Suara.com - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU KH Said Aqil Siradj tegas menolak kebijakan pemerintah, yang mendaftarkan industri minuman keras dalam daftar investasi.
Merujuk kepada Alquran, Said menegaskan miras lebih banyak menimbulkan banyak bahaya atau mudharat ketimbang kebaikan.
Said mengatakan, dalam Alquran sudah disebutkan miras termasuk kategori yang diharamkan.
Karena itu, Said tidak sepakat kalau pemerintah malah memberikan lampu hijau investasi untuk industri miras.
Baca Juga: Polemik Investasi Miras: Reaksi Tenang Sampai Keras Ala Novel Bamukmin
"Kita sangat tidak setuju dengan perpres terkait investasi miras. Dalam Alquran dinyatakan (Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan)," kata Said dalam keterangan yang ditulisnya di Jakarta, Senin (1/3/2021).
Lebih lanjut Said menilai, kebijakan pemerintah itu seharusnya dibuat untuk mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat.
Itu sesuai dengan kaidah fiqih 'Tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil maslahah'.
"Karena agama telah tegas melarang, maka harusnya kebijakan pemerintah itu menekan konsumsi minuman beralkohol, bukan malah didorong untuk naik," ujarnya.
Melihat efek negatif dari konsumsi miras, maka menurut Said keberadaannya di Tanah Air sudah sepatutnya dicegah dan tidak boleh ditoleransi.
Baca Juga: Investasi Miras, Novel Bamukmin: Jokowi Khianati Pancasila
Iapun kembali menyinggung dengan kaidah fiqih yang berbunyi
Arti dari kaidah fiqih tersebut yakni rela terhadap sesuatu artinya rela terhadap hal-hal yang keluar dari sesuatu tersebut.
"Kalau kita rela terhadap rencana investasi miras ini, maka jangan salahkan kalau nanti bangsa kita rusak."
Investasi Industri Miras
Presiden Jokowi telah menetapkan industri minuman keras masuk dalam Daftar Positif Investasi (DPI) mulai 2 Februari 2021.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Penanaman modal baru hanya dapat dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, yakni Provinsi Bali, Provinsi Nusa Ternggara Timur (NTT), Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan lokal.
Nantinya, penanaman modal tersebut juga akan ditetapkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarkan usulan gubernur.