Suara.com - Perserikatan Bangsa Bangsa mengungkapkan sedikitnya 38 orang tewas pada Rabu (3/3) dan menjadi hari "paling berdarah" sejak Myanmar dilanda krisis 1 Februari.
"Hanya hari ini, 38 orang tewas," utusan PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mengatakan kepada wartawan pada Rabu, disadur dari Channel News Asia, Kamis (4/4/2021).
Christine menambahkan bahwa lebih dari 50 orang tewas secara total sejak kudeta yang dilakukan militer sejak 1 Februari.
"Hari ini adalah hari paling berdarah sejak kudeta terjadi," katanya, tanpa memberikan rincian lebih lanjut, termasuk rincian kematian.
Baca Juga: Militer Myanmar Tembaki Demonstran Hingga Tewas Meski Aksi Damai
Christine juga meminta PBB untuk mengambil "tindakan yang sangat keras" terhadap para jenderal. Ia juga menyebutkan bahwa dalam percakapannya dengan pihak militer, mereka telah menepis ancaman sanksi.
"Saya akan terus maju, kami tidak akan menyerah," katanya.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak 1 Februari ketika militer menggulingkan dan menahan Aung San Suu Kyi, pemimpin sipil yang memenangkan pemilihan.
Tekanan dari internasional semakin meningkat seiring dengan kondisi Myanmar yang semakin hari semakin banyak korban berjatuhan.
Inggris telah menyerukan pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada hari Jumat, dan setelah kerusuhan hari Rabu, Amerika Serikat mengatakan sedang mempertimbangkan tindakan lebih lanjut.
Baca Juga: Sedikitnya 18 Pendemo di Myanmar Tewas, Uni Eropa Siap Jatuhkan Sanksi
"Kami meminta semua negara untuk berbicara dengan satu suara untuk mengutuk kekerasan brutal oleh militer Burma terhadap rakyatnya sendiri." ujar juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price.
Ned Price memilih China, negara yang dianggap musuh AS yang sering dianggap oleh militer Myanmar sebagai sekutu utamanya.
"China memang memiliki pengaruh di kawasan itu. Itu memang memiliki pengaruh dengan junta militer. Kami telah meminta China untuk menggunakan pengaruh itu dengan cara yang konstruktif, dengan cara yang memajukan kepentingan rakyat Burma," kata Price.
Price juga mengatakan Amerika Serikat, yang telah menjatuhkan sanksi kepada para pemimpin junta, sedang mempertimbangkan tindakan lebih lanjut.