Kiprah Para Pelacak Kontak Covid-19 yang Terbelenggu Stigma

SiswantoBBC Suara.Com
Senin, 01 Maret 2021 | 18:23 WIB
Kiprah Para Pelacak Kontak Covid-19 yang Terbelenggu Stigma
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah berupaya menambah jumlah petugas pelacak kontak Covid-19, termasuk target pelacakan hingga 30 kontak dalam satu kasus sesuai standar WHO. Namun, setahun sejak pandemi berlangsung, target itu masih sulit tercapai akibat sejumlah faktor, antara lain stigma yang masih melanda.

Pagi itu, Hasatia terburu-buru mengenakan jubah medis. Perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai petugas pelacak kontak Covid-19 di Puskesmas Lebak Bulus, Jakarta Selatan, tersebut dipanggil mendadak oleh bagian poliklinik umum.

Pasalnya, ada seorang ibu paruh baya kedapatan mengalami gejala anosmia alias tidak mampu mencium bebauan—salah satu gejala utama pengidap Covid-19. Hasatia menemui ibu itu di depan puskesmas lalu mewawancarainya.

"Saya habis pulang kampung, melayat kakak saya yang meninggal dunia karena Covid-19," kata ibu tersebut.

Baca Juga: Donor Plasma Darah Konvalesen, Doni Monardo: Tidak Ada Efek Samping

Hasatia lalu menanyakan jumlah orang yang ikut pulang kampung bersama ibu tersebut, serta tempat-tempat yang dikunjungi dalam dua pekan terakhir.

Baca juga:

Setelah sesi wawancara rampung, Hasatia bergegas membersihkan diri lalu menuju ruang pusat informasi untuk melaporkan temuannya.

Bersama lima petugas lainnya, ponsel pribadi yang mereka gunakan untuk melacak kontak tidak pernah berhenti bekerja.

Memori di dalam ponsel mereka pun sudah penuh berisi data-data pasien berupa foto KTP hingga hasil tes Covid-19 milik pasien.

Baca Juga: Alhamdulillah, Arsy Hermansyah Sembuh dari Covid-19

Di ruang pusat informasi, Ana—rekan Hasatia—sedang kebingungan atas ucapan seorang suspek Covid-19 melalui ponsel. Orang tersebut tidak ingin melakukan tes usap di puskesmas. Ana lantas menyerahkan kasus itu ke penanggung jawab tim, Kepala Puskesmas Lebak Bulus, dr. Rathia Ayuningtyas.

"Jika Anda ingin swab mandiri, tidak mengapa, tetapi dalam dua hari ke depan, jika hasilnya tidak keluar, maka saya akan menjemput Anda bersama polisi," tegas Rathia. Tak lama dari ujung telepon, suspek menjawab "Iya, dok saya akan ke puskesmas untuk tes."

Rathia mengaku harus sedikit mengancam karena banyak orang yang kontak erat tapi abai untuk melakukan tes usap. "Padahal itu semua gratis, tapi alasannya, hasil swabnya lama," tambah Rathia.

Petugas yang bekerja di dalam ruang itu sudah dilatih oleh BNPB pada akhir tahun 2020 lalu saat pemerintah menargetkan jumlah petugas harus sesuai standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni sekitar 30.000 petugas pelacak di Indonesia.

"Target kontak erat yang sebelumnya 10 sampai 15 orang diharapkan menjadi 20 sampai 30 orang dalam pelacakan kontak erat," kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi.

Namun, target itu sulit diraih. Menurut seorang petugas, rata-rata dalam sehari, mereka bisa menghubungi paling banyak lima orang dalam satu kasus kontak erat. Permasalahan yang paling mendasar meski pandemi sudah setahun di Indonesia adalah stigma yang beredar di masyarakat.

"Kebanyakan dari setiap kasus kontak erat, mereka tidak percaya bahwa Covid-19 itu ada. Lalu, bagi mereka yang tertular, itu dianggap sebagai aib dan harus ditutupi," jelas Rathia.

Tugas para pelacak kontak tak hanya menelepon kasus kontak erat. Mereka juga mendata kasus setiap harinya yang akan diunggah di pusat data Covid-19 melalui aplikasi.

Mereka juga memastikan setiap kontak erat terpantau dari ketua RT dan RW suatu wilayah. Sebagaimana terjadi pagi itu, seorang ketua RT menelepon petugas. "Saya baru tahu tetangga saya [kena] Covid, padahal dia kemarin keluar rumah."

Petugas menjawab: "Padahal saya sudah memberitahukan yang bersangkutan untuk langsung melapor kepada bapak."

Dalam pembicaraan itu, terungkap bahwa orang dalam kasus kontak erat yang ternyata positif Covid-19 merupakan tokoh penting di wilayah itu. Menurut sang ketua RT, individu tersebut menganggap Covid-19 adalah aib dan sebisa mungkin harus ditutupi.

Baca juga:

Tugas lain dari pelacak kontak adalah mendampingi pasien untuk tes usap PCR.

Rahma Aghina Nugraha, harus datang ke sebuah rumah, karena terdapat lansia yang kondisinya tidak memungkinkan untuk lakukan tes di puskesmas.

Rahma bersama petugas tes usap mengenakan APD lengkap, saat mengetuk pintu rumah lansia itu. Terdapat dua orang lansia dan dua remaja di dalamnya.

"Saya di kamar saja setiap hari karena tidak bisa berjalan," kata seorang lansia kepada Rahma.

"Apakah ibu mengalami batuk?" tanya Rahma.

"Tidak."

Usai tes usap, kedua lansia itu meminum segelas air, karena tenggorokan dan hidungnya merasa tidak nyaman.

Seorang remaja menghampiri Rahma dan bertanya ruang isolasi yang dibutuhkan jika mereka sekeluarga positif Covid-19.

Tugas Rahma selanjutnya adalah memastikan hasil tes berikut mengontak pihak rumah sakit jika para lansia itu positif Covid-19. Dia juga menghubungi pihak Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, jika dua remaja dalam rumah itu juga positif Covid-19.

Dalam sehari, Rahma menelepon puluhan orang, mulai dari kontak erat, hingga pihak rumah sakit.

Selebihnya, para petugas juga memantau perkembangan pasien yang melakukan isolasi mandiri termasuk mengantarkan obat dan vitamin yang dibutuhkan.

Para petugas ini terus berupaya walau, menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, penelusuran kontak erat dengan orang yang terinfeksi Covid-19 di Indonesia masih di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, yang idealnya mendapatkan 30 kontak erat dari satu kasus.

Padahal, kata Dicky Budiman, selaku pakar epidemiologi dari Griffith University, Australia, tanpa strategi testing dan tracing yang memadai maka, "kita membiarkan terjadi begitu banyak infeksi. Kita juga membiarkan virus ini leluasa menyebar, menginfeksi manusia."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI