Suara.com - Pria terakhir suku Juma di hutan Amazon, Brasil, meninggal setelah tertular Covid-19.
Kematian Aruká baru-baru ini merupakan pukulan bagi suku asli di "Negeri Samba" itu, yang jumlahnya menurun drastis dari sekitar 15.000 orang pada awal abad ke-20 menjadi hanya enam orang pada 1990an.
Aruká adalah pria terakhir suku itu namun seperti yang dilaporkan wartawan BBC News Brasil, Juliana Gragnani, cucu-cucunya mengambil langkah yang tak biasa untuk menjaga warisannya.
Tak ada yang tahu persis berapa umur sebenarnya Aruká, namun diperkirakan antara 86-90 tahun.
Baca Juga: Peringatan! Hutan Amazon Akan Hilang pada 2064
Selama hidupnya, Aruká menyaksikan bagaimana komunitas Juma yang tadinya berjumlah ribuan orang terus mengecil, dari yang sebelumnya tersebar memancing, berburu dan menanam di wilayah selatan negara bagian Amazonas.
Menyusul serangkaian pembantaian yang dilakukan oleh para penyadap karet, serta penyebaran penyakit-penyakit mematikan, jumlah komunitas Juma menyusut hingga hanya tinggal keluarga Aruká yang tersisa.
"Dia selalu berbicara dengan sedih tentang bagaimana di masa lalu ada banyak orang Juma, dan bagaimana sekarang dia adalah orang terakhir yang tersisa," kenang Gabriel Uchida, seorang fotografer yang telah mendokumentasikan kehidupan komunitas Juma.
- Ketika wabah Covid-19 dan deforestasi melanda hutan Amazon, 'tiada dokter yang merawat kami'
- 'Masyarakat adat sekarat akibat wabah dan negara tak akui kami' - Perjuangan seorang perawat mendampingi masyarakat adat Brasil
- Virus corona 'bisa memusnahkan masyarakat adat Brasil'
Menyimpang dari tradisi
Aruká memiliki tiga anak perempuan. Namun, dengan komunitas Juma yang sudah tiada saat mereka dewasa, ketiga perempuan itu masing-masing menikahi laki-laki dari kelompok adat Uru-eu-wau-wau.
Menurut sistem patrilineal komunitas-komunitas itu, para cucu dan cicit Aruká dianggap sebagai bagian dari kelompok ayah mereka, dan bukan dari ibu.
Baca Juga: Sensasi Terbang Bersama Elang Melintasi Amazon dengan Teknologi VR
Namun, memilih untuk menyimpang dari tradisi, beberapa cucu Aruká memutuskan untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai anggota kedua komunitas itu sekaligus, yakni sebagai Uru-eu-wau-wau dan sebagai Juma.
"Kami akan melanjutkan tradisi masyarakat kami," Bitaté Uru-eu-wau-wau, yang berusia 20 tahun, menjelaskan.
"Dia bersama kita, tinggal bersama kita, dan mewakili rakyat kita melalui cucu dan cicit di masa depan yang akan datang," kata Bitaté tentang mendiang kakeknya.
Sepupu Bitaté yang berusia 18 tahun, Kuaimbú, mengatakan hal senada. "Kami tidak ingin perjuangan rakyat kami dilupakan. Kami bangga dengan perjuangan kakek dan ibu kami, dan kami ingin melanjutkannya."
Kuaimbú mengikutsertakan nama belakang kakeknya ke dalam namanya sendiri dan menyebut dirinya Kuaimbú Juma Uru-eu-wau-wau, perubahan yang rencananya akan segera diresmikan sehingga juga tercermin dalam kartu identitasnya.
"Saya adalah cucu Juma, anak Juma. Saya berhak memiliki Juma pada nama saya," katanya.
Aktivis hak-hak adat, Ivaneide Bandeira, mengatakan memasukkan "Juma" ke dalam nama belakang adalah langkah yang belum pernah dia lihat di kelompok adat patrilineal lainnya.
"Ini adalah pesan dari para cucu bahwa mereka ada di sini untuk menetap dan mereka melawan," kata Bandeira, dari Asosiasi Perlindungan Lingkungan-Etno Kanindé.
'Kisah kematian'
Bandeira mengatakan bahwa kisah Juma, seperti yang terjadi pada banyak kelompok penduduk asli Amazon, telah menjadi "kisah kematian".
Menurut Profesor Luciana França dari Universitas Federal Pará Barat, sejak tahun 1940 dan seterusnya, Juma menjadi sasaran orang-orang yang mengejar kekayaan tanah mereka.
Pembantaian terakhir orang Juma yang didokumentasikan adalah pada tahun 1964, ketika petani karet dari sebuah komunitas dekat dari mereka, membunuh puluhan laki-laki Juma, kata antropolog itu.
Sementara, bagi Bandeira, sungguh mengejutkan bahwa laki-laki terakhir yang selamat dari pembantaian dan penyakit yang menewaskan ribuan rakyatnya, meninggal karena Covid.
Dia menyalahkan negara bagian Brasil atas "kekurangan kompetensi dan ketidakmampuan sama sekali untuk memberikan tindakan perlindungan" untuk mencegah Covid mencapai desa Aruká. Bandeira mengatakan bahwa siapa pun yang memasuki desa semestinya harus menjalani tes dan menjalani karantina untuk mencegah penyebaran virus.
Cucu Aruká, Bitaté, mengatakan hal serupa. "Kami jauh dari kota dan hanya ada sedikit perjalanan. Penyakit ini seharusnya tidak pernah sampai ke kami. Pemerintah tidak peduli. Ini kurangnya tanggung jawab di pihak mereka," katanya.
Kematian Aruká bukanlah kasus satu-satunya. Menurut Sekretaris Khusus Kesehatan Adat (Sesai), dari total 896.900 penduduk adat di Brasil, 572 telah meninggal karena Covid-19.
Sebuah organisasi adat independen, Apib, menyatakan bahwa jumlah kematian penduduk adat akibat Covid jauh lebih tinggi, dengan 970 nyawa penduduk adat yang meninggal akibat pandemi. Banyak dari mereka adalah penatua, yang telah menjaga sejarah lisan dan pengetahuan yang berharga tetap hidup.
Warisan untuk masa depan
Bitaté mengatakan bahwa kakeknya mewariskan sebagian dari pengetahuannya sebelum kematiannya.
Dua tahun lalu, Aruká memenuhi mimpinya yang telah lama dipegangnya untuk membangun rumah panjang leluhur. "Dia mengajari saya tentang arsitekturnya, cara membangunnya, dan sekarang saya tahu cara membangun rumah panjang Juma," kata Bitaté.
Aruká juga mengajari para cucunya cara memancing dan berburu, serta sejarah masyarakat dan budaya mereka.
"Dia adalah seorang pejuang. Dia bercerita tentang perkelahian dengan penyadap karet, tentang bagaimana, ketika mereka diserang, orang-orang Juma melawan," kenang fotografer Gabriel Uchida.
Bandeira juga menggambarkan Aruká sebagai "simbol perlawanan" yang warisannya akan tetap hidup berkat cucu dan cicitnya.
"Putri dan cucu Aruká akan tinggal dan melawan," katanya.