebo. Artinya tidak mendapat kekebalan dan mereka harus waspada terhadap risiko tertular Covid-19 dan kemungkinan terkena gejala yang tidak ringan.
Dilema ketersediaan vaksin dan waktu penelitian
Vaksin Anhui ditujukan untuk memenuhi kebutuhan vaksin Covid-19.
Keterbatasan stok vaksin Covid-19 dikeluhkan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, yang memimpin provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia.
"Kita tahu juga jumlah vaksin kita terbatas. Contoh, untuk tahap kedua, yaitu vaksin untuk lansia dan profesi-profesi yang berinteraksi dengan publik, itu kita mengajukan 6 juta orang yang kami registrasi. Tapi karena keterbatasan, kami hanya diberi 1,2 juta vaksin. Karena itu, kami akan menghitung dari 6 juta itu mana yang prioritas," kata Ridwan Kamil, seusai menghadiri peluncuran uji klinis vaksin rekombinan Covid 19 Anhui, di Gedung FK Unpad - RSHS, Jalan Eyckman Kota Bandung, Rabu.
Emil khawatir herd immunity tidak akan terbentuk lantaran lambannya pelaksanaan vaksinasi Covid 19 akibat terbatasnya stok vaksin. Dengan adanya vaksin Anhui, Emil berharap di akhir tahun, kebutuhan vaksin bisa tercukupi.
"Harapannya seiring waktu, masalah ketersediaan vaksin Covid-19 ini bisa dicukupi, salah satunya oleh vaksin Anhui ini. Tapi butuh waktu sekitar enam bulan dari hari ini untuk berakhir dengan sukses, untuk diumumkan oleh BPOM, MUI, dan sebagainya, sehingga akhir tahun kita berlimpah produksi vaksin dari Anhui ini melengkapi kekurangan-kekurangan vaksin yang tersedia," kata gubernur yang sempat menjadi relawan uji klinis vaksin Sinovac.
Masalah ketersediaan vaksin Covid-19, menurut pakar biologi molekuler, Ahmad Utomo, memang menimbulkan dilema.
Di satu sisi, pemerintah harus memenuhi kebutuhan vaksin bagi warganya dengan segera untuk mengejar herd immunity. Tapi, di sisi lain, stok vaksin di dunia terbatas, sementara memproduksi vaksin butuh waktu dan tidak bisa diburu-buru.
Apalagi, vaksin Anhui perlu tiga bulan untuk tiga dosis suntikan dan waktu bagi terbentuknya kekebalan tubuh. Sedangkan, penularan virus SAR CoV-2 masih terus terjadi.
"Memang kita dalam posisi agak dilematis ya karena sebetulnya yang namanya pemberian dosis kedua itu lebih bagus tidak diberikan dengan buru-buru karena itu terkait dengan proses maturasi sel B. Jadi, kalau hari ini di vaksin pertama kali, itu akan memicu terjadinya reaksi imun maksudnya reaksi dari sel B. Nah, sel B ini akan berproses, perlu waktu supaya sampai dia menuju dewasa atau maturasi.
"Tapi kalau diberikannya relatif lebih cepat katakan kurang lebih dari 1 bulan mungkin nanti reaksinya tidak akan optimal karena dia belum se-mature yang semestinya, maka memang idealnya setelah 1 bulan. Cuma sekarang ini dilematisnya total produksi vaksinnya sendiri itu kan juga terbatas dan ini pasti ada konsekuensi masing-masing karena jumlahnya terbatas," kata Ahmad.
Ahmad mencontohkan, jika stok vaksin Covid hanya satu juta dosis dengan minimal dua kali penyuntikan, maka hanya 500.000 orang yang bisa divaksin. Sementara, kalau diberikan semuanya dengan dosis satu kali suntik, berarti cakupannya bisa lebih banyak menjadi satu juta orang.
"Nah, makanya di sini ada dilema juga, apakah kita mau memperbanyak dulu minimal dapat memicu munculnya antibodi. Walaupun belum optimal, tapi jumlahnya lebih banyak yang bisa disuntikkan atau kita fokus ke populasi yang tidak banyak, tetapi mereka mendapatkan proteksi yang optimal. Itu memang dilema karena masalahnya ketersediaan vaksin Covid-19 terbatas," ujar lulusan Harvard Medical School Amerika Serikat ini.
Ahmad menyebutkan, diperlukan empat miliar orang yang divaksin sedunia untuk mencapai kekebalan kelompok. Namun, masih ada berapa puluh negara belum sempat divaksin satu dosis pertama pun. Kondisi yang juga memicu isu kesetaraan.
Wartawan di Bandung, Yuli Saputra, berkontribusi untuk artikel ini.